TAMBANG INKONVENSIONAL DI BANGKA: BENTUK KETIDAKSERIUSAN PEMERINTAH
Oleh SHIDARTA (Juni 2018)
Isu tentang tambang inkonvensional di Pulau Bangka adalah cerita lama yang anehnya tidak pernah “tutup buku”. Pemerintah boleh berganti, bahkan sebentar lagi pilkada serentak bakal digelar lagi dengan calon-calon kepala daerah bertebaran di setiap penjuru. Namun, sekali lagi komitmen kuat untuk mengakhiri tambang inkonvensional di pulau ini lebih sekadar lips service; tak pernah benar-benar disuarakan dari hati terdalam dan komitmen kuat untuk bertindak sesuatu.
Beberapa hari lalu saya sempat berkunjung di sebuah panti jompo yang terletak di belakang Rumah Sakit Siloam, Pangkal Pinang. Hanya berjarak kurang dari 500 meter dari situ juga ada sekolah dan penginapan dan kerumunan permukiman penduduk. Tetapi, aktivitas penambangan timah dengan polusi suara berisik mesin diesel dari kegiatan penambangan di area seluas lapangan sepak bola itu, demikian keras terdengar. Bisa dibayangkan trenyuh kita melihat kondisi seperti ini, terlebih karena penambangan itu berada persis di pinggir pagar panti jompo yang menampung sekitar 150 orang-orang tua. Mereka mengeluh, tapi tidak tahu harus disampaikan ke mana? Sayapun tidak dapat membayangkan kegiatan seperti ini masih bisa terjadi di sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi peradaban dan budaya menghormati sesama, apalagi ketika kita menyadari orang-orang tua yang butuh waktu beristirahat mengisi masa tua mereka.
Situasi seperti ini benar-benar ibarat penyakit kanker di negeri serumpun sebalai itu. Tambang inkonvesional dengan arogan mempertontonkan kegilaan mereka menguliti perut bumi dan merusak keseimbangan alam. Bahkan, fasilitas seperti Bumi Perkemahan yang ada di Kabupaten Bangka pun, diluluhlantakan oleh aktivitas tambang ini. Saya tak tahu apa yang harus dibanggakan dengan aktivitas yang menyuntik perekonomian sesaat ini, padahal kerusakan yang ditinggalkannya bakal bertahan bergenerasi-generasi berikutnya.
Sudah seharusnya Pemerintah Pusat dan Daerah menyadari bahwa tindakan tambang inkonvensional ini sudah mesti sampai pada kata akhir: “enough is enough”. Anak cucu kita akan mengutuk kita jka tak juga berhenti merusak alam ini dengan pertimbangan serba-instan dan sangat sumir dan klise, yakni guna memenuhi kebutuhan perekonomian warga. Pada kenyataannya, tidak pernah ada warga lokal dengan jumlah yang signifikan benar-benar menikmati model penambangan inkonvensional tersebut. Data beberapa tahun pasca-krisis moneter awal tahun 2000-an, memang ada sekitar 15% warga Bangka-Belitung yang terkait dengan usaha ini, dan jumlah ini diperkirakan sudah jauh menurun saat ini. Sebagai indikator, yang terjadi sekarang adalah justru penolakan di sana-sini dan biasanya konflik horisontal itu secara insidentil dimediasi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.
Gubernur, bupati, dan walikota di Provinsi Bangka-Belitung, boleh-boleh saja berganti setiap periode, tetapi sangat menyedihkan bila di mata masyarakat, sebenarnya tidak ada pembeda sama sekali para [calon] pemimpin itu di mata masyarakat, terutama tatkala mereka harus berhadapan dengan aktivitas masif penambangan inkonvensional. Jika demikian akhirnya, pilihan paling rasional yang bisa ditunjukkan adalah bersikap apatis. Dan inilah “dosa” terbesar yang harus dibayar mahal sebentar lagi, tidak hanya oleh para penyelenggara negara ini di tingkat pusat dan daerah, melainkan juga oleh anak cucu kita beberapa generasi mendatang. (***)
Baca beberapa tautan berikut yang menunjukkan parahnya dampak tambang inkonvensional ini:
- http://bangka.tribunnews.com/2018/05/30/parah-pemilik-ti-ilegal-di-batu-ampat-berani-rusak-fasilitas-jalan
- http://bangka.tribunnews.com/2018/04/19/resahkan-warga-ti-di-dekat-pepabri-ditertibkan-satpol-pp-bangka
- http://bangka.tribunnews.com/2018/04/04/bekas-ti-di-desa-lampur-tidak-kunjung-direklamasi-begini-keadaannya
- http://bangka.tribunnews.com/2018/03/05/beroperasi-100-meter-dari-bibir-pantai-warga-teluk-uber-datangai-penambang
Published at :