TRAVEL UMROH: APA DAN BAGAIMANA SEHARUSNYA?
Oleh AGUS RIYANTO (April 2018)
Niat baik kaum Muslim untuk ibadah umroh ke Mekkah, Arab Saudi kembali lagi terlukai. Lagi dan lagi! Betapa mudah publik dibuat tidak berdaya oleh praktik-praktik yang tidak bertanggung jawab, sehingga masyarakat dirugikan dengan akumulasi dana yang fantastis. Apa yang dilakukan PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel) atau PT Amanah Bersama Umat (Abu Tours) seharusnya tidak boleh terjadi. Pelajaran apakah yang dapat dipetik di tengah kehendak putih ketaatan umat Islam?
Untuk memperoleh jawaban ini, maka dengan menggunakan kewajiban perusahaan publik atau emiten dalam hal keterbukaan informasi, pelaporan dan pengawasan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (dahulu Bapepam-LK) dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), dapat menjadi salah satu alternatif solusi. Hal ini didasari kepada apa yang terjadi pada First Travel dan Abu Tours bermula lemahnya dari ketiga hal tersebut. Sepanjang ketiga itu tidak diaturnya, maka potensi terjadi dan lagi-lagi terjadi akan berulang-ulang. Untuk itu, maka harus dihentikan dengan menggagas beberapa upaya yang dapat menjadikan referensi dalam usaha mencegahnya.
Yang terjadi dengan dan dilakukannya First Travel dan Abu Tours, dapat dipersamakan, sebagai upaya penggalangan dana masyarakat. Dalam hal ini konsumen yang akan umroh menyerahkan sejumlah uang tertentu sebagai syarat untuk dapat berangkat umroh untuk dikelola First Travel dan Abu Tours. Dari titik ini terdapat kesamaannya dengan tujuan utama perusahaan publik atau emiten melakukan Penawaran Umum sebagai cara untuk penggalangan dana masyarakat dengan jalan membeli saham sebagai bukti pemegang saham. Melalui jalan demikian dana masyarakat masuk kedalam kas internal perusahaan untuk digunakannya. Yang membedakan perusahaan travel umroh dalam penggunaan dana publik tidak seketat dengan perusahaan publik atau emiten, sehingga potensi terjadi penyalahgunaan lebih besar kemungkinannya. Dengan demikian ini, maka dapat ditarik bahwa kedua-duanya, pada intinya, adalah menggalang dana dan memperoleh dana publik meskipun tata cara berbeda prosedurnya, tetapi yang dilakukannya adalah setara dengannya.
Seharusnya disadari bahwa dengan konteks terdapat dana-dana publik berada di tangan pihak swasta, mau tidak mau, maka idealnya aspek pengawasan yang extra ketat penggunannya menjadi fokus utama instansi pemerintah yang membawahinya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, dimana pengawasan menjadi titik lemah, dalam pengelolaan dana umroh publik, yang dimanfaatkannya kelemahan ini oleh pengelola travel umroh. Berbeda halnya, Perusahaan Publik atau Emiten yang terikat ketat dan teratur dalam pelaporan penggunaan dana sebagaimananya diatur UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan beberapa peraturan OJK sebagai bagian untuk memperoleh Pernyataan Effektif dalam Penawaran Umum. Untuk itu, maka tidak ada salahnya dalam kerangka pencegahan berulangnya penyalahgunaan dana travel umroh untuk memotret dan mengaturnya sebagaimana yang ada dan diatur dalam di industri pasar modal sebagai pilihan solusinya. Bagaimanakah seharusnya?
Perusahaan travel umroh wajib memiliki modal. Modal harus dalam jumlah tertentu, misalnya 50 – 100 miliar dan tercatat dalam anggaran dasarnya. Ketegasan soal ini penting, karena selama ini ditengarai bahwa usaha travel umroh itu menganut skema semacam ponzi, pemasaran yang berjenjang, multi level marketing, pola gali lubang dan tutup lubang dalam menjalankan usahanya. Artinya, usaha ini berjalan dengan topangan dana jemaah yang akan berangkat umroh dan tidak berangkat dari permodalan yang dimilikinya sendiri sebagai perusahaan. Kelemahan dasar berupa ketidakcukupan permodalan seringkali dipandang sebelah mata atau tidak serius, sehingga berakibat buruk kegagalan dan ketidaktepatannya waktu jemaah umroh berangkat ke Tanah Suci (Mekkah, Arab Saudi) sering terjadi, Untuk itu, maka yang harus segera dilakukan perbaikan dengan memperkuat struktur permodalaan perusahaan travel umroh untuk memperjelasnya apakah layak atau tidaknya bergerak dalam bidang ini. Termasuk dalam hal ini soal pola hubungan dengan perwakilan atau agen travel umroh di daerah harus diperjelas hubungannya. Harus ditegaskan bahwa hubungan di antara keduanya adalah berangkat dari hubungan hukum sebagai perwakilan cabang dari pusat sehingga jika terjadilah kegagalan pengiriman jamaah umroh tidak dapat bahwa pusat melemparkan tanggung jawab atau lepas tangan tentang masalah ini. Artinya, harus ada aturan yang tegas persoalan ini dengan menjadikan cabang atau perwakilan sebagai kepanjangan dari pusat dalam anggaran dasar perusahaan travel umroh. Dengan kejelasan dalam pola hubungan, maka pertanggungjawabannya menjadi tegas dan jelas. Tidak boleh terjadi ada yang melepaskan kewajiban dan tangggung-jawab sementara dana Jemaah umroh telah dikuasainya.
