TAFSIR PASAL 122 HURUF L UU-MD3: KRIMINALISASI “RAKYAT”
Oleh AHMAD SOFIAN (Juni 2018)
Fokus utama pembahasan tulisan ini adalah pada Pasal 122 huruf L Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 20l8 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Pasal 122 huruf L dijelaskan bahwa: Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas … “Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR”.Dengan adanya aturan ini Mahkamah Kehormatan Dewan dapat melaporkan perseorangan, kelompok atau badan hukum yang mengkritisi setiap kebijakan dan kinerja anggota DPR.
Unsur-unsur penting dari pasal di atas antara lain:
- Mahkamah Kehormaan Dewan
- Mengambil langkah hukum/langkah lain
- Orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum
- Merendahkan kehormatan
- DPR dan Anggora DPR
Kelima unsur di atas merupakan satu kesatuan dari ketentuan Pasal 122 huruf L. Kemudian dapat juga ditafsirkan bahwa MKD memiliki kewenangan melakukan langkah hukum/langkah lain. Langkah hukum yang dimaksudkan dalam pasal tersebut di atas tidak begitu jelas, sehingga menjadi multi tafsir. Jika mengacu pada pasal 121 huruf A, MKD memiliki kewenangan melakukan pencegahan, pengawasan dan penindakan. Tentu saja yang dimaksudkan dalam Pasal 121 huruf A ditujukan kepada anggota DPR RI yang melanggar kode etik atau norma hukum, artinya berlaku dilingkungan internal lembaga DPR RI.
Dengan demikian ketika MKD melakukan langkah hukum/langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum, menjadi sangat rancu dan bertentangan dengan hakikat pasal 121 huruf A. Oleh sebab itu, langkah hukum/langkah lain tetap ditujukan kepada anggota DPR RI. Secara umum, langkah hukum merupakan perbuatan untuk mengajukan seseorang yang diduga melanggar hukum (perbuatan melawan hukum) ke muka pengadilan atau melaporkan seseorang ke penegak hukum. Sementara langkah lain itu sendiri sangat sulit didefinisikan karena tidak ada panduan yang digunakan untuk menafsirkannya, kalaupun dapat ditafsirkan maka perbuatan tersebut di luar prosedur hukum formal yang ada.
Orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum, merupakan subjek hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum berupa merendahkan martabat DPR atau anggoa DPR RI. Dengan demikian subjek hukum ini dapat digugat atau dilaporkan ke penegak hukum jika merendahkan martabat DPR atau anggota DPR. Maka rakyat akan berhadapan dengan wakil rakyat di pengadilan. Atau rakyat yang memilih anggota DPR dilaporkan oleh anggota DPR yang telah memilihnya. Ini menjadi sesuatu yang sangat kabur dan inkonstitusional karena harusnya anggota DPR yang mewakili kepentingan rakyatnya bukan malah mengkriminalkan rakyat yang telah memilihnya. Kondisi ini tidak sejalan dengan makna negara hukum, yang melindungi segenap masyarakat dalam rangka memenuhi hak-hak konstitusionalnya.
UU MD3 tidak memberikan definisi atau tafsir terhadap pemaknaan atas delik “merendahkan kehormatan”. Oleh karena itu, tafsirnya harus merujuk kepada jurisprudensi dan doktrin (karena keduanya sumber hukum pidana selain undang-undang). Banyak doktrin yang memberikan tafsir terhadap “merendahkan kehormatan” secara berbeda-beda.Beberapa ilmuwah hukum pidana seperti E. Utrecht, van Bemmelen, Moeljatno, Roeslan Saleh, Adami Chazawi memberikan tafsir terhadap merendahkan kehormatan yang bisa diidentikkan dengan “menyerang kehormatan” yaitu :
“Perbuatan menyerang (aanranden), tidaklah bersifat fisik, karena terhadap apa yang diserang (objeknya) memang bukan fisik tapi perasaan mengenai kehormatan dan perasaan mengenai nama baik orang.Objek yang diserang adalah rasa/perasaan harga diri mengenai kehormatan (eer), dan rasa/perasaan harga diri mengenai nama baik (goedennaam) orang.”
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kehormatan dapat diartikan sebagai harga diri atau nama baik. Ukuran terhadap “harga diri” dan “nama baik” sangatlah abstrak sehingga membuka peluang untuk ditafsirkan secara subjektif oleh penegak hukum. Dengan bentuk tafsir yang luas, maka berpotensi untuk digunakan pada perbuatan-perbuatan yang dinilai mengganggu “kepentingan” DPR. Aspek lainnya adalah “harga diri” dan “nama baik”, yang mana tidak melekat pada kelembagaan seperti DPR, tetapi lebih ditujukan pada perseorangan atau sekelompok orang, karena itu tidak tepat apabila delik “merendahkan DPR atau anggota DPR” dikatakan sebagai tindak pidana”.
