KEMUDAHAN BERUSAHA (EASE OF DOING BUSINESS) TERKAIT PENYELESAIAN KEPAILITAN
Oleh NIRMALA (April 2018)
Ada 10 (sepuluh) indikator untuk mengukur kemudahan berbisnis atau yang juga dikenal dengan istilah ease of doing business. 10 indikator tersebut adalah:
- Memulai Usaha
- Perizinan terkait Mendirikan Bangunan
- Penyambungan Listrik
- Pendaftaran Properti
- Akses Perkreditan
- Perlindungan terhadap Investor Minoritas
- Pembayaran Pajak
- Perdagangan Lintas Negara
- Penegakan Kontrak
- Penyelesaian Perkara Kepailitan
Kemudahan berbisnis dapat diukur sejak akan mulainya suatu bisnis, sampai dengan jika suatu bisnis berjalan tidak sesuai dengan rencana, dimana mengalami masalah atau kesulitan. Salah satu permasalahan atau kesulitan tersebut yang terjadi adalah masalah kesulitan keuangan yang mengakibatkan debitur tidak mampu membayar (gagal bayar) atas kewajiban atau utang-utangnya kepada kreditur atau yang lazim dikenal dengan istilah insolven (insolvent).
Oleh karenanya, untuk tetap dapat mendorong agar bisnis yang mengalami kesulitan keuangan dapat tetap bertahan, maka negara harus menyediakan ketentuan kepailitan yang efisien dengan proses cepat dan berbiaya murah. Ketentuan kepailitan harus memberikan perlindungan atas hak-hak kreditur dan debitur secara seimbang. Proses kepailitan juga dapat meningkatkan harapan nilai pengembalian yang wajar bagi kreditur dan debitur. Dan yang terpenting adalah untuk menyelamatkan bisnis yang masih memiliki harapan untuk hidup (viable), yang pada akhirnya akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.
Satu di antara sepuluh indikator penentu kemudahan berusaha adalah penanganan kepailitan (dan Penundaan Kewaiban Pembayaran Utang atau dikenal dengan singkatan PKPU).
Dalam Laporan Doing Business, World Bank atau Bank Dunia, tahun 2018 Indonesia menempati peringkat 72 (http://www.doingbusiness.org/rankings). Posisi ini naik cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana Indonesia berada di posisi 91 tahun 2017 dan 109 di tahun 2016.
Khusus mengenai penanganan kepailitan, ada dua aspek utama yang diukur, yaitu aspek kerangka hukum dan efisiensi penanganan kepilitan. Pada aspek kerangka hukum, penanganan kepailitan dinilai dari sejauh mana kerangka hukum kepailitan memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta hak-hak debitur dan kreditur pada proses penanganan kepailitan sampai selesainya proses.
Sementara itu, pada aspek kedua, yaitu efisiensi penanganan kepailitan, penanganan kepailitan diukur dari biaya dan waktu serta hasil dari proses kepailitan. Pada satu sisi, biaya diukur dari biaya-biaya yang dibayar dalam rangka penanganan kasus mulai dari biaya perkara, biaya pengacara, biaya kurator/pengurus, biaya akuntan, penilai dan biaya-biaya profesional lainnya sampai proses kepailitan tersebut selesai, termasuk di dalamnya adalah kerugian yang terbentuk dari turunnya nilai pengembalian atas piutang kreditur. Sementara pada sisi lain, waktu diukur mulai dari permohonan pengajuan kepailitan sampai dengan proses pemberesan harta (boedel) pailit.
Terakhir, hasil dari proses kepailitan tersebut akan mengukur apakah sistem kepailitan mendorong agar suatu bisnis yang mengalami gagal bayar (insolvent) dapat keluar sebagai entitas yang tetap bertahan (going concern) setelah melalui proses kepailitan atau tidak. (***)
Published at :