ARGUMENTASI HAKIM DALAM BEBERAPA CONTOH KASUS PENODAAN AGAMA
Oleh SHIDARTA (Juli 2018)
Argumentasi hukum adalah nama lain untuk penalaran hukum (legal reasoning). Aktivitas penalaran hukum tentu tidak hanya dilakukan oleh hakim karena suatu kasus yang dibawa ke persidangan adalah kasus yang telah melewati prosedur cukup panjang. Dalam proses menuju ke tahap persidangan ini ada begitu banyak pihak yang ikut menstrukturkan fakta yang terjadi, lalu menghubungkan struktur fakta itu dengan struktur norma hukumnya, agar peristiwa konkret itu dapat dikualifikasikan sebagai peristiwa hukum. Puncak dari proses penalaran hukum ini memang ada pada penalaran hukum yang dibuat oleh hakim di dalam putusannya, sehingga tidak mengherankan apabila legal reasoning kerap diidentikkan dengan judicial reasoning.
Bentuk konkret dari penalaran hukum dapat dilihat dari silogisme (inferensi deduktif) yang bertitik tolak dari premis mayor, premis minor, dan konklusi. Premis mayor biasanya diambil dari peraturan perundang-undangan atau sumber hukum lain yang otoritatif. Pemilihan sumber hukum ini sesungguhnya tidak datang begitu saja. Pilihan itu ditentukan secara sadar mengikuti faktanya. Jadi, faktalah yang menentukan hukumnya (ius in causa positium).
Tatkala suatu norma hukum distrukturkan dan dijadikan sebagai premis mayor, struktur itu sendiri merupakan sebuah proposisi. Di dalam proposisi ada konsep-konsep hukum yang dijalin. Ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum) kerap mengajarkan bahwa proposisi ini sudah tersedia di dalam hukum positif. Dalam kenyataannya, tidak selalu demikian! Hukum positif terkadang hanya menyediakan sebutan konsep-konsep hukum, tetapi tidak sampai memberikan definisi yang tegas, apalagi sampai membangun proposisi yang jelas untuk konsep-konsep itu. Padahal, proposisi pada sebuah premis mayor adalah proposisi yang paling menentukan di dalam sebuah silogisme. Sebab silogisme adalah proses benalar dengan sistem logika tertutup (closed logical system), yang tunduk pada dalil-dalil yang dikenal di dalam silogisme.
Setiap putusan terdiri dari banyak silogisme. Banyaknya silogisme yang dibangun sangat bergantung dari seberapa banyak unsur-unsur yang harus dibuktikan keterpenuhannya oleh hakim. Misalnya, di dalam berbagai pasal ada kata “barangsiapa” (dewasa ini digunakan nomenklatur “setiap orang”). Kata “barangsiapa” ini pada hakikatnya merupakan sebuah konsep hukum, yang termasuk dalam subjek norma. Subjek norma adalah unsur norma yang harus, bahkan pertama-tama dibuktikan keterpenuhannya. Misalnya, kita ingin mencari jawaban apakah seorang pelaku bernama “X” dalam tindak pidana pada Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah memenuhi unsur “barangsiapa”. Untuk itu, sekalipun tidak secara eksplisit dan rigid dirumuskan di dalam suatu putusan, akan terkandung di dalamnya struktur yang menunjukkan silogisme yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa “X” adalah “barangsiapa” dalam perkara itu atau bukan “barangsiapa”. Kesimpulan itu sangat bergantung pada seperti apa rumusan proposisi yang dibangun dalam premis mayor.
Premis mayor | Subjek hukum yang mampu dimintakan pertanggungjawaban secara hukum mengemban hak dan kewajiban adalah “barangsiapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP. |
Premis minor | Terdakwa “X” adalah subjek hukum yang mampu dimintakan pertanggungjawaban secara hukum mengemban hak dan kewajiban. |
Konklusi | Terdakwa “X” adalah “barangsiapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP. |
Hukum positif terkadang hanya menyajikan nomenklatur konsep hukum saja. Misalnya, dalam contoh di atas adalah konsep “barangsiapa”, tetapi apa makna dari “barangsiapa” ini harus harus dibangun oleh si penalar hukum. Konsep “barangsiapa” ini perlu didefinisikan dan dibentuk menjadi sebuah proposisi. Redaksional dari proposisi ini terkadang dapat ditemukan di dalam produk hukum positif (antara lain di dalam ketentuan umum sebuah peraturan perundang-undangan), tetapi sangat mungkin juga harus didatangkan melalui bantuan doktrin-doktrin hukum.
Oleh karena hukum berkembang sangat dinamis, maka ada kemungkinan pula pembentuk hukum memang sengaja tidak membuat definisi konseptual atas suatu unsur di dalam norma. Pasal-pasal tentang pelanggaran kesusilaan di dalam KUHP adalah contoh yang klasik untuk disebutkan di sini. Apa yang dimaksud dengan ‘pelanggaran kesusilaan’ tampak sengaja dibiarkan “mengambang” sesuai dengan persepsi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja, model perumusan norma seperti ini mengandung dan mengundang bahaya karena membuat para penalar hukum sangat bergantung pada persepsi sosiologis yang ada di lapangan. Persepsi ini menjadi sangat subjektif karena pelanggaran kesusilaan bagi suatu golongan masyarakat, belum tentu dipersepsikan sama oleh golongan masyarakat lainnya. Apalagi jika pelaku yang diduga melanggar pasal tersebut adalah figur yang menarik perhatian publik, maka dapat dipastikan gaung dari kasus ini akan lebih berdampak sosial dan politis daripada pelakunya adalah orang-orang biasa yang tidak mendapat sorotan publik.