Sebagaimana uraian saya di atas, “merendahkan martabat anggota DPR” merupakan delik yang dapat ditafsirkan secara subjektif oleh penegak hukum, karena undang-undang tidak memberikan batasan atau interpretasi atas unsur “merendahkan”, unsur “kehormatan”. Oleh karena itu, dua unsur ini akan sangat mudah ditafsirkan secara subjektif oleh penegak hukum. Sulit dibedakannya antara perbuatan “merendahkan”, “mengkritik”, “mengeluh”, “menyampaikan pendapat” membuka peluang subjektivitas dalam penerapannya. Perbuatan tersebut dalam konteks hukum pidana sangat sulit dibedakan dan sangat sulit ditafsirkan. Kalaupun dijadikan rumusan delik, maka rumusannya harus masuk ke dalam kategori delik materiil atau tidak dimasukkan dalam ranah pidana namun ranah perdata. Hal yang perlu diperhatikan adalah, meski dirumuskan deliknya secara materril atau dimasukkan dalam ranah perdata, subjeknya tetap harus orang perorangan bukan lembaga negara/lembaga kekuasaan.
Dalam doktrin hukum pidana “kehormatan” dapat dimiliki oleh orang perseorangan, bukan kelembagaan apalagi sebuah lembaga yang mewakili kepentingan rakyat. Sulitnya menakar “kehormatan” pada lembaga seperti DPR karena salah satu ruang lingkup tugasnya adalah menampung “pendapat” rapat. Cara-cara memberikan pendapat bisa dalam bentuk kritik, saran, atau cara-cara yang lain, karena beragamnya pendidikan, suku, agama dari rakyat yang diwakilinya. Oleh sebab itu, keistimewaan ini sebenarnya tidak memiliki landasan dan akar asas/teori/doktrin yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai norma hukum pidana.
Kewenangan MKD
Dengan perumusan pasal 12 UU MD3, jika merujuk pada asas legalitas, maka Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat melaporkan subjek delik, yaitu orang perseorangan, kelompok orang termasuk korporasi ke ranah pidana jika unsur-unsur dalam norma ini dilanggar. Namun demikian, jika dilihat dari subjek deliknya, maka sepatutnya yang melakukan pelaporan adalah anggota DPR yang mengalami “direndahkan martabatnya” bukan diwakili oleh MKD. Dalam doktrin hukum pidana, setiap orang yang menjadi korban tindak pidana maka orang tersebut memiliki hak untuk melaporkannya atau oleh kuasanya. Artinya hukum pidana memiliki relasi dengan subjek hukumnya atas dugaan terjadinya delik pidana pada subjek dari hukum pidana. Kehadiran MKD untuk mewakili kepentingan korban, tidak memiliki landasan doktrin yang cukup kuat. Kemudian pertanyan lainnya adalah bagaimana menjelaskan relasi antara anggota DPR yang menjadi korban tindak pidana dengan kehadiran MKD untuk mengambil langkah hukum terhadap orang/perseorangan/badan hukum yang merendahkan martabat anggota DPR RI?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, dengan kewenangan yang diberikan oleh UU MD3 terhadap MKD, maka berpotensi timbulnya konflik kepentingan pada penegak hukum. Bahkan penegak hukum berpotensi akan kehilangan objektivitasnya dalam menilai perbuatan yang dilaporkan oleh MKD atas dugaan terjadinya delik yang merendahkan martabat anggota DPR RI. Sebagaimana diketahui bahwa DPR RI adalah salah satu lembaga yang melakukan fit and propertest terhadap KAPOLRI. Oleh sebab itu, Polri (sebagai salah satu penegak hukum) berpotensi untuk mendapat “tekanan” dari MKD dalam memeriksa dugaan tindak pidana yang dilaporkannya.
Kesimpulan
Pasal 122 huruf L UU MD3, tidak memiliki landasan doktrin dalam hukum pidana terutama ketika dikaitkan dengan subjek delik dan perbuatan “merendahkan kehormatan”, sehingga berpotensi untuk diinterpretasikan secara subjektif oleh penegak hukum. Delik tersebut di atas dapat digolongkan sebagai delik verbal, sehingga di banyak negara tidak lagi dimasukkan dalam ranah hukum pidana karena merupakan konflik antara perseorangan dengan perseorangan bukan konflik antara perseorangan dengan lembaga negara/lembaga kekuasaan. Dengan argumentasi ini maka Pasal 122 L seharusnya dikeluarkan dalam UU MD3, karena membuka peluang untuk dilanggarnya hak-hak konstitusional warga negara dalam bentuk kriminalisasi atas setiap ucapan, perkataan, kritik, yang ditafsirkan sebagai perbuatan “merendahkan kehormatan” DPR atau Anggota DPR.