KILAS BALIK HUKUM PERBANKAN DAN KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA*
Oleh ABDUL RASYID (Juli 2018)
Lembaga perbankan dan keuangan syariah di Indonesia saat ini berkembang pesat. Berkembangnya lembaga perbankan dan keuangan syariah tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari aturan hukum yang mendasarinya, yakni hukum Islam yang diformulasikan ke dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan sehingga menjadi hukum positif yang harus dipatuhi.
Hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia, di samping hukum adat dan hukum barat. Keberadaan Hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut, terutama di masa penjajahan ketika diberlakukannya teori resepsi (receptie theorie) yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-193). Teori ini lalu dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven dan Betrand ter Haar sehingga banyak pengikutnya terutama dari kalangan sarjana hukum. Teori ini pada dasarnya mempunyai maksud-maksud politik untuk menghapuskan hukum Islam dari Indonesia dan mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan pemerintahan kolonial yang dijiwai oleh hukum Islam (M.D. Ali, 2014). Meskipun teori ini tidak berlaku lagi, namun menurut Prof. Abdul Manan, keberadaanya masih tetap eksis sampai saat ini, mempengaruhi pola pikir sarjana hukum Indonesia.
Islam adalah agama hukum dalam arti yang sebenarnya (Islam is a religion of law in the full of meaning of the word). Agama Islam tidak bisa dipisahkan dari hukum, karena agama Islam mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam membangun hukum nasional, Negara harus hadir dan memperhatikan secara seksama agama yang dianut oleh warga negaranya, terutama agama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh warga negaranya yang tidak bisa dipisahkan dari hukum agama (M.D. Ali, 2014).
Keberadaan Hukum Islam dalam tata hukum nasional bertambah eksis pada awal tahun 1990-an seiring semakin meningkatnya kesadaran umat Islam untuk ber-muamalahberdasarkan prinsip-prinsip syariah dan ditandai dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) secara resmi pada tahun 1991. Dasar hukum beroperasinya BMI adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Secara substansi, UU ini merupakan peraturan perbankan nasional yang muatannya lebih banyak mengatur bank konvesional dibandingkan bank syariah. Tidak banyak pasal yang mengatur tentang bank syariah dalam UU ini. Kata ‘bank syariah’ juga tidak disebutkan secara eksplisit. UU ini hanya menyatakan bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil (profit sharing) (Lihat: Pasal 1 ayat (12) & Pasal 6 huruf m UU No. 7 Tahun 1992).
Tidak disebutkannya kata ‘syariah’ atau ‘Islam’ secara eksplisit dalam UU ini disebabkan, menurut Sutan Remy Sjahdeini, masih tidak kondusifnya situasi politik pada saat itu. Pemerintah masih ‘alergi’ dengan penggunaan kata ‘syariah’ atau ‘Islam’ (Rasyid, 2015).Untuk memperjelas maksud dari bank berdasarkan prinsip bagi hasil, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Menurut PP tersebut yang dimaksud dengan bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Prekreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Adapun yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syari’at.
Pada tahun 1998, UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Berbeda dengan UU No. 7 Tahun 1992 yang tidak mengatur secara pasti perbankan syariah, ketentuan-ketentuan mengenai perbankan syariah dalam UU No. 10 Tahun 1998 lebih lengkap (exhaustive). UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 secara tegas menggunakan kata bank syariahdan mengatur secara jelas bahwa bank, baik bank umum dan BPR, dapat beroperasi dan melakukan pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah Rasyid, 2015). Untuk memperkuat pengaturan perbankan syariah di Indonesia, pada tahun 2008 DPR dengan dukungan Pemerintah mengesahkan UU khusus yang mengatur perbankan syariah, yaitu UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini semakin memperkokoh eksistensi pengaturan perbankan syariah di Indonesia. Lahirnya UU Perbankan Syariah ini bukan tanpa perjuangan. Semua pihak bertungkus lumus agar ada UU khusus yang mengatur perbankan syariah, mengingat semakin berkembangnya lembaga tersebut dan terdapat perbedaan mendasar dengan bank konvensional. Diperlukan waktu enam tahun untuk mengesahkan UU Perbankan Syariah di Parlemen padahal pada saat yang bersamaan banyak UU yang disahkan.
Keberadaan UU Perbankan Syariah tidak hanya memberikan landasan hukum yang kuat bagi industri perbankan syariah secara nasional, tapi juga memberikan lingkungan bagi berkembangnya industri yang lebih mapan dan kondusif. UU Perbankan Syariah secara umum juga memberikan arah kebijakan dan bentuk industri perbankan syariah ke depan, bahkan juga menegaskan keberadaan beberapa lembaga yang menjadi infrastruktur penting bagi industri perbankan syariah seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Peradilan Agama (Darson dkk, 2016).
