KELEMBAGAAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH
Oleh: ABDUL RASYID (MEI 2018)
Perbankan Syariah di Indonesia diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah). Berdasarkan UU Perbankan Syariah tersebut, kelembagaan industri perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dan Unit Usaha Syariah. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat ketiga bentuk Kelembagaan industri perbankan syariah tersebut.
Bank Umum Syariah (BUS)
Menurut Pasal 1 ayat (7) UU Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan Bank Syariah adalah ‘Bank yang menjalankan kegiataan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.’ Adapun yang dimaksud dengan Bank Umum Syariah (BUS) menurut Pasal 1 ayat (8) adalah ‘Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembiayaan.’ Sebagai suatu entitas bisnis, kegiatan usaha bank syariah pada dasarnya sama dengan bank konvensional, yaitu melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan serta melakukan kegiatan lainnya. Kegiatan lain ini seperti melakukan fungsi sosial dalam bentuk menerima dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, serta dana kebajikan (Lihat pejelasan Pasal 19 ayat (1) huruf q).
Perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional adalah prinsip-prinsip syariah yang digunakan oleh bank syariah sebagai dasar utama dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dalam hukum Islam, terdapat berbagai macam bentuk akad, hal ini mengakibatkan produk-produk bank syariah menajid lebih variatif dibandingkan dengan bank konvensional. Dikarenakan bank syariah menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan kepada prinsip syariah, maka ia dilarang untuk melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah. Kegiatan usaha yang dilarang tersebut antara lain kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim (Lihat Penjelasan Pasal 2 UU Perbankan). Di samping itu, bank syariah juga dilarang untuk melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal; melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah. (Lihat: Pasal 24 UU Perbankan). BUS tidak boleh dikonversi menjadi bank umum, namun Bank Umum Konvensional boleh dikonversi menjadi BUS.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Sebelum diberlakukannya UU Perbankan Syariah, Bank Pembiayaan Syariah Syariah dikenal dengan nama Bank Pekreditan Rakyat Syariah. Istilah ‘prekreditan diganti dengan istilah ‘pembiayaan’ mengingat dalam kegiatan usaha bank syariah tidak dikenal dengan istilah kredit yang berbasiskan kepada bunga. BUS dan BPRS sama-sama sebagai lembaga intermedasi keuangan, namun BPRS tidak diperbolehkan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Lihat: Pasal 1 Ayat (9) UU Perbankan Syariah.
Dengan kata lain, cakupan kegiatan yang bisa dilakukan oleh BPRS lebih kecil dibandingkan dengan BUS. Hal ini dapat dilihat dari larangan kegiatan usaha BPRS sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 UU Perbankan Syariah yang menyatakan sebagai berikut: Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang: a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin bank Indonesai; d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah; e. melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Unit Usaha Syariah
Menurut Pasal 1 ayat (10) UU Perbankan Syariah yang dimaksud dengan Unit Usaha Syariah (UUS) adalah ‘unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.’ Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Bank Konvensional yang mau melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah harus membuka UUS dengan mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Pada prinsipnya kegiatan usaha yang dilakukan oleh UUS sama dengan BUS.
UUS harus menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Kantor induk, Bank Umum Konvensional, tidak boleh melakukan intervensi atau melarang UUS untuk tidak mematuhi prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Apabila hal tersebut terjadi, maka Otoritas Jasa Keuangan bisa memberikan sanksi administratif kepada Bank Induknya. Kemudian, UUS Bank Umum Konvensional ini tidak boleh selamanya menjadi UUS. Pasal 68 UU Perbankan Syariah mengatur, apabila aset UUS telah mencapi 50% dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya UU ini, maka UUS tersebut wajib melakukan pemisahan (spin off) dari bank induknya dan menjadi Bank Umum Syariah. UUS nantinya dapat berubah menjadi BUS atau merger dengan bank lain untuk berubah menjadi BUS tergantung dari kemampuan bank syariah tersebut. (***)