UPAYA PAKSA PIDANA RESTITUSI DAN PENGATURANNYA DI MASA DEPAN
Oleh AHMAD SOFIAN (MEI 2018)
Peraturan tentang restitusi yang terdapat dalam 7 undang-undang (seperti yang disebutkan dalam tulisan sebelumnya) tidak banyak berperan dalam memenuhi hak-hak korban. Restitusi yang diatur dalam undang-undang tersebut tidak memberikan jaminan yang utuh bahwa korban dapat menerima restitusi pasca putusan pengadilan. Hal ini disebabkan karena lemahnya upaya paksa yang dijatuhkan pada terpidana jika tidak memenuhi restitusi. Bahkan ada undang-undang yang sama sekali tidak mengatur jika terpidana tidak melaksanakan kewajiban restitusi pasca diputuskan oleh pengadilan. Hanya Undang-Undang No. 21/2007 yang memiliki upaya paksa, sementara undang-undang lain tidak memberikan upaya paksa jika terpidana tidak mau membayar restitusi. Upaya paksa yang diberikan oleh UU No. 21/2007 jika terpidana tidak memenuhi kewajiban restitusi adalah JPU menyita harta benda milik terpidana dan menjualnya yang hasilnya diserahkan kepada korban atau keluarga korban atau ahli warisnya. Apabila terpidana tidak mampu membayar karena ketiadaa harta yang bisa disita maka diganti dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun penjara. Sementara itu, dalam UU No. 11/2012, ditegaskan bahwa jika pelaku tindak pidana mengingkari pembayaran ganti kerugian yang sudah disepakati dalam proses diversi, maka pengingkaran tersebut membawa konsekwensi kasus tersebut akan dilanjutkan dengan menggunakan sistem peradilan pidana. Secara lebih rinci dapat dilihat dalam matrik di bawah ini:
Selain soal ketiadaan upaya paksa, juga tidak ada kewajiban bagi JPU yang mengharuskan memasukkan restitusi dalam tuntutannya. Oleh karena tidak ada kewajiban, maka sedikit sekali JPU yang bersedia memasukkan restitusi dalam tuntutannya, atau ketika jaksa memasukkan restitusi namun tidak dikabulkan oleh hakim. Ini semua disebabkan oleh aturan yang tidak konsisten dalam mengatur tentang restitusi, apakah sebagai sebuah sanksi pidana yang diwajibkan atau hanya sebuah pilihan yang sifatnya “non obligation”. Selain itu, muncul juga perdebatan tentang bagaimana pula untuk tindak pidana yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut di atas, apakah restitusi juga dibolehkan ? Kebingungan-kebingungan juridis ini membuat “restitusi” berada dalam sistem yang terombang-ambing, dan tidak ada kepastian.
Jika dibandingkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka, restitusi sudah dimasukkan sebagai salah satu jenis hukuman yaitu dimasukkan dalam pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 70-72. Dalam Pasal 70 disebutkan bahwa pidana terdiri dari pidana pokok, pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus. Dalam Pasal 72 disebutkan bahwa salah satu jenis pidana tambahan adalah ganti kerugian. Dengan demikian jelas, KUHP telah memasukkan salah satu jenis pidana adalah ganti kerugian atau yang lebih dikenal dengan restitusi. Bunyi lengkap ketiga pasal yang disebutkan di atas sebagai berikut :
Pasal 70
Pidana terdiri atas:
- pidana pokok;
- pidana tambahan; dan
- pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.
Pasal 71
(1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf a terdiri atas:
- pidana penjara;
- pidana tutupan;
- pidana pengawasan;
- pidana denda; dan
- pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana.
Pasal 72
(1) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf b yang dapat dijatuhkan kepada pembuat terdiri atas:
- pencabutan hak tertentu;
- perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan;
- pengumuman putusan hakim;
- pembayaran ganti rugi;
- pencabutan izin tertentu; dan
- pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
(2) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidananya.
(3) Pidana tambahan bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Tindak Pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.
