TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN DAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juni 2018)
Tindak pidana penodaan agama merupakan salah satu tindak pidana yang kerap kita dengar. Kasus yang paling banyak menjadi perhatian adalah tindak pidana penodaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara melalui Putusan No. 1537/Pid.B/2016/PN.JKT.UTR. Ahok dinyatakan bersalah dan telah terbukti secara sah dan menyakinkan memenuhi unsur Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara dua tahun. Perkara tindak pidana penodaan agama dengan menggunakan ketentuan Pasal 156 a KUHP yang pertama kali dibawa ke pengadilan adalah Hans Bague Jassin pada tahun 1968 dan sejak itu terdapat beberapa kasus penodaan agama lainnya seperti Arswendo Atmowiloto, Lia Eden, dan beberapa figur lainnya.
Perbuatan apakah yang dimaksud dengan penondaan agama menurut Pasal 156a KUHP? Secara historis pasal tersebut merupakan pasal yang ditambahkan dalam KUHP melalui Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, yang mengatur sebagai berikut:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (1) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (2) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.“
Terdapat dua perbuatan yang dilarang. Pertama melakukan perbuatan yang menyebarkan permusuhan terhadap agama yang dianut di Indonesia atau menyalahgunaakan atau menodai agama yang ada di Indonesia. Kedua, membuat seseorang menjadi ateis. Penetapan Presiden tersebut lahir ketika suasana politik Indonesia yang terjadi pertentangan antara kaum komunis dengan kaum agama, di mana dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut sebagai bentuk dukungan Presiden Soekarno terhadap organisasi Islam di Indonesia. Tujuan utama pasal ini adalah untuk menjaga ketenteraman kehidupan bermasyarakat.
Kemudian menarik apa yang disampaikan oleh Oemar Seno Adji, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia. Menurut beliau, ketentuan pasal tersebut bukanlah delik agama disepadankan dengan istilah blasphemy di Inggris yaitu pernyataan atau perbuatan yang secara khusus mengejek Tuhan. Pasal-pasal ini dirumuskan secara formil di mana yang dipidana adalah pernyataan perasaan yang mengeluarkan perasaan bermusuhan, kebencian atau merendahkan golongan penduduk tertentu maupun agama. Delik penodanaan agama mulai lahir di Jerman pada tahun 1930-an dan kemudian menjadi inspirasi di Belanda yang memasukkan ketentuan tersebut dalam hukum pidana Belanda. Akan tetapi hukum di Indonesia tidak mengadopsi ketentuan tersebut.
Dengan demikian apa yang dimaksud dengan penondaan agama tersebut masih menjadi tanda tanya. Ahli hukum pidana tidak sependapat mengenai adanya pasal penodaan agama tersebut. Oleh karenanya hal ini harus dilihat dari disparitas putusan-putusan pengadilan yang ada. (***)