TINDAKAN TEGAS TERHADAP PEMBELIAN FASILITAS DI LAPAS
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juli 2018)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap dugaan tindak pidana penyuap terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung, Wahid Husen. Selain menangkap dan menetapkan Wahid Husen sebagai tersangka, KPK juga menetapkan tersangka lainnya yaitu Hendri Saputra, pegawai negeri sipil yang bekerja di Lapas Sukamiskin dan dua warga binaan, istilah hukum yang dipergunakan untuk narapidana, Lapas Sukamiskin yaitu Fahmi Darmawansyah dan Andri Rahmat.
Dugaan tindak pidana penyuapan tersebut dilakukan untuk “membeli” fasilitas dan izin di Lapas Sukamiskin. Fasilitas yang dimaksud untuk menyulap sel Lapas Sukamiskin menjadi sel mewah dengan fasilitas yang nyaman layaknya di rumah pribadi, seperti WC duduk, water heater, spring bed dan lainnya. Pembelian izin antara lain izin keluar berobat Lapas Sukamiskin. Memang setiap warga binaan berhak untuk memperoleh pengobatan, namun patut dipertanyakan apakah warga binaan tersebut benar-benar sakit sehingga memerlukan pengobatan sampai dengan ke luar Lapas Sukamiskin. Faktanya pada saat KPK melakukan OTT terdapat dua warga binaan yang tidak berada di sel karena sedang dirawat di rumah sakit yaitu Tubagus Chaeri Wardana dan Fuad Amin. Akan tetapi keesokan hari setelah OTT tersebut hanya Tubagus Chaeri Wardana yang telah kembali ke Lapas Sukamiskin Bandung.
Permasalahan suap menyuap ini bukannya hal yang baru bahkwan sudah menjadi rahasia publik. Tentu publik ingat ketika pada tahun 2010, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi mendadak Rumah Tahanan (Rutan) Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur dan mendapati warga binaan perkara tindak pidana korupsi Artalyta Suryani berada di kamar khusus yang mewah seperti terdapat tempat tidur, kulkas, ruang tamu, sofa, radio-tape, serta meja kerja. Bahkan Satuan Tugas menemukan ruang karaoke yang dilengkapi televisi. Kemudian Gayus Tambunan yang beberapa kali ketahuan keluar untuk jalan-jalan dari Rutan maupun Lapas, pada tahun 2010 ketika ia masih berstatus sebagai tahanan Rutan ia dapat dengan leluasa pergi ke Singapura dan ia keluar Lapas untuk menonton pertandingan tenis di Bali dengan menggunakan identitas palsu. Tidak berhenti disana pada tahun 2015 Gayu Tambunan yang berstatus sebgai warga binaan makan di restoran pasca menjalani sidang perceriannya. Praktek suap untuk mendapatkan fasilitas mewah juga terjadi pada tindak pidana lainnya selain tindak pidana korupsi, dalam perkara tindak pidana narkotika pengakuan Vanny, pacar dari Freddy Budimana terpidana tindak pidana narkotika, pada tahun 2016 lalu di televisi yang mengaku bahwa ia dan Freddy Budiman dapat dengan bebas menggunakan ruang Kepala Lapas Narkotika Cipinang untuk bercinta dan menghisap sabu.
Tentu hal ini mencederai rasa keadilan masyarakat dan membuat upaya penindakan dan penegakan hukum menjadi sia-sia. Tindakan tegas pelu diambil. Pada kasus-kasus sebelumnya tindakan tegas dilakukan hanya sebatas administasi saja. Pada kasus sel mewah Artalyta Suryani, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang membawahi Rutan Pondok Bambu menindak Kepala Rutan. Demikian pula dalam kasus Freddy Budiman, dimana Kepala Lapas Cipinang saat itu dipecat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan Gayus Tambunan langsung dipindahkan dari Lapas Gunung Sindur Bogor ke Lapas Sukamiskin Bandung. Akan tetapi sanksi administratif tersebut tidaklah efektik dan menimbulkan efek jera faktanya kejadian tersebut terus berulang.
OTT yang dilakukan oleh KPK patut diapresiasi. KPK mampu membuktikan kebenaran mengenai isu jual beli fasilitas mewah dan keistimewaan dalam Lapas yang selama ini telah menjadi rahasia publik. Selain itu KPK juga tegas dengan menindak dan menjalankan mekanisme penegakan hukum pidana yang dimana sebelumnya penindakan dilakukan melalui jalur hukum administrasi saja. Memang jual beli fasilitas mewah dan izin istimewa ini dikualifikasikan sebagai tindak pidana suap yang masuk dalam lingkup Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga tindakan tersebut sudah sewajarnya dilakukan.
Akan tetapi penindakan dan penegakan hukum tersebut hendaknya tidak berhenti pada memidana Kepala Lapas atau pegawai Lapas serta warga binaan yang menyuap saja. Pengusutan lebih jauh harus dilakukan, seperti pihak-pihak lain yang mendapatkan bagian dari suap tersebut termasuk atasan langsung maupun tidak langsung dari Kepala Lapas Sukamiskin, Bandung. Hal ini mengingat bahwa praktik ini bukan baru tetapi sudah lama atau bahkan menjadi kebiasaan sehingga untuk menghentikannya diperlukan tindakan yang tegas guna memotong mata rantai tersebut. (***)
TAUTAN: OTT KPK DI LAPAS SUKAMISKIN
https://www.youtube.com/watch?v=L7tFCEnxmVg
Published at :