UBI LEX VOLUIT, DIXIT; UBI LEX NOLUIT, TACUIT: MAKNA DAN PENGGUNAANNYA
Oleh SHIDARTA & PETRUS LAKONAWA (Mei 2018)
Pernyataan “Ubi lex voluit, dixit; ubi lex noluit, tacuit’ [baca: ubi leks voluit, diksit; ubi leks noluit, taquit] dapat dianggap sebagai sebuah ungkapan dalam bahasa latin hukum, tetapi dapat juga dipandang sebagai asas hukum. Asas ini kerapkali muncul sebagai penuntun dalam penemuan hukum di semua sistem hukum, yang dikenal sebagai metode argumentum a contrario. Metode argumentasi ini kerap dijelaskan dalam bahasa Latin, dengan kata-kata: “expressio unius est exclusio alterius” (expression of the one is exclusion of the other). Terkait dengan penggunaan asas ini sebagai metode penemuan hukum, akan dibahas pada bagian terakhir dari tulisan ini.
Ungkapan di atas terdiri dari dua kalimat. Kedua kalimat itu, bila disatukan, secara harfiah berarti: “Ketika undang-undang [sudah] menghendaki, ia [undang-undang] menyatakannya; ketika undang-undang tak menghendaki, ia [undang-undang] membisu” (if the law wanted, it would declare positively; if the law did not want, it would keep silent). Kata kerja dasar (infinitivus) pada kalimat pertama adalah: velle dan dicere. Kedua kata kerja ini ketika mendapat subjek lex, maka mereka berubah menjadi voluit dan dexit. Lalu, ada dua kata kerja dasar lain pada kalimat kedua, yakni: nolle dan tacere. Saat bertemu dengan kata lex, maka kata-kata kerja ini menjadi noluit dan tacuit. Semua kata kerja tadi masuk dalam tasrif kata kerja III (coniugatio III). Tasrif kategori ini diperuntukkan bagi akar kata kerja yang berakhir huruf mati (dalam hal ini: vell~; dicer~; noll~; tacer~).
Klausula pertama: Ubi lex voluit, adalah sebuah ungkapan pengandaian (if-clause atau conditional clause). Hal ini pertama-tama dapat dicermati dari penggunaan kata ubi, yang berarti ketika atau di mana (when; where). Dalam bahasa Latin, ada dua struktur pengandaian, yaitu faktual dan kontra-faktual. Pada klausula di atas (ubi lex voluit), klausulanya berstrukturkan pengandaian faktual. Bentuk pengandaian ini selalu diungkapkan dengan kata kerja indikatif, yaitu kata kerja yang mengekspresikan fakta. Sementara itu, ada pula pengandaian kontra-faktual yang diungkapkan dengan kata kerja subjunktif, yang digunakan untuk mengeskpresikan harapan.[1]
Jadi, kata voluit pada klausula pertama dan kata dixit pada klausula kedua, merupakan kata-kata kerja hasil tasrif bentuk ketiga (coniugatio III). Oleh karena kedua klasula pada kalimat pertama ini memperagakan suatu pengandaian, maka formulasi kalimat tersebut biasanya dikemas dalam kurun waktu sempurna (perfect tense). Kalima kedua, yang terdiri dari dua klausula berikutnya, juga dapat dianalisis serupa, yakni untuk pentasrifan kata kerja noluit dan tacuit.
Klausula lex dixit sebenarnya merupakan suatu konsekuen, sedangkan anak kalimat sebelumnya, yaitu ubi lex voluit adalah anteseden. Bunyi anak kalimat anteseden tersebut: ubi lex voluit (ketika undang-undang telah menghendaki) menjadi prasyarat untuk munculnya konsekuen: lex dixit ([maka] undang-undang menyatakan). Penjelasan yang sama berlaku untuk kalimat berikutnya. Klasula ubi lex noluit adalah anteseden untuk klausula berikutnya: lex tacuit.
