ASAS-ASAS JUSTICE COLLABORATOR
Oleh AHMAD SOFIAN (April 2018)
Justice Collaborator (JC) awalnya diperkenalkan dalam rangka untuk membongkar kejahatan-kejahatan yang terorganisir yang sulit dilakukan oleh penegak hukum. Dengan kata lain, ada proses bargaining dengan saksi yang bertindak sebagai pelaku untuk membantu proses pembongkaran kejahatan secara menyeluruh. Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Dimasukkan sebagai salah satu norma hukum disebabkan karena perilaku mafia yang selalu tutup mulut, atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut. Oleh karena itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminologi ini berkembang di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), Jerman (1989). Justice collaborator mendapatkan perhatian serius, karena peran kunci mereka dalam “membuka” tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak hukum.
Dalam perkembagan selanjutnya JC ditujukan pada serious and organized crime yang makin lama makin besar dan bersifat transnasional. Selain itu akibat dari perkembangan tekhnologi informasi sehingga memudahkan komunikasi antar pelaku tindak pidana berkomunikasi. Para pelaku tindak pidana mendapat dukungan dari pelaku yang profesional (misalnya : akuntan, pengacara, dokter) yang mampu menghilangkan jejak kriminal atau pembelaan total. Dalam perkembangan terkini JC dibatasi kepada repentant/remorseful offender, yakni pelaku yang menyesali perilaku kriminalnya, anggota kartel atau organisasi kriminal yang memiliki informasi mengenai organisasinya yang tidak mungkin diperoleh dari saksi di luar organisasi dan memiliki informasi yang bermakna/signifikan dalam rangka mengungkap kejahatan serius yang sedang diperiksa, termasuk mengungkapkan para pelaku kejahatan tersebut.
Selain JC, ada juga yang disebut dengan Crown Witness atau sering disebut dengan saksi mahkota. Crown Witness (CW) tentu saja berbeda dengan JC, beberapa perbedaannya adalah CW tidak terlibat dalam tindak pidana, sehingga dia tidak dituntut kehadapan pengadilan. Namun CW memiliki beberapa kesamaan dengan JC, keduanya mengetahui tindak pidana yang dilakukan pelaku utama, mereka membantu proses investigasi dengan menyediakan informasi dan mereka juga memberikan kesaksian dihadapan pengadilan terkait dengan tindak pidana yang mereka ketahui. Selain itu, dalam konteks hukum pidana formil di Indonesia ditemukan juga beberapa jenis saksi yang lain yaitu saksi yang melihat, mendengar dan mengalami tindak pidana, saksi yang menjadi salah satu pelaku tindak pidana, saksi yang menjadi korban tindak pidana, saksi yang meringankan (a de charge), saksi yang memberatkan (a charge),saksi yang memiliki informasi yang relevan dengan tindak pidana dan saksi de auditu (testimonium de auditu) yaitu kesaksian karena mendengar dari orang lain. Testimonium de auditu ini merupakan perluasan dari kesaksian sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 65/PUU-VUUU/2010 yang dimana setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi. Petikan putusan MK secara sebagai berikut :
“Pasal 1 angka 26 KUHAP dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1a) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Asas (Principle)
Tidak banyak pembahasan dalam literatur yang mengulas tentang asas (principle) justice collaborator, karena kemunculan JC ini dilatarbelakangi oleh kesulitan dalam membongkar atau mengungkap kejahatan-kejahatan terorganisir sehingga dipilih jalan untuk melakukan “bujukan” dan memberikan “reward” kepada pelaku untuk mengungkapkan sindikat kejahatan yang terorganisir tersebut. Dengan kata lain, ada proses “transaksional yang legal” antara pelaku kejahatan dengan penegak hukum untuk mendapatkan informasi yang lebih besar atas tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok atau pelaku lainnya. Indriyanto Seno Adji menyebut bahwa doktrin tentang justice collaborator juga tidak banyak mengungkap masalah ini secara akademik, sehingga sering terjadi polemik diantara ahli hukum. Namun demikian ilmuwan hukum pidana mencoba menyusun prinsip-prinsip umum JC sehingga dapat diintegrasikan dalam norma hukum pidana baik formil maupun materiil. Harkristuti Harkrisnowo menemukan setidaknya ada 7 (tujuh) prinsip yaitu :
- Collaborator of justice may testify freely and without being subjected to any act of intimidation;
- Their protection should be organized and where necessary, before, during and after trial;
- Act of intimidation against witness or justice collaborator or people close to them shall be punishable;
- Subject to legal privileges providing the right to refuse to give testimony, they should be encouraged to report relevant information regarding criminal offense to the competent authorities, and thereafter agree to give testimony on court;
- Alternatives method to giving testimony other than face-to-face with the defendant shall be considered;
- Confidentiality of the whole process shall be secured;
- Adequate balance with the principle of safeguarding the rights and expectation of victims.
Ketujuh prinsip yang dikemukakan di atas dapat ditafsirkan sebagai berikut :
- JC memberikan kesaksian secara bebas dan tanpa intimidasi. Ini memberikan makna bahwa meskipun ada upaya untuk mendapatkan informasi tentang tindak pidana oleh pelaku lain, namun langkah tersebut tetaplah menghormati hak-hak yang dimiliki oleh sehingga yang bersangkutan dapat memberikan keterangan atau kesaksian tanpa harus diintimidasi. Jaminan bisa saja dituangkan dalam hukum acara pidana sehingga lebih memberikan kepastian hukum.
