LAPAS, TERMINAL AKHIR SISTEM PERADILAN PIDANA YANG TERLUPAKAN
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juli 2018)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap dugaan tindak pidana penyuap terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung, Wahid Husen dan tiga tersangka lainnya termasuk dari unsur warga binaan yang melakukan penyuapan. Permasalahan suap untuk mendapatkan fasilsitas mewah dan izin khusus bukanlah baranga baru bahkwan sudah menjadi rahasia publik. Tentu publik ingat ketika pada tahun 2010, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi mendadak Rumah Tahanan (Rutan) Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur dan mendapati warga binaan perkara tindak pidana korupsi Artalyta Suryani berada di kamar khusus yang mewah seperti terdapat tempat tidur, kulkas, ruang tamu, sofa, radio-tape, serta meja kerja. Bahkan Satuan Tugas menemukan ruang karaoke yang dilengkapi televisi. Kemudian Gayus Tambunan yang beberapa kali ketahuan keluar untuk jalan-jalan dari Rutan maupun Lapas, pada tahun 2010 ketika ia masih berstatus sebagai tahanan Rutan ia dapat dengan leluasa pergi ke Singapura dan ia keluar Lapas untuk menonton pertandingan tenis di Bali dengan menggunakan identitas palsu. Tidak berhenti disana pada tahun 2015 Gayu Tambunan yang berstatus sebgai warga binaan makan di restoran pasca menjalani sidang perceriannya. Praktek suap untuk mendapatkan fasilitas mewah juga terjadi pada tindak pidana lainnya selain tindak pidana korupsi, dalam perkara tindak pidana narkotika pengakuan Vanny, pacar dari Freddy Budimana terpidana tindak pidana narkotika, pada tahun 2016 lalu di televisi yang mengaku bahwa ia dan Freddy Budiman dapat dengan bebas menggunakan ruang Kepala Lapas Narkotika Cipinang untuk bercinta dan menghisap sabu.
Melalui OTT ini kita seolah-olah baru disadarkan bahwa bertapa sia-sianya usaha aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan tidak pidana korupsi karena pidana penjara yang merupakan sarana untuk menghukum perbuatan terpidana dan sarana untuk merehabilitasi perilaku terpidana justru diselewengkan dengan perilaku suap menyuap untuk mendapatkan fasilitas mewah dan izin luar biasa. Hal ini mengusik rasa keadilan masyarakat.
Memang keberadaan Lapas kerap kali dilupakan. Ketika seorang terdakwa telah divonis maka mata masyarakat kerap kali tidak lagi memperhatikan keberadaan Lapas. Seolah-oleh proses peradilan pidana telah selesai. Selama ini penindakan dan penegakan hukum lebih tersorot pada perilaku aparat polisi, jaksa maupun hakim yang menyimpang seperti menerima suap dan kemudian dibawa ke jalur peradilan pidana. Sedangkan penyelewengan di Lapas tidak demikian Pada kasus-kasus sebelumnya tindakan tegas dilakukan hanya sebatas administasi saja. Pada kasus sel mewah Artalyta Suryani, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang membawahi Rutan Pondok Bambu menindak Kepala Rutan. Demikian pula dalam kasus Freddy Budiman, di mana Kepala Lapas Cipinang saat itu dipecat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan Gayus Tambunan langsung dipindahkan dari Lapas Gunung Sindur Bogor ke Lapas Sukamiskin Bandung.
Memang dalam bagan sistem peradilan pidana kedudukan Lapas memang berada diurutan paling akhir dan titik pusat dari sistem peradilan pidana adalah pengadilan akan tetapi bukan berarti kedudukan Lapas tidak penting. Dalam bagan sistem peradilan pidana kedudukan Institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lapas sama dan sejajar. Masing-masing institusi memiliki fungsi yang sama pentingnya dalam penegakan hukum. Kegagalan Lapas dalam menjalakan fungsi memasyarakatkan atau merabilitasi warga binaan akan berakibat negatif masyarakat dimana tindak pidana kembali berulang. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka recidivis yang masuk kembali ke dalam Lapas atau dalam tindak pidana teorisme dimana para terpidana tindak pidana teorisme setelah bebas kemudian kembali dalam kelompoknya dan kembali melakukan tindak pidana yang serupa.
Reformasi dalam sistem peradilan pidana diperlukan disemua lini termasuk di Lapas. Dalam hal ini keberadaan Lapas harus dilihat sebagai mata rantai yang penting. Pengawasan terhadap fungsi dan peran Lapas harus dilakukan. Pertanyaanya bagaimana pengawasan tersebut, saat ini pengawasan Lapas sepenuhnya berada di Dirjen Lapas di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan hal ini dipandang lebih riskan penyelewenangannya. Peran Hakim Pengawas dan Pengamat yang diperkenalkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mati suri, sehingga pengawasan eksternal terhadap apakah seorang warga binaan sudah benar-benar melakukan rehabilitasi dapat lebih terkontrol. OTT oleh KPK patut diapresiasi sebagai bentuk pengawasan eksternal tetapi tidak bisa dilakukan terus menerus. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan baik dalam sistem di Lapas dan mentalitas serta perilaku para sipir di Lapas. (***)
Published at :