PERFECT | CONIUGATIO III | |||
Velle | Dicere | Nolle | Tacere | |
Singular 1 | Volui | Dixi | Nolui | Tacui |
2 | Voluisti | Dixisti | Noluisti | Tacuisti |
3 | Voluit | Dixit | Noluit | Tacuit |
Plural 1 | Voluimus | Diximus | Noluimus | Tacuimus |
2 | Voluistis | Dixistis | Noluistis | Tacuistis |
3 | Voluerunt (Voluere) | Dixerunt | Noluerunt | Tacuerunt |
MAKNA | menghendaki | menyatakan | tak ingin | membisu, diam |
Asas “ubi lex voluit, dixit; ubi lex noluit, tacuit” ini sangat penting di dalam metode penemuan hukum, tepatnya metode konstruksi. Metode ini dibedakan dengan metode penafsiran. Di dalam metode penafsiran, undang-undangnya sudah mengatur suatu hal, kendati pengaturan ini menunjukkan ada kelemahan atau kekuranglengkapan. Atas dasar asumsi itu, maka ketentuan yang sudah ada dijadikan basis untuk dilakukan penafsiran. Hal ini berbeda dengan metode konsutruksi. Dalam metode konstruksi, undang-undang diasumsikan tidak berkata apa-apa. Artinya, terjadi suatu kekosongan (kevakuman) pengaturan. Keadaan ini harus diatasi oleh hukum melalui penemuan hukum. Salah satu metode konstruksi itu dilakukan dengan berpikir secara sebaliknya (a-contrario).
Jadi, apabila faktanya undang-undang tidak mengatur sesuatu hal, yang artinya sama dengan undang-undang dalam kondisi berdiam diri (membisu), maka harus dimaknai bahwa undang-undang memang sengaja sudah tidak ingin mengatur hal itu. Kalau undang-undang sudah tidak ingin mengaturnya, maka berarti undang-undang sudah memutuskan untuk memang tidak ingin mengatur hal tersebut. Dengan perkataan lain, undang-undang akan membolehkan hal itu terjadi tanpa perlu diatur. Sesuatu yang tidak diatur menunjukkan sebuah kebolehan (untuk dilakukan atau tidak dilakukan), tanpa mendapat konsekuensi hukum apapun.
Satu contoh klasik ditunjukkan di dalam Undang-Undang Perkawinan dan/atau peraturan pelaksanaannya. Undang-undang tidak mengatur masa tunggu bagi seorang duda untuk dapat menikah lagi (terhitung setelah perkawinan sebelumnya berakhir), maka hal itu berarti undang-undang memang telah sengaja berdiam diri untuk meniadakan aturan masa tunggu bagi duda tersebut. Hal ini berlaku sebaliknya bagi seorang janda, yang secara eskplisit telah disebutkan secara umum bahwa setiap janda wajib menunggu selama 130 hari (kecuali dalam hal-hal khusus, durasinya bisa lebih singkat) setelah perkawinan sebelumnya berakhir. Oleh karena masa tunggu untuk duda tidak diatur sama sekali, berarti konstruksinya adalah bahwa undang-undang meniadakan masa tunggu tersebut.
Tentu saja suatu konstruksi hukum tidak dibangun tanpa ada landasan argumentasi. Dalam contoh di atas, adanya masa tunggu bagi janda dan tiadanya masa tunggu bagi duda biasanya berangkat dari pemikiran bahwa pada diri seorang janda selalu ada kemungkinan masih membawa benih janin dari hubungan perkawinan sebelumnya. Masa tunggu ini diperlukan untuk memastikan status ayah biologis dari setiap anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang pernah menikah. Kepastian ini hanya perlu dilekatkan pada wanita; tidak pada pria.
Seiring dengan makin berkembangnya teknologi di bidang kedokteran, dewasa ini tidak lagi sulit untuk memberikan kepastian tentang jati diri ayah biologis dari setiap anak. Hanya saja, undang-undang dalam konstelasi hukum positif rupanya masih ingin berpegang pada konstruksi argumentum a contrario’ ini. Konstruksi ini berpijak pada keyakinan bahwa jumlah perilaku yang dibolehkan oleh undang-undang jauh lebih banyak daripada perilaku yang dilarangnya. Artinya, pengaturan di dalam undang-undang itu hanya untuk segelintir perilaku karena secara umum, semua perilaku pada hakikatnya adalah kebolehan untuk dilakukan. Jadi, apabila undang-undang tidak berkata apa-apa (membisu), prinsip keumuman itulah yang sekarang tampil ke depan. (***)
NOTE:
[1] Dalam bahasa Latin dikenal tiga ekspresi kata kerja yang dipakai untuk menunjukkan perasaan (mood). Ketiga kata kerja itu adalah: (1) indikatif (mengekspresikan fakta), (2) imperatif (mengekspresikan perintah), dan (3) subjunktif (mengekspresikan harapan).