HOSTILE TAKE OVER DAN KETERBUKAAN INFORMASINYA
Oleh AGUS RIYANTO (Mei 2018)
Di dunia usaha salah satu strategi aliansi bisnis adalah dengan take over (akuisisi) terhadap perusahaan lain dengan maksud untuk melakukan perubahan pengendalian (change of control). Disamping itu tujuan lainnya adalah meningkatkan usaha diversifikasi usaha baik yang horizontal (terhadap kompetitornya dengan tujuan memperbesar pangsa pasar dengan mengurangi kompetensi) dan vertikal (dilakukan terhadap pemasok, pelanggan maupun distributor dengan tujuan mengamankan dan menguasai jalur distribusi sehingga kontinuitas bisnis tetap dapat dipertahankan). Hal ini terjadi sebagai kosekuensi dari pembelian saham yang melebihi 50 %, sebagai batas kepemilikan mayoritas, menjadi berubah kepada pengendali baru perusahaan tersebuta. Dengan take over perusahaan tersebut (target company) oleh perusahaan yang mengambil alih/take over (offeror company), maka diharapkan dapat mengurangi hambatan dan persaingan usahanya, karena manajemen dan kebijakan dapat dipegang langsung satu kelompok usaha perusahaan saja, sehingga effektivitas dan effesiensi target-target usaha yang ditetapkan mendekati kenyataan dan akan memperbesar konglomerasi di dalam satu kelompok usaha yang sama, termasuk keuntungannya.
Di dalam praktik, take over dapat terjadi dengan friendly (bersahabat) dan hostile (paksa). Friendly take over tidak terlalu banyak, karena para pihak dalam proses take over menyetujui terhadap rencana pengambilalihan saham tersebut. Artinya, kedua belah pihak, baik offeror dan target company, telah menyepakati terhadap rencana take over tersebut. Dengan demikian, dapatlah dikatakan take over yang lebih bersahabat sifatnya. Kondisi berbeda di dalam hal hostile take over yang nota bene target company dipaksa untuk kepada kehendak dari offeror company, terdapat kompleksitas permasalahan, seperti : adanya pihak-pihak yang dirugikan, baik itu pemegang saham minoritas atau target company itu sendiri. Ketidaksetujuan itu dilakukan dengan defensive tactis (taktik-taktik bertahan) yang dilakukan oleh Direksi target company dengan tujuan untuk menghalangi take over tersebut dan bahkan sampai dengan gugatan di pengadilan untuk memohon pengadilan untuk menghentikan take over tersebut. Di dalam hal hostile take over dilakukan melalui jalur bursa seringkali ditetapkan dengan harga premium tertinggi, namun hal tersebut tidak mengurangi niat offeror company untuk melakukan rencana pengambilalihan saham di target company.
Modus yang dilakukan dalam hostile take over di antaranya adalah : Unfriendly offer (take over dengan mendadak dan tanpa negosisiasi dengan target company), bear hugs (take over dengan mengajaknya pihak target company, tetapi target company waspada manipulasi offeror company), casual pass (take over dengan mana offeror company berniat melakukan corporate combination dengan mengajak target company untuk bernegosiasi), buy a block (take over dengan cara mengakumulasikan blok-blok saham kemudian menyusun strategi untuk melakukan hostile take over), proxy fight (take over dengan surat kuasa dimana offeror company meminta kuasa dari pemegang saham lainnya untuk hadir dalam RUPS), nominee (praktek take over dengan kepemilikan saham secara pura-pura), trust (take over dimana offeror company berperan sebagai trustor dengan menunjuk para pemegang sahamnya sebagai trustee dan menjadi pemegang saham untuk kepentingan trustor yang sekaligus sebagai beneficiary). Di samping modus, di dalam hostile take over adalah seringkali diikuti dengan ciri khas adanya itikad tidak baik oleh spekulan-spekulan tangguh yang berusaha mencari keuntungan besar dengan tanpa memperhatikan para pemegang saham yang ada. Yang dalam tahapan selanjutnya adalah melakukan pembelian saham lainnya offeror company dengan take over disertai harga murah dan secara paksa. Sementara ciri khas dari hostile take over berupa penolakan manajemen target company terhadap tawaran pihak offeror company, offeror company meningkatkan tekanan substantial yaitu meningkatkan tawaran harga yang lebih tinggi terhadap saham target company dan menerapkan zero sum game yaitu peraminan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.
Di Indonesia ketentuan khusus tentang hostile take over tidak diketemukan dalam perundang-undangan. Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) tidak mengaturnya, tetapi Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-264/BL/2011, Peraturan Nomor IX.H.1. tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka tanggal 31 Mei 2011 (Peraturan IX.H.1.) (meskipun tidak secara langsung mengatur hostile take over) salah satunya adalah ketentuan taktik offeror untuk suskesnya hostile take over. Ketentuan ini adalah merupakan cara offeror company untuk dapat menawar langsung target company dengan mengumumkan kepada publik. Hal ini terjadi, karena dalam tahapan negosiasi dengan manajemen target company apabila tidak tercapai kesepakatan, maka harus dilakukan langsung pembelian saham dengan pemegang saham, meski belumlah tentu berhasil apabila pemegang saham tidak bersedia juga menjual sahamnya pada harga tertentu yang dikehendaki offeror. Dengan kondisi demikian ini, maka tidak mudah mencegah terjadinya hostile take over. Untuk itu, maka harus diimbangi dengan tercukupinya ketentuan keterbukaan informasi kepada publik. Hal tersebut dapat diperjelas Peraturan IX.H.1. ketentuan tentang dari mana sumber pendanaan dari offeror company yang akan melakukan hostile take over. Hal lain yang harus diperjelas dalam keterbukaan informasi adalah pihak offeror company itu siapakah sesungguhnya subyek hukum offeror company tersebut dan harus dipertegas juga dasar alasan mengapa tertarik untuk melakukan hostile take over, serta aspek positif apakah dengan dilakukannya hostile take over tersebut bagi pemegang saham. Keseluruhannya harus dituangkan dalam peraturan yang dapat dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan tujuan setidak-tidaknya dapat mencegah ekses negatif hostile take over dan mengedepankan aspek perlindungan pemegang saham (terutama yang tidak setuju atas rencana tersebut) melalui jalan dicukupinya ketentuan keterbukaan informasi salah satu alternatif yang dapat dijadikan pilihan pencegahaannya. Hal ini, karena dalam realitas di Pasar Modal tidaklah mudah untuk mencegah terjadinya hostile take over dan untuk maksud itu harus ada perangkat hukum yang dapat menngurangi aspek ketidakbaikan dari hostile take over tersebut. (***)