PROPERTI: KEBUTUHAN ATAU INVESTASI
Oleh ERNI HERAWATI (April 2018)
Pada tahun 2014, kompas pernah merilis sebuah berita tentang perlunya mengawasi terjadinya gelembung properti.[1] Tulisan ini salah satunya menyorot tentang iklan penjualan properti[2] (rumah, ruko, apartemen) dalam media televisi yang menghembuskan pada pemirsa tentang “minggu depan harga naik”. Dari jajak pendapat yang dilakukan oleh kompas menunjukkan bahwa strategi ini dianggap cukup berhasil untuk menaikkan minat konsumen dalam membeli properti. Juga, dalam iklan tersebut disebutkan bahwa cicilan yang harus dibayar konsumen “hanya” sekian puluh juta rupiah setiap bulan. Sebuah strategi pemasaran yang mengaduk-aduk logika dan psikologis konsumen. Dalam kajian ilmu komunikasi, pesan iklan properti ini melesat ke dalam benak khalayak layaknya peluru yang ditembakkan. Mereka yang sangat terpengaruh ini diibaratkan oleh Harold Lasswel sebagai khalayak yang tidak berdaya. Meskipun pada kenyataan selanjutnya disadari bahwa konsumen-konsumen ini masih punya pilihan apakah ia memutuskan akan terpengaruh oleh iklan yang dilihatnya atau tidak.
Terlepas dari keterpengaruhan terhadap iklan, hal paling penting dalam permasalahan properti ini adalah adanya kenyataan bahwa di satu sisi terdapat rumah tangga Indonesia yang masih tidak mampu memiliki tempat tinggal, sementara di sisi lain terdapat pemasaran properti yang cukup mewah dan gencar dilakukan dengan menyebutkan cicilan properti “hanya” puluhan juta rupiah setiap bulan. Sebuah kontradiksi yang mengusik rasa kesenjangan dari masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan eksistensi si kaya. Tentu saja, dengan izin penguasaan lahan yang didapatkan oleh pengembang untuk membangun perumahan, mereka lebih senang untuk menyediakan properti bagi mereka yang berduit dibanding menyediakan rumah sederhana untuk masyarakat ekonomi lemah.[3] Karena iklan yang mereka sampaikan ternyata cukup efektif memberikan dampak kepada khalayak untuk segera berburu properti sebagai investasi. Sedangkan diketahui bahwa kebutuhan rumah yang belum terpenuhi sampai dengan tahun 2016 adalah sejumlah 11,4 juta rumah tangga. [4]
Dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur bahwa tanah (termasuk tanah untuk penyediaan rumah oleh pengembang) memiliki fungsi sosial. Juga disebutkan dalam UUPA bahwa Pemerintah harus mengatur peruntukan umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan. Semuanya dilakukan dengan dasar sosialisme Indonesia. Artinya bahwa tanah di Indonesia seharusnya justru dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat banyak, bukan bagi mereka yang memiliki modal kuat untuk membeli properti sebanyak-banyaknya untuk tujuan investasi. Sehingga kebijakan tentang pembangunan perumahan bagi masyarakat yang membutuhkan menjadi lebih utama dibandingkan dengan pembagunan perumahan untuk sekedar disimpan sebagai bentuk investasi. (***)
REFERENSI:
[1] KOMPAS. Awasi Gelembung Properti. Senin, 21-04-2014. Halaman: 17
[2] Suatu istilah yang perlu ditinjau kembali dalam konteks hukum Agraria di Indonesia
[3] https://www.rumah.com/berita-properti/2016/1/114566/terkait-hunian-berimbang-banyak-pengembang-membandel
[4] http://ppdpp.id/konsep-backlog/
Published at :