MEMAHAMI PUTUSAN BEBAS DAN LEPAS
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Aprl 2018)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal adanya tiga macam jenis putusan, yaitu putusan yang menyatakan terdakwa bersalah dan menghukum terdakwa, putusan bebas dan putusan lepas. Ketiga jenis putusan ini berpengaruh terhadap upaya hukum yang dapat dilakukan, sebagaimana dimaksud dalam gambar di bawah ini.
Perbedaan kedua jenis putusan ini terjadi konsekuensi dari paham dualistis yang dianut dalam KUHAP. Berbeda dengan aliran monoilstis yang tidak memisahkan perbuatan dan akibat dengan pertanggung jawaban pidana, dalam aliran dualistis unsur tindak pidana dibedakan antara perbuatan dan akibat yang dilarang dengan pertanggungjawaban pidana, akibatnya putusan pengadilan tidak hanya terdapat putusan menghukum dan bebas (vrijspraak) tetapi juga terdapat putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), atau biasa disingkat dengan sebutan “putusan lepas”.
Putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas merupakan dua jenis putusan yang berbeda meskipun kedua putusan tersebut sama-sama tidak memidana terdakwa Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sedangkan putusan lepas diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa jika majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Menurut Lilik Mulyadi perbedaan antara putusan bebas dan lepas dapat ditinjau dari segi hukum pembuktian. Apabila dalam pembuktian, Penuntut Umum tidak dapat membuktikan dengan dua alat bukti yang sah dan disertai keyakinan hakim, sesuai dengan asas minimum pembuktian maka putusan tersebut menjadi putusan bebas (vrijspraak); sedangkan apabila tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana maka putusan tersebut menjadi putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).[1]
Adanya alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) akan berpengaruh terdapat putusan pengadilan apakah menjadi putusan bebas atau lepas. Apabila terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana pembunuhan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) namun dalam pengadilan terbukti bahwa terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya karena bela paska (noodwear) Pasal 49 ayat (1) KUHP, maka putusannya menjadi lepas (ontslag van alle rechtsvervolging) dan bukan bebas (vrijspraak).
Dalam praktiknya, terdapat variasi dalam putusan bebas yaitu bebas tidak murni. Putusan bebas murni terjadi apabila Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur kesalahan akan tetapi namun unsur perbuatan dan akibat lainnya tidak dapat dibuktikan. Putusan bebas tidak murni ini kemudian yang dapat diajukan upaya hukum kasasi oleh Penuntut Umum. Hal ini bermula dari dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Dalam lampiran angka 19 Lampiran surat keputusan tersebut tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini dijadikan landasan bagi Penuntut Umum dalam mengajukan kasasi terhadap putusan Natalagawa sehingga keluarlah Putusan Mahakamah Agung No. 275 K/Pid/1983. Pada putusan tersbeut muncullah istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Putusan Mahakmah Agung ini kemudian dijadikan yurispudensi bagi penuntut umum dalam mengajukan kasasi terhadap putusan bebas tidak murni.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No.114/PUU-X/2012 telah menghapus frase kecuali terhadap putusan bebas Pasal 244 KUHP. Sebelumnya dalam Pasal 244 KUHP menyatakan bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya hukum kasasi, akan tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadikan semua putusan bebas baik murni atau tidak murni ini menjadi dapat dimintakan upaya hukum kasasi. Dalam pandangan penulis hal ini merupakan suatu kemunduran terhadap perlindungan hak-hak terdakwa dan tidak memberikan kepastian hukum kepada terdakwa yang telah dinyatakan tidak bersalah dalam proses pengadilan. (***)
REFERENSI:
[1] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti , 2007, hal. 152-153.
Published at :