Namun demikian bukan berarti ketentuan tentang ganti kerugian ini bukan tidak ada masalah. Ganti kerugian sebagai salah satu jenis sanksi pidana yang dianut dalam R-KUHP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut soal besaranya. Berbeda halnya dengan pidana denda, R-KUHP memberikan pengaturan yang sangat rinci, termasuk konsekwensi jika tidak membayar denda.
Selain dalam RKUHP, R-KUHAP juga mengatur soal pidana ganti kerugian. Ganti kerugian ini ada diatur dalam dua pasal yaitu Pasal 133-134 dalam Bagian Ketiga dengan judul “Putusan Pengadilan Tentang Ganti Kerugian terhadap Korban”. Dalam pasal ini disebutkan bahwa pidana ganti kerugian diberikan jika korban mengalami keterugian materiel akibat dari perbuatan pelaku tindak pidana. Lalu pasal ini juga memberikan upaya paksa jika terpidana tidak mau membayar ganti kerugian yaitu dengan menyita dan melelang harta bendanya. Bahkan terpidana juga diancam tidak akan mendapat pengurangan hukuman atau pembebasan bersyarat jika masih menghindar membayar ganti kerugian kepada korban. Untuk lebih jelasnya berikut ini ditampilkan bunyi lengkap Pasal 133-134 R-KUHAP sebagai berikut :
Pasal 133
(1) Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban yang menderita kerugian materiel akibat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana membayar ganti kerugian kepada korban yang besarnya ditentukan dalam putusannya.
(2) Apabila terpidana tidak membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelang untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
(3) Apabila terpidana berupaya menghindar untuk membayar kompensasi kepada korban, terpidana tidak berhak mendapatkan pengurangan masa pidana dan tidak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(4) Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat ditentukan syarat khusus berupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyitaan dan pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 134
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Restitusi di Masa Depan
Harus ada penegasan dalam hukum pidana materiil bahwa restitusi adalah bagian dari bentuk hukuman (pidana) dan dikelompokkan sebagai pidana pokok atau pidana tambahan, sehingga semua delik yang menimbulkan kerugian, penderitaan dapat dikenakan restitusi. Dengan demikian pidana restitusi akan sejajar dengan pidana denda. Dengan demikian JPU tidak ragu-ragu untuk melaksanakan eksekusi atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (bisa dikaitkan dengan UU No. 16/2004). Konsepsi criminal restitution telah lama berkembang di negara-negara common law, dan salah satu artikel yang bisa dijadikan rujukan adalah tulisan Cortner E. Lollar guru besar University of Kentucky (What is Criminal Restitution?). Criminal restitution dijatuhkan dalam tindak pidana yang menimbulkan kerugian secara ekonomi, menimbulkan dampak medis/psikologis. R-KUHP sudah memasukkannya, namun tidak memberikan klasifikasi pada delik apa restitusi diberikan.
Untuk mendorong pelaku agar memenuhi kewajiban restitusi maka perlu mempertimbangkan pemberian remisi atau pembebasan bersyarat. Pelaku tindak pidana yang tidak memenuhi kewajiban restitusi dengan itikad baik maka harus dilakukan upaya paksa dengan beberapa opsi : penyitaan, kurungan.
Korban seharusnya tidak dibebankan dengan prosedur adminsistrasi yang rumit dalam membuktikan kerugian yang dialaminya. Sebagai opsinya maka dalam UU diatur tentang kualifikasi ganti kerugian dengan kategori-kategori didasarkan pada ancaman pidana yang dijatuhkan. Dengan demikian korban tidak perlu melampirkan kerugian, karena undang-undang telah menentukannya.
Prosedur pengajuan restitusi tidak harus melalui LPSK, karena LPSK tidak berada di seluruh wilayah Indonesia, harusnya diberikan opsi kepada penyidik dan penuntut umum. LPSK dapat berperan dalam melakukan penguatan kapasitas dan atau koordinasi kepada penyidik dan penuntut umum dalam memastikan dimasukkannya komponen restitusi dalam tindak pidana yang menimbulkan kerugian dan atau penderitaan.
Published at :