KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN KERJA
Oleh ERNI HERAWATI
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang asas keseimbangan dalam perjanjian. Tulisan ini tidak hendak secara mendetil menganalisa tentang hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja, namun hendak melihat bagaimanakah asas keseimbangan dalam perjanjian dapat diberlakukan dalam konteks kontrak ketenagakerjaan dengan mengacu pada norma-norma yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Tulisan ini dibuat dengan asumsi bahwa hampir seluruh kontrak kerja yang disepakati, dibuat dalam kedudukan yang tidak seimbang antara pekerja dan pemberi kerja.
Pasal 1 UUK memberikan definisi tentang pekerja atau buruhadalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upahatau imbalan dalam bentuk lain.Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, ataubadan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayarupah atau imbalan dalam bentuk lain.Dari pengertian ini saja sudah bisa ditarik pemikiran bahwa terdapat kedudukan yang tidak setara antara pekerja dan pemberi kerja. Hubungan keduanya baru dikatakan telah terjadi jika telah disepakati perjanjian kerja. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusahaatau pemberi kerja yangmemuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajibanpara pihak. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruhberdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, danperintah.Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 50 UUK, bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha danpekerja/buruh.
Menurut Sutan Remi Sjahdeni yang dikutip oleh Agus Yudha Hernoko, seringkali mekanisme kebebasan berkontrak tidak bisa menjamin kedudukan yang seimbang dalam perjanjian, sehingga sering kali menghasilkan ketidakadilan terutama jika salah satu pihak dalam posisi yang lemah.[1]Oleh karena itu menurut Sutan Remi Sjahdeni, negara harus campur tangan dalam melindungi pihak yang lemah dengan menentukan klausul yang harus dimuat atau dilarang dalam kontrak.
Apa yang disampaikan oleh Sutan Remi Sjahdeni tersebut dapat kita lihat dalam norma-norma yang diatur dalam UUK. Hampir seluruh ketentuan tetang hubungan kerja dalam UUK tersebut mngatur tentang kewajiban pemberi kerja yang harus dipatuhi oleh pemberi kerja termasuk dalam hal dibuatnya perjanjian kerja dan saat pelaksanaan pekerjaan. Dimulai dari syarat sah perjanjian yang harus memenuhi kriteria sesuai dengan yang ada dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat yang membedakan antara perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu, perlindungan pekerja, cuti, waktu kerja, upah dst. Semua hal yang diatur dalam UUK tersebut biasanya dituangkan dalam klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian kerja. Dengan demikian, isi perjanjian kerja secara tidak langsung merupakan implementasi dari kentuan dalam UUK.
Para pekerja juga diberikan hak untuk mendirikan serikat pekerja sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaanmaupun di luar perusahaan,yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawabguna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentinganpekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dankeluarganya.Dalam penjelasan Undang-undang ini dinyatakan bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
Dalam praktiknya, tidak semudah itu mewujudkan keadilan bagi pekerja. Masih banyak kasus-kasus dalam hubungan industrial terjadi yang mencerminkan masih adanya kedudukan yang tidak seimbang antara pekerja dan pemberi kerja. Perlu peninjuan apakah aturan hukum belum dapat mewadahi terciptanya keadilan bagi pekerja, atau memang pemberi kerja yang belum mampu untuk melaksanakan amanat dari UUK tersebut?
REFERENSI
[1]Agus Yudha Hernoko. (2014). Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Jakarta: Prenadamedia Group) hlm. 27