Di samping hal tersebut di atas, maka masalah lemahnya pengawasan dari instansi yang membawahinya haruslah ditata ulang. Kelamahan mana dapat diatasi dengan menggunakan mekanisme keterbukaan informasi dan pelaporan Perusahaan Publik atau Emiten kepada OJK. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan, karena dana-dana jamaah umroh yang telah dikuasai perusahaan travel umroh sebagai dasar pemikirannya mengapa hal ini harus ada pengaturannya. Ketiadaan pengaturan tentang keterbukaan informasi menjadikan akan dan sering berulang terjadi kembali sebagaimana yang dilakukan oleh First Travel dan Abu Tours, sehingga menjadi kebutuhan mendesak untuk mewajibkan keterbukaan informasi yang bersifat material dan dapat mempengaruhi kelangsungan usaha dari travel umroh untuk segera dilaporkannya kepada Departemen Agama RI dan OJK. Artinya, setiap kejadian material harus terbuka kepada publik dalam jangka waktu dua hari setelah kejadian atau peristiwa terjadi. Keharusan ini menjadi mendesak dilakukan sebagai pencegahan dan tidaklah berlanjut keadaan bertambah buruk. Misalnya, apabila terdapat keberatan dan ketidakjelasan rencana pengiriman umroh, maka masyarakat juga dapat mengadukannya langsung kepada Kementerian Agama RI dan OJK. Melalui laporan demikian ini, maka perusahaan travel umroh ditegur dan dipaksa untuk menjelaskannnya langsung kepada publik melalui media massa sebagai bagian keterbukaan informasi yang menjadi kewajibannya.
Hal lain lagi juga sudah waktunya ditegaskan dan diatur adalah soal pelaporan. Pelaporan dimaksudkan adalah tentang jumlah jamaah umroh yang mendaftar dan yang belum dan telah diberangkatkan. Adalah kebutuhan mendesak untuk diatur, karena selama ini terjadi tidak adanya data yang pasti tentang masalah ini semuanya. Melalui pelaporannya yang teratur dan terjadwal, misalnya laporan dua bulan sekali, maka potensi dan gambaran akan terjadi keterlambatan dan kegagalan keberangkatan dapat dideteksi sedini mungkin oleh Kementerian Agama RI dan OJK. Laporan ini bersifat mutlak ada dan dapat dijatuhkan sanksi dengan perhitungan hari keterlambatan denda satu juta per hari. Sanksi berupa denda ini untuk mendisplinkannya perusahaan travel umroh dalam laporan usahanya. Pelaporan kedua adalah kewajiban membuat dan mengirimkannya laporan keuangannya, sebagaimana perusahaan publik atau emiten lakukan, yang diaudit untuk Laporan Keuangan Tahunan. Namun, laporan keuangan juga harus dilakukan pelaporannya per tiga bulan sekali. Melalui pola demikian, maka akan ada laporan keuangan setahun sebanyak empat kali, sehingga akan dapat diketahui dengan struktur keuangan yang dimilikanya itu berapa yang sesungguhnya ada dan dimilikinya per tiga bulan sekali itu. Hal ini menjadikan lembaga yang membawahinya menjadi dapat informasi teratur tentan kondisi keuangannya dan tidak terjadi yang dialami oleh First Travel dan Abu Tours ternyata di duga bahwa dana-dana milik jamaah disalahgunakan untuk keperluan pribadi sementara keberangkatan tidak jelas kapan akan diberangkatkan. Kesemuanya bermula tidak terdapatnya pola pelaporan keuangan yang tertatalah dengan baik dan jelas, sehingga dengan mudah disalahgunakan oleh pengurusannya, sementara masyarakat yang menempatkan dana-dananya tidak mengetahui apa yang terjadi dalam lingkup internal perusahaan tersebut.
Sesungguhnya bisnis travel umroh adalah usaha yang sangat menjanjikan. Hal ini mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk Islam terbesar di dunia. Namun, sangat disayangkan bahwa pola pengaturan dan mekanismenya kuranglah melindungi kepentingan masyarakat yang mempercayakannya. Perlindungan yang dimaksud adalah kejelasan akan kapan keberangkatannya dan berapa harga yang dapat diterima akal sehat untuk berangkat umroh tersebut. Harus diakui murah terkadang menjadi daya tarik, namun hal tersebut juga membuka celah tidak dimungkinkan untuk diberangkatkannya menjadi tinggi. Untuk itu fungsi penegakan hukum juga menjadi kewajiban yang harus dilakukan dengan memperketat melalui pendekatan sistem. Sistem yang dimakudkan ini adalah adanya mekanisme keterbukaan informasi dan pelaporan yang ketat bidang usaha ini, termasuk aspek pengawasannya. Masalah terakhir ini mendesak dilakukan perbaikan dengan pengaturan yang jelas dan tegas pelaksanannya. Hal ini, karena usaha travel umroh berangkat bisnis kepercayaan publik dengan mana seharusnya kepercayaan itu dipegang teguh dan niat suci menjalankan, namun sayangnya yang terjadi adalah penyalahgunaan kepecayaan tersebut. Yang pada akhirnya masyarakat juga yang akan memperoleh buah kerugian material dan nonmaterial ketidakhati-hatian, yang sejatinya juga disebabkan aspek hukum yang tidaklah melindunginya. Negara dalam kondisi demikian menjadi harus hadir untuk melindungi warga negaranya. Tidak bisa diam dan hanya bersikap mengatasinya setelah semuanya terjadi. Sebuah kerangka yang harusnyalah diganti dengan mencegahnya sebelum masyarakat dirugikan dan menangis karena keadaan. (***)
Published at :