Selain diatur dalam bentuk undang-undang, perbankan syariah juga diatur dengan peraturan lain yang dikeluarkan oleh lembaga otoritas perbankan, yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bank Indonesia mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatur dan mengembangkan lembaga perbankan syariah di awal pertumbuhannya. Semenjak tahun 1999 BI diberikan kewenangan untuk menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah. Berbagai strategi, kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh BI sejak saat itu untuk mengembangkan perbankan syariah (Darsono, 2016).
Kemudian, berdasarkan amanat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, terhitung pada tangal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan lembaga perbankan, baik perbankan konvensional ataupun syariah, beralih dari Bank Indonesia ke OJK. Begitu juga dengan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal syariah, perasuransian syariah, dana pensiun syariah, lembaga pembiayaan syariah, dan lembaga keuangan syariah lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) ke OJK. Berbagai kebijakan dan peraturan telah dikeluarkan oleh OJK dalam mengembangkan lembaga perbankan dan keuangan syariah di Indonesia. Untuk melihat secara detail kebijakan dan peraturan OJK terkait dengan lembaga perbankan dan keuangan syariah silahkan kunjungi website OJK di https://www.ojk.go.id/.
Lembaga lain yang berperan penting dalam pembentukan hukum perbankan dan keuangan syariah di Indonesia adalah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Secara struktural DSN-MUI merupakan lembaga otonom dibawah MUI. DSN-MUI diberikan otoritas untuk mengeluarkan fatwa-fatwa terkait dengan perbankan dan keuangan syariah. Pada prinsipnya, pendirian DSN dimaksudkan sebagai usaha efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan keuangan syariah, selain itu DSN juga diharapkan dapat berperan sebagai pengawas, pengarah dan pendorong penerapan nilai-nilai prinsip ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi (Darsono dkk, 2016). DSN-MUI merupakan satu-satunya lembaga yang berikan amanat oleh undang-undang untuk menetapkan fatwa tentang perbankan dan keuangan syariah.
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN wajib diikuti oleh lembaga perbankan dan keuangan syariah. Fatwa DSN tersebut dipositivisasikan dalam bentuk PBI, POJK dan Peraturan menteri yang terkait. Sampai saat ini terdapat 116 fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI. Di samping peraturan perudang-undangan yang telah di jelaskan di atas, pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai peraturan lainya guna men-supportperkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah. Peraturan tersebut antara lain adalah UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 41 tentang Wakaf dan UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah juga mempengaruhi kewenangan absolut pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perdata. Kewenangan pengadilan agama diperluas semenjak diamandemennya UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terkait dengan perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah wakaf dan shadaqah saja, tapi juga diberi kewenangan baru dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan syariah diperkuat dalam Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 (Rasyid, 2016). Untuk memperkuat kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan syariah, Mahkamah Agung mengeluarkan beberapa Peraturan Mahkamah Agung, yaitu Perma No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Perma No. 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Syariah, Perma No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.
Berdasarkan penjelasan di atas tergambar bahwa hukum perbankan dan keuangan syariah di Indonesia berkembang sangat pesat. Hukum Perbankan dan keuangan syariah terdiri dari berbagai bentuk, baik berbentuk undang-undang, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Fatwa DSN-MUI dan Perma. Keberadaan peraturan-peraturan ini memperkuat eksistensi lembaga perbankan dan keuangan syariah dalam menjalankan aktivitasnya. Di samping itu, keberadaan hukum perbankan dan keuangan syariah mempertegas akan pentingnya kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Ke depan, lembaga perbankan dan keuangan syariah akan terus berkembang sehingga hukum pun akan mengikutinya.
Namun, apabila dilihat secara seksama, hukum perbankan dan keuangan syariah yang ada saat ini cukup banyak jumlahnya, sehingga dikuatirkan akan terjadi overlappingantara satu peraturan dengan yang lainnya. Di samping itu juga dikuatirkan akan mempersempit ruang gerak lembaga perbankan dan keuangan syariah dalam menjalankan aktivitasnya mengingat begitu banyak regulasi yang harus mereka jalani. Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk membentuk suatu UU Induk ekonomi syariah sebagai payung hukum bagi lembaga perbankan dan keuangan syariah dalam menjalankan aktivitasnya. Hal ini diharapkan akan memudahkan dalam penyusunan rencana dan program-program pengembangan yang terpadu dengan mengakomodasi semua aspek seperti perpajakan, peradilan, pengawasan dan aspek lainnya.
*Tulisan ini ringkas dari Orasi Ilmiah yang disampaikan oleh Penulis pada Dies Natalis Jurusan Hukum Bisnis Univ. Bina Nusantara ke-7 pada tanggal 27 Julni 2018.