HOAX DAN UJARAN KEBENCIAN
Oleh VIDYA PRAHASSCITTA (Mei 2018)
Bom di tiga gereja di Surabaya pada tanggal 13 Mei 2018 yang kemudian disusul dengan satu bom lainnya di Sidoarjo pada malam harinya dan bom di Polrestabes Surabaya tanggal 14 Mei 2018 mengejutkan masyarakat Indonesia. Setelah kejadian tersebut, masyarakat mengekspresikan perasaan dan pendapatnya mengenai peristiwa tersebut di media sosial. Banyak ekspresi yang bersimpatik namun sebaliknya beberapa ekspresi yang negatif yang tidak mencerminkan rasa simpatik kepada para korban dan menjadi pembicaraan di media sosial yang menarik perhatian masyarakat luas. Beberapa di antaranya akun Facebook miliki Himma Dewiyana Lubis, yang menuliskan “Skenario pengalihan yang sempurna …#2019GantiPresiden” dan akun Facebook miliki Fitri Septiani Alhinduan yang menuliskan “Sekali mendayung 2-3 pulau terlampaui. Sekali ngebom: 1. Nama Islam dibuat tercoreng ; 2. Dana trilyunan anti teror cair; 3. Isu 2019 ganti presiden tenggelam. Sadis lu bong… Rakyat sendiri lu hantam juga. Dosa besar lu..!!!” Tentu pendapat tersebut meresahkan masyarakat.
Kepolisian kemudian mengambil tindakan atas hal tersebut dengan melakukan penyidikan. Mapolda Sumatera Utara bahkan telah menetapkan Himma Dewiyana Lubis sebagai tersangka atas pelanggaran Pasal 45A ayat (2) Jo. 28 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 (UU ITE) mengenai penyebaran ujaran kebencian. Demikian pula dengan Fitri Septiani Alhinduan yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Kalimantan Barat dengan pelanggaran pasal yang sama.
Memang sosial media merupakan media baru untuk menyampaikan kebebasan berekspresi penggunanya akan tetapi tetap terdapat batasan. Pengguna sosial media tetap harus memperhatikan hak-hak pengguna lainnya, termasuk tidak boleh merugikan nama baik dan menghina pengguna lainnya atau pun kelompok pengguna lainnya berdasarkan ras, etnis, agama ataupun gender. Kemudian pengguna sosial juga harus memperhatian dan mengklarifikasi terlebih dahulu informasi yang masuk untuk kemudian ia sebarkan dalam akun sosial media milikinya. Sayangnya hal ini kerap tidak diperhatikan dan disadari oleh pengguna sosial media.
Tulisan dalam kedua akun tersebut memang meresahkan masyarakat terutama korban, terlebih tulisan tersebut ditulis di sosial media yang dapat diakses oleh publik. Tentu tindakan perlu diambil agar jangan sampai hal ini menimbulkan akibat yang lebih serius. Akan tetapi apakah proses penyidilan perlu dilakukan? Terlebih apakah tulisan dalam kedua akun Facebook tersebut apakah dapat dikualifikasikan sebagai bentuk ujaran kebencian.
Permasalahan hal ini terletak pada kualifikasi perbuatan apa yang dikategorikan sebagai perbuatan ujaran kebencian tidaklah jelas. Ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE memang tidak memberikan kejelasan mengenai perbuatan apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian akibatnya dalam beberapa putusan pengadilan terjadi kerancuan, seperti dalam putusan Pengadilan Negeri Mauro No. 45/PID.B/2012/PN.MR atas nama terdakwa Alexander AN dan Pengadilan Negeri Pati No. 10/Pid.Sus/2013/PN.PT atas nama terdakwa Muhamad Rokhisun Bin Ruslan. Revisi terhadap UU ITE pada tahun 2016 pun tidak memberikan solusi atas masalah ini.
Apa yang dituliskan dalam kedua akun tersebut dapat dikagorikan sebagai penyebaran berita yang tidak benar atau dalam bahasa popular nya disebut dengan Hoax. Perbuatan penyebaran ujaran kebencian berbeda dengan hoax dan UU ITE tidak pernah mengatur mengenai perbuatan penyebaran Hoax tersebut. Pasal 45A ayat (1) UU ITE hanya mengatur mengenai tindak pidana penyebaran berita bohong yang berkaitan dengan konsumen dimana perbuatan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Oleh karenanya penggunaan Pasal 45A ayat (2) Jo. 28 ayat (2) UU ITE kurang lah tepat.
Pada akhirnya penindakan atas akun-akun yang meresahkan masyarakat perlu dilakukan namun penindakan tersebut harus dilakukan secara benar. (***)