- Perlindungan hukum atas hak-hak JC harus diatur secara menyeluruh baik sebelum, selama, dan maupun setelah proses peradilan. Ini artinya adalah hak-hak JC dijamin dalam undang-undang sehingga JC tidak merasa dihianati atas keterangan yang diberikan terkait dengan tindak pidana yang diketahuinya atau tentang hal-hal lain yang memiliki keterkaitan dengan tindak pidana tersebut sehingga penegak hukum memiliki informasi dan dapat membongkar kejahatan tersebut atas informasi yang diberikan JC.
- Intimidasi terhadap JC atau orang-orang yang dekatnya akan dihukum. Siapapun yang melakukan intimidasi terhadap JC termasuk penegak hukum harus dihukum. Hal ini penting ditegaskan agar JC dapat memberikan keterangan atau kesaksian secara bebas dan tidak ada rekayasa yang dapat merugikan dirinya sendiri atau orang lain.
- Tunduk pada hak istimewa untuk menolak memberikan kesaksian, mereka harus didorong untuk memberikan kesaksian yang relevan mengenai tindak pidana kepada pihak yang berwenang, dan setelah itu setuju untuk memberikan kesaksian di pengadilan
- Harus dipertimbangkan adanya metode alternatif untuk memberikan kesaksian selain tatap muka dengan terdakwa. Ini menunjukkan bahwa adakalanya JC tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sesungguhnya dihadapan terdakwa lain karena ada gangguan psikologis atau ada hal-hal yang membuat dia tidak nyaman.
- Kerahasiaan seluruh proses harus dijamin. Penjaminan kerahasiaan menjadi hal penting agar keselamatan JC dan keluarganya atau orang-orang dekatnya tidak mendapatkan ancaman dari pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan JC. Hal ini harus menjadi perhatian penegak hukum.
- Keseimbangan yang memadai dengan prinsip perlindungan hak-hak dan harapan para korban. Meskipun JC diberikan perlindungan dan hak-hak istimewa namun perhatian terhadap hak-hak korban juga menjadi hal yang penting, sehingga harus ada keseimbangan yang memadai antara hak-hak JC dan hak-hak korban.
Hukum Internasional
Ada beberapa instrumen internasional yang telah diberlakukan terkait dengan JC ini. Beberapa di antaranya adalah :
Pertama, UNCAC (United Nations Convention against Corruption)
Konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption – UNCAC ) yang bertujuan untuk menekan angka korupsi secara global, salah satunya dengan melakukan kerjasama internasional untuk menghapuskan korupsi di dunia. Justice Collaborator ada diatur dalam Pasal 37 ayat (2) dan (3) yang merupakan penanganan khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengusut pelaku lain pada kasus yang melibatkan dirinya, Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.
Pasal 37 ayat (2) dan (3)
(2) Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.
(3) Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Justice Collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.
Dalam konteks ini, Indriyanto Seno Adji memberikan tafsir atas perlindungan ini menjadi tiga bentuk Protection Persons, meliputi dan diartikan juga termasuk didalamnya JC, yaitu :
- Protection Witnesses, Experts, Victims (Pasal 32),
- Protection of Reporting Persons (Pasal 33),
- Protection of Cooperating Persons (Pasal 37), yang dilakukan pada tahap :
Pra Ajudikasi, pada tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, dan untuk kerjasama ini, umumnya JC memperoleh reward berupa immunity for prosecution. Ajudikasi, pada tahap penyidikan dan proses pembuktian di pengadilan, dan untuk kerjasama ini, umumnya JC memperoleh mitigating for punishment (misalnya memperoleh tuntutan atau pemidanaan ringan atau pidana percobaan dengan syarat khusus). Pasca Ajudikasi, pada tahap setelah putusan pengadilan, dan untuk kerjasama ini, umumnya JC memperoleh remisi, asimilasi, pelepasan bersyarat dan lain-lainnya .
Kedua, Council of Europe Committee of Ministers Recommendations 2005 [on Witness and Collaborator of Justice]
Dalam instrument ini yang dimaksud dengan JC:
“Any person who faces criminal charges or having convicted or has been convicted in taking part in a criminal association or other criminal organization of any kind, or in offences of organized crime, but who agrees to cooperate with criminal justice authorities, particularly by giving testimonies, about a criminal association or organization or about any offense connected with organized crimes or any other serious crimes”
Terjemahan bebasnya lebih kurang: “Setiap orang yang menghadapi tuntutan pidana atau telah divonis bersalah atau telah divonis bersalah karena mengambil bagian dalam sindikasi kriminal atau organisasi kriminal lainnya dalam bentuk apa pun, atau dalam kejahatan terorganisir, tetapi setuju (bersedia) untuk bekerja sama dengan otoritas peradilan pidana, terutama dengan memberikan kesaksian, tentang sindikasi kriminal atau organisasi kriminal atau tentang kejahatan apa pun yang terkait dengan kejahatan terorganisir atau kejahatan berat lainnya ”
Ketiga, United Nations Convention against Transnational Organized Crime
Konvensi ini merupakan konvensi internasional untuk menentang tindak pidana transnasional yang terorganisir dan Indonesia telah meratifikasinya melalui UU No. 5 tahun 2009. Dalam konvensi ini ada diatur dalam Pasal 26 paragrap 2 dan 3
(2) Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence covered by this Convention.
(3) Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence covered by this Convention.
Terjemahan bebasnya sebagai berikut: (2) Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk menyediakan kemungkinan, dalam kasus-kasus yang tepat, untuk mengurangi hukuman terhadap terdakwa yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan atas suatu kejahatan yang dicakup oleh Konvