STATUS ANAK LUAR KAWIN
Oleh ERNI HERAWATI (Mei 2018)
Dalam tulisan yang lalu diuraikan mengenai status anak menurut hukum, yang salah satunya adalah anak luar kawin (ALK). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dalam Pasal 43 mengatur tentang anak luar kawin (ALK), yaitu anak yg dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Permasalahan tentang ALK yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ini telah membawa situasi yang tidak adil bagi si anak. Anak menjadi terputus hubungan hukumnya dengan ayah kandungnya, sedangkan diketahui bahwa lahirnya seorang anak, merupakan hasil hubungan yang terjadi antara dua orang yaitu laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menjadikan seolah-olah secara hukum si ayah terlindungi secara hukum ketika tidak melaksanakan tanggung jawabnya terhadap anak.
Satu kasus yang mengemuka tentang ALK yaitu yang disampaikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan pengujian atas Pasal 2 ayat (2) UUP tentang sahnya perkawinan dan Pasal 43 ayat (1) UUP tentang ALK. Permohonan diajukan oleh Aisyah Mochtar atau sering dikenal dengan Machica Mochtar, mengenai status dari anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono,[1] yang merupakan anak dari Machica Mochtar dan Moerdinono. Meskipun oleh Pengadilan Agama perkawinan antara Machica Mochtar dan mantan Menteri Sekretaris Negara tersebut diakui sah secara agama, namun anak hasil perkawinan tidak dapat dikatakan sebagai anak sah dikarenakan perkawinan antara mereka tidak dapat dicatatkan dikarenakan Moerdiono masih terikat dengan perkawinan yang lain. [2] Mahkamah konstitusi kemudian memberikan putusan atas permohonan ini, terutama yang berkaitan dengan status ALK, yaitu:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
Dalam pertimbangannya dijelaskan bahwa:
“…tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.”
“Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.”
Meskipun tidak dapat diberlakukan secara surut, namun Putusan MK tersebut jelas telah memberikan angin segar bagi kejelasan status ALK yang lahir setelah putusan ini. Machfud MD menyatakan bahwa anak lahir di luar hubungan pernikahan atau di luar hubungan resmi tetap memiliki hubungan dengan ayahnya. Setelah adanya putusan ini, wanita bisa menuntut pria yang menghamilinya untuk memberi nafkah sang anak. [3] Namun demikian perlu ditegaskan lebih lanjut, apakah hubungan keperdataan dengan si ayah dan keluarga ayah ini -jika memang dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan- apakah sifatnya adalah paksaan atau hubungan hukum antara ayah dan ALK tersebut dilakukan melalui mekanisme pengakuan anak sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan? Mengingat jika dilakukan melalui tindakan pengakuan anak, maka inisiatif pengakuan harus datang dari si orang tua. Permasalahannya, bagaimana jika si ayah tetap tidak melakukan tindakan hukum tersebut?
BAHAN BACAAN
[1] Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 17 Februari 2012 No. 46/PUU-VIII/2010
[2] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f41e31435676/putusan-mk-berpengaruh-pada-hukum-waris-
[3] https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-machica-mochtar-perjuangkan-anak-hasil-nikah-siri-ke-mk.html
Published at :