ONLINE DISPUTE RESOLUTION
Oleh SITI YUNIARTI (Juni 2018)
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) turut membawa pengaruh terhadap perkembangan jalur penyelesaian non-litigasi atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dalam artikel sebelumnya. Hal tersebut muncul seiring dengan semakin tingginya interaksi dalam dunia siber, khususnya dalam bidang perdagangan (e-commerce) sebagaimana dinyatakan oleh The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) [1] bahwa “[o]ne of the main challenge facing e-commerce is how to resolve cross-border disputes in the electronic business environment.” Tingginya intensitas interaksi memunculkan potensi persinggungan antar kepentingan yang berujung pada lahirnya sengketa atau perselisihan. Karakteristik dunia siber yang melewati batas negara (cross boarder) meningkatkan kompleksitas sengketa, baik dari sisi biaya, waktu maupun pilihan hukum.
Diilhami eksistensi ADR dalam dunia offline, Online Dispute Resolution (ODR) lahir sebagai varian dari ADR. Sehingga dapat dikatakan bahwa ODR merupakan implementasi ADR dengan menggunakan TIK sebagaimana definisi ODR menurut Colin Rule, yakni: the use of information and communications technology to help parties manage, transform and resolve their conflicts. Pengertian senada diberikan oleh Pablo Cortes [2] yakni: “Online Dispute Resolution (ODR) is often referred as a form of ADR which takes advantage of the speed and convenience of the Internet and ICT. ODR is the best (and often the only) option for enhancing the redress of consumer grievances, strengthening their trust in the market, and promoting the sustainable growth of e-commerce”. Serta definisi oleh Lee A Bygrave [3], dimana ODR diartikan sebagai broadly speaking, a process whereby disputes are substantially handled (through negotiation, mediation, conciliation, arbitration or a combination of such) via electronic networks such as the Internet.
Saat ini setidaknya setidaknya ada 4 (empat) bentuk ODR [4], yakni:
- Online settlement: menggunakan suatu sistem khusus untuk menyelesaikan klaim finansial secara otomatis;
- Online arbitration: menggunakan website untuk menyelesaikan perselisihan dengan bantuan arbitrator yang berkualitas;
- Online resolution of consumer complaints: dengan menggunakan email untuk menangani jenis-jenis tertentu dari komplain konsumen;
- Online mediation.
Walaupun secara definisi ODR identik dengan penggunaan TIK,namun menurut American Bar Association (ABA) bahwa dalam Online Dispute Resolution can involve the parties in mediation, arbitration, and negotiation. The parties may use the Internet and web-based technology in a variety of ways. Online Dispute Resolution can be done entirely on the Internet, or “online,” through e-mail, video conferencing, or both. The parties can also meet in person, or “offline.” Sometimes, combinations of “online” and “off-line” methods are used in Online Dispute Resolution. Some e-commerce companies provide Online Dispute Resolution as a service to customers. Sehingga dengan demikian, ODR dapat pula dilakukan melalui proses online secara keseluruhan atau penggabungan antara online dan offline.
Lahir sebagai salah satu bentuk manifestasi Teknologi Komunikasi dan Informasi (TIK), ODR digadang memberikan lebih banyak benefit dalam penyelesaian sengketa yang lahir dari benturan kepentingan dalam dunia siber, terutama e-commerce. TIK yang memungkinkan distribusi barang dan jasa menjadi lebih luas menyentuh bagian manapun di dunia selama terkoneksi internet, menumbuhkan pasar-pasar baru yang mempertemukan pelaku usaha dan konsumen dalam ruang maya, melewati batas-batas negara (cross boarder). Sehingga sengketa yang timbul mungkin saja melibatkan pihak-pihak dalam ruang dan teritori yang berbeda. Dalam situasi tersebut, ODR dianggap memberikan keuntungan dibandingkan penyelesaian sengketa secara litigasi maupun non-litigasi berupa Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), terutama dari sisi efisiensi waktu dan biaya.
Sekalipun demikian, ODR pun memiliki beberapa isu yang perlu dicermati, terutama terkait dengan pertukaran informasi yang terjadi dalam proses ODR itu sendiri. Mengerucut pada pelaksanaan mediasi online, Heuvel [5] mengidentifikasikan 4 (empat) isu, yakni: (1) Trust terkait dengan (a) Identity and digital signature; dan (b) data security and confidentiality; (2) Privacy; (3) In the shadow of the law dan (4) compliance.
Selain isu dalam pertukaran informasi sebagaimana diuraikan di atas, Glavanits [6], memcermati faktor non-teknis yang akan mempengaruhi perkembangan ODR, yakni: perbedaan kemampuan IT (different level of IT) dan kemampuan bahasa para pihak. Terkait kemampuan bahasa, Glavinits memberikan catatan bahwa penggunaan ODR secara lokal, isu bahasa mungkin bukan merupakan hal pokok, namun dapat menjadikan permasalahan apabila dilakukan dalam transaksi cross boarder. Dengan demikian, sebagai suatu sarana penyelesaian sengketa yang dianggap efektif dalam penyelesaian sengketa karena memberikan efisiensi waktu dan biaya, ODR harus mampu memberikan solusi terhadap isu-isu yang dapat menjadi hambatan bagi perkembangannya. (***)
Referensi:
[1] UNCTAD, (2003), E-Commerce and Development Report 2003, p.177.
[2] Pablo Cortés, What is Online Dispute Resolution?, Oxford, 2011, p. 1.
[3] Lee A Bygrave, Online Dispute Resolution – What it Means for Consumers, Sydney, 2002, p. 1.
[4] Sree Krishna Bharadwaj H, A Comparative Analysis of Online Dispute Resolution Platforms, American Journal of Operations Management and Information Systems. Vol. 2, No. 2, 2016, pp. 84.
[5] Esther van den Heuvel, Online Disputes Resolution As A Solution To Cross-Boarder E-Disputes- An Introduction to ODR, diunduh dari http://www.oecd.org/internet/consumer/1878940.pdf
[6] Judit Glavanits, Obstacles of ODR in Developing Counties, diunduh dari http://www.uncitral.org/pdf/english/congress/Papers_for_Congress/79-1-GLAVANITS-Obstacles_of_odr_in_developing_counties.pdf.