Pasal lain dalam KUHP yang termasuk dalam kategori ini adalah Pasal 156a. Pasal ini, sebagaimana akan dibahas dalam tulisan singkat ini, dimasukkan dalam sistematika KUHP pada Bab V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Apabila rumusan norma di dalam Pasal 156a KUHP ini distrukturkan, dan kemudian dihubungkan dengan contoh-contoh kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan, akan terlihat bahwa beberapa unsur normanya memang tidak berpijak dari definisi konseptual yang tegas.
Pasal tentang Penodaan Agama
Pasal yang digunakan dalam penuntutan kasus-kasus penodaan agama selama ini adalah Pasal 156a KUHP, sebuah pasal yang baru disisipkan ke dalam kodifikasi itu 20 tahun setelah Indonesia merdeka, melalui Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965. Pasal 156a KUHP ini selengkapnya berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jika dianalisis, maka Pasal 156a tersebut terdiri dari norma sekunder, yang diletakkan pada awal pasal, baru kemudian diikuti dengan norma primer. Akibat hukum atau ancaman sanksi yang dikenakan terhadap perbuatan ini adalah pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Rumusan ini merupakan norma sekunder, yang berarti baru muncul apabila unsur-unsur di dalam norma primer terpenuhi. Norma primernya sendiri terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
Subjek norma | Barangsiapa; |
Operator norma | dilarang; |
Objek norma | mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; |
Kondisi norma umum | dengan sengaja, di muka umum; |
Kondisi norma khusus (a) | perasaan/perbuatan itu pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; |
Kondisi norma khusus (b) | perasaan/perbuatan itu dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. |
Putusan hakim biasanya cenderung untuk langsung membangun silogisme terhadap unsur demi unsur di atas, walaupun tidak semuanya dilakukan secara berurutan.
Subjek Norma
Unsur subjek norma ini diwakili oleh kata “barangsiapa”. Unsur ini merupakan sasaran dari norma itu (normaddressaat). Biasanya, unsur ini dimaknai sebagai pelaku individu yang dijadikan sebagai terdakwa, kendali Penetapan Presiden No. 1/PNPS Tahun 1965 sebenarnya memungkinkan ada subjek lain, yaitu organisasi, untuk juga dijadikan subjek norma. Apabila Pasal 156a KUHP ini dibaca sebagai ketentuan yang identik dengan Pasal 4 Penetapan Presiden No. 1/PNPS Tahun 1965, maka unsur ini memungkinkan untuk diperluas cakupannya, sehingga meliputi orang perseorangan dan organisasi/badan.
Operator Norma
Operator norma kerap disebut sebagai modus perilaku (modus van behoren). Dalam sistem hukum yang mengikuti tradisi hukum Barat, operator norma yang umum adalah perintah dan larangan. Operator lain adalah kebolehan, yang dibedakan menjadi kebolehan untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang, disebut izin; dan kebolehan untuk tidak melakukan sesuatu yang secara uum diperintahkan, yang disebut dispensasi. Dalam rumusan Pasal 156a KUHP, sangat jelas bahwa ada perilaku yang diancam dengan sanksi pidana, sehingga berarti perilaku itu bermoduskan larangan.
Objek Norma
Oleh karena ilmu hukum dogmatis adalah ilmu yang berkenaan dengan aturan manusia berperilaku, maka objek norma (normgedrag) adalah formulasi perilaku. Formulasi perilaku yang dimaksud adalah: “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.” Ada uraian tambahan dari perilaku “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan” ini, yang sebenarnya masuk ke dalam kategori berikutnya dari analisis struktur norma, yakni kondisi norma (normconditie). Jadi, kondisi norma di sini sebenarnya adalah kondisi yang memperjelas objek norma.
Kondisi Norma
Kondisi norma dalam Pasal 156a KUHP dirumuskan dalam dua kriteria. Ada kondisi norma yang secara umum berlaku untuk semua perilaku yang dimaksud dalam pasal ini. Kondisi itu adalah: “dengan sengaja” dan “di muka umum”.
Di samping itu, ada kondisi yang secara spesifik dibedakan untuk perilaku Pasal 156a huruf a dan Pasal 156a huruf b. Artinya, selain kondisi norma yang umum itu, masing-masing ada kondisi tambahan yang dipersyaratkan, bergantung pada huruf a atau huruf b yang dikenakan atas tuntutan perbuatan pidana tersebut.
Penerapan pada Beberapa Putusan
Ada fenomena menarik yang dapat diamati dari putusan-putusan pidana terkait Pasal 156a KUHP. Titik krusial dari argumentasi hukum yang diperagakan oleh hakim, terletak pada unsur objek norma dan kondisi norma. Para hakim tidak mengalami kesulitan ketika membuat argumentasi untuk subjek norma dan operator norma.
