MEMAHAMI MAKNA ASAS PRINSIP SYARIAH DALAM PERBANKAN SYARIAH
Oleh ABDUL RASYID (MEI 2018)
Secara bahasa kata ‘syariah’ berarti ‘jalan ke tempat pengairan’ atau ‘jalan yang harus diikuti’, atau ‘tempat lalu sumber air’. Arti terakhir ini digunakan oleh orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata ‘syariah’. Kesamaan syariat Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syariah itu ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia (Amir Syarifuddin, 3-4: 2003).
Dilihat dari sisi ilmu hukum, syariah dipahami sebagai norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang-orang Islam berdasarkan iman yang dikaitkan dengan akhlak baik dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Norma hukum syariah ini lalu dijelaskan dan atau dirinci oleh Nabi Muhammad. Oleh karena itu, syariah tesebut terdapat dalam al-Quran dan hadist nabi. Dengan kata lain al-Quran dan hadist merupakan sumber utama syariah. Berhubung norma-norma hukum dasar di dalam al-Quran masih bersifat umum, terutama terkait dengan hal muamalah, maka perlu dirinci lebih lanjut agar menjadi lebih konkret dan dapat aplikasikan dalam praktik. Untuk melakukan itu, perlu satu disiplin ilmu yang dinamakan dengan ilmu fiqh (Daud, 46-47: 2014).
Menurut Prof. Muhammad Daud Ali, dalam bahasa Indonesia, syariat Islam sering digunakan dengan kata syariat (syariah) atau hukum syara’, sedangkan fiqh Islam digunakan dengan Istilah hukum fiqih atau hukum fiqih Islam. Dalam praktik, kedua istilah ini sering dirangkum dengan kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami karena hubungan keduanya sangat erat, dapat dibedakan, tapi tidak mungkin dicerai pisahkan. Syariat adalah landasan fiqih dan fiqih adalah pemahaman tentang syariat (9: 2014).
Istilah syariah saat ini semakin popular digunakan, terutama dengan berkembangnya ekonomi syariah melalui lembaga formal seperti perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Istilah syariah juga saat ini mudah ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam perbankan syariah, syariah menjadi asas dalam menjalankan kegiatan usahanya. Menurut Pasal 1 ayat (7) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah, yang dimaksud dengan bank syariah adalah ‘bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah….’ Pasal 2 UU Perbankan syariah menekankan kembali bahwa ‘perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah….’ adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah, menurut Pasal 1 ayat (12) UU Perbankan Syariah, adalah ‘prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.’
Berdasarkan Pasal di atas dapat dipahami bahwa prinsip syariah merupakan asas utama bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Bank syariah wajib menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Apabila kita pahami lebih lanjut, prinsip syariah yang dimaksud dalam UU Perbankan Syariah lebih merujuk kepada fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan dalam mengeluarkan fatwa di bidang syariah. Oleh karena itu, maksud prinsip syariah dalam UU tersebut adalah fatwa, bukan syariah dalam arti yang sebenarnya sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Makna syariah menjadi lebih sempit dibandingkan dengan makna yang sebenarnya. Meskipun demikian, fatwa tersebut dikeluarkan bersumberkan kepada al-Quran, hadist dan kitab-kitab fiqh yang muktabar. Di Indonesia, lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengeluarkan fatwa terkait perbankan dan keuangan syariah adalah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Saat ini sudah ada 116 fatwa terkait dengan lembaga perbankan dan keuangan syariah yang telah dikeluarkan oleh DSN. (***)