People Innovation Excellence

MENCARI BENTUK PEMIDANAAN YANG TEPAT UNTUK PELAKU TINDAK PIDANA TEORISME

Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Mei 2018)

Terdakwa tindak pidana teorisme Aman Abdurrahman dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penunutut Umum. Terdakwa diduga merupakan “otak” dibalik serangkaian serangan terorisme di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2016 sampai dengan tahun 2017, mulai dari bom Gereja Oikumene di Samarinda, bom Thamrin, dan bom Kampung Melayu di Jakarta, serta dua penembakan polisi di Medan dan Bima. Menimbang penting dan besarnya peran terdakwa serta dampak yang ditimbulkan rasanya tuntutan hukuman mati secara awam merupakan tuntutan yang wajar.

Akan tetapi tuntutan tersebut mendapat tentangan salah satunya dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut Ketua Komnas HAM,  Choirul Anam, terdapat dua alasan mengapa hukuman mati tidak tepat dituntutkan kepada terdakwa Aman Abdurrahman. Pertama, tuntutan hukuman mati tersebut tidak serta merta dapat membongkar jaringan teorisme. Kedua, hukuman mati justru akan membuat terdakwa Aman Abdurrahman menjadi pahlawan di kelompoknya. Oleh karenanya tuntutan hukuman penjara seumur hidup dipandang sebagai hukuman yang paling tepat.

Dalam hukum pidana terdapat beberapa tujuan pemidanaan. Retribution merupakan tujuan pemidanaan yang paling awal dan dipandang sebagai tujuan premitif dari pemidanaan karena tujuan pemidanaan adalah hanya pembalasan semata. Dalam perkembangannya tujuan pemidanaan berkembang ke deterrence atau pencegahan baik individual deterrence yang melakukan melakukan tindak pidana untuk tidak mengulangi tindak pidananya lagi serta pencegahan terhadap general deterrence yaitu pencegahan agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana. Salah satu perkembangan tujuan pemidanaan adalah rehabilitation, di mana tujuan pemidanaan adalah merabilitasi perilaku menyimpang dari para pelaku tindak pidana agar dapat kembali ke masyarakat.

Hukuman mati dapat dilihat sebagai dua tujuan pemidanaan. Pertama sebagai retribution. Tuntutan hukuman mati tersebut pada dasarnya merupakan bentuk pembalasan terhadap perbuatan terdakwa. Kedua sebagai general deterrence. Tuntutan hukuman mati merupakan upaya menakut-nakuti para calon pelaku tindak pidana teorisme lainnya agar tidak melakukan tindak pidana tersebut. Akan tetapi pandangan tersebut tidaklah benar. Penjatuhan hukuman mati tidak memberikan dampak positif apa pun baik kepada pelaku maupun masyarakat. Penjatuhan pidana mati juga tidak bisa memberikan efek jera karena terpidana tidak dapat mengkomunikasikan apa yang ia rasakan kepada calon pelaku tindak pidana.

Demikian pula dalam perkara tindak pidana terorisme, hukuman mati tidak dapat menjalankan kedua tujuan pemidanaan tersebut. Pertama kematian bukan merupakan suatu ketakutan dan kesengsaraan bagi para pelaku tindak pidana teorisme karena dalam pandangan para pelaku terorisme apa yang mereka lakukan bukan merupakan penyimpangan tetapi merupakan tujuan mulia sebagaimana yang mereka percaya dan mati secara shahid merupakan tujuan mereka. Kedua, berkaca pada eksekusi mati terhadap tiga terpidana bom Bali, Imam Samudra, Amrozi dan Muchlas tidaklah membuat para pelaku takut. Lihatlah bagaimana pemakaman ketiga terpidana tersebut yang dihadiri oleh banyak orang seolah-oleh mereka dianggap sebagai pahlawan yang mati shahid dan bagaimana pelaku teorisme tidak takut mati shahid bahkan yang melibatkan anggota keluarganya termasuk istri dan anak-anaknya seperti tiga boom di tiga gereja di Surabaya dan  di rumah susun di Sidoarjo pada tanggal 13 Mei 2018 serta bom di Polrestabes Surabaya keesokan harinya. Oleh karenannya, penulis sependapat dengan Komnas HAM yang tidak setuju mengenai hukuman mati.

Kemudian tuntutan apakah yang pantas dan sesuai? Hukuman pidana seumur hidup bisa menjadi pilihan akan tetapi hal ini kemudian patut dipertanyakan lagi mengenai keefektivitasannya. Hal ini tidak lepas dari peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh para terpidana teorisme di Marko Brimob Kelapa Dua Depok selama empat hari dari tanggal 8 Mei 2018 sampai dengan 11 Mei 2018 yang menyebabkan beberapa anggota Polisi tewas. Kerusuhan ini seolah-olah membenarkan rahasia umum bhawa bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan tempat berkumpulnya dan belajarnya para terpidana terorisme. Penempatan para terpidana teorisme dalam lembaga pemasyarakatan dengan kelas maximum security atau bahkan super maximum security pun kemudian menjadi pilihan. Setelah kerusugan di Marko Brimbob, para pelaku dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan Gunung Sindur yang merupakan lembaga pemasyarakatan dengan kelas super maximum security.  Akan tetapi, menurut penulis, hal ini pun tidak lah efektif tanpa adanya upaya rehabilitasi.

Deradikalisasi merupakan salah satu bentuk rehabilitasi terhadap terpidana teorisme. Bagian dari deradikalisasi tersebut termasuk mengupayakan agar mereka dapat kembali ke masyarakat tanpa adanya label sebagai terpidana teorisme sehingga mereka dapat melepaskan diri dari kelompoknya. Akan tetapi hal ini tampaknya masih menjadi masalah setidaknya hal ini yang disampaikan oleh Peneliti dari Pusat Kajian Teorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin, di mana program deradikalisasi di Lembaga Pemasyarakatan yang masih lemah.

Pada akhirnya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana teorisme, tidak hanya lagi sebagai bentuk retribution maupun deterrence tetapi harus mengarah ke rehabilitasi. Akan tetapi diperlakukan cara rehabilitasi yang sesuai untuk dapat melakukan deradikaliasasi yang efektif. (***)


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close