Tatkala harus mensilogismekan unsur “barangsiapa”, hakim biasanya cukup berangkat dari pengertian bahwa setiap penyandang hak dan kewajiban (subjek hukum) adalah “barangsiapa” menurut Pasal 156a KUHP. Dengan demikian, di fulan yang menjadi terdakwa di dalam suatu kasus adalah penyandang hak dan kewajiban (subjek hukum), sehingga si fulan tersebut adalah “barangsiapa” menurut Pasal 156a KUHP.
Dalam rumusan Pasal 156a KUHP, kondisi norma “dengan sengaja” dan “di muka umum” ditaruh pada bagian berikutnya setelah kata “barangsiapa”. Oleh sebab itu, banyak putusan hakim yang membuat pertimbangan untuk mensilogismekan bagian ini terlebih dulu sebelum masuk ke objek norma.
Pada bagian kondisi norma yang umum ini, relatif juga tidak banyak kendala ditemui. Frasa kata “dengan sengaja” selama ini sudah dimaknai secara cukup luas oleh para hakim sebagai “kesadaran penuh dan keinsyafan (pemahaman) tentang perbuatan dan apa akibatnya” (willen en wetten). Ditemukan ada satu putusan yang menggarisbawahi bahwa “kesengajaan” di sini dimaknai secara luas mencakup ketiga gradasi kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (opzet bij zekerheids of nood zekelijkheids bewustzijn), dan kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus evantualis). Para hakim biasanya akan mulai dari premis mayor ini untuk menetapkan silogisme yang dibangunnya guna menentukan terpenuhinya kondisi ini.
Frasa lain dari kondisi norma berikutnya adalah “di muka umum”. Pada frasa ini tidak semua putusan hakim terkait Pasal 156a KUHP berusaha terlebih dulu memaparkan definisi konseptual tentang makna “di muka umum”. Untuk menghindari perumusan tersebut, maka hakim biasanya akan langsung masuk ke fakta, dengan menunjukkan bahwa terdakwa sudah mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatannya itu di hadapan beberapa orang.
Kesulitan terbesar ada pada saat hakim masuk ke dalam unsur kondisi norma huruf a dan huruf b, yaitu tentang: “perasaan/perbuatan itu pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dan ” perasaan/perbuatan itu dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Mari kita cermati beberapa putusan dari beberapa kasus berikut:
Nomor putusan
|
Terdakwa | Pertimbangan hakim terkait unsur “perasaan/perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”
|
3/Pid.B/2012/PN.Klt
(kasus: Amanat Keagungan Ilahi) |
Andreas Guntur Wisnu Sarsono
|
|
06/Pid.B/2011/PN.Tmg | Antonius Ricmond Bawengan |
|
31/Pid.B/2016/Pn.Skg | Makmur bin Amir |
|
1537/Pid.B/2016/PN.
Jkt.Utr. |
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok |
|
Melalui metode analisis isi kualitatif (qualitative content analysis) terhadap empat contoh putusan di atas, terlihat bahwa majelis hakim tidak berusaha untuk memberikan definisi konseptual mengenai “perasaan/perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.” Alih-alih untuk memberikan definisi konseptual, hampir semua putusan memilih untuk langsung menunjuk pada fakta hukum.
“Menimbang bahwa untuk membuktikan unsur tersebut, Majelis berpijak pada fakta hukum yang didapat di persidangan, yaitu bahwa terdakwa beserta kelompoknya atau pengikutnya telah memasang seluruh bosur… dst.”
Hanya satu putusan, yaitu putusan perkara No. 31/Pid.B/2016/Pn.Skg yang terlacak mencoba membuat uraian makna konseptual terlebih dulu, sebelum masuk ke dalam uraian fakta. Namun, upaya ini tidak sepenuhnya berhasil karena rumusan yang dibuat kembali terjebak pada cara perbuatan itu dilakukan, bukan menyentuh pada substansi dari unsur “perasaan/perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. Untuk menentukan apakah isinya memang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan, hakim menyatakan sifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan itu dinilai berdasarkan sudut pandang subjektif penganut agama yang “diserang” bukan sudut pandang dari pelaku (terdakwa).
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan pendek ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa Pasal 156a KUHP memang membutuhkan kajian mendalam karena punya spektrum yang sangat rentan untuk ditarik-ulur mengikuti persepsi yang tengah berkembang dalam masyarakat. Hakim akan sangat mudah terjebak dalam pusaran tarik-menarik kepentingan yang tidak selalu konstruktif.
Ada baiknya Pasal 156a KUHP ini didiskusikan kembali secara terbuka dan kemudian diberikan koridor penafsiran yang lebih jelas. Hal ini terlebih-lebih sangat penting bagi bangsa Indonesia yang ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang majemuk. (***)
Baca juga tulisan terkait pada tautan berikut:
http://business-law.binus.ac.id/2018/07/08/bahaya-tafsir-a-historis-terhadap-pasal-156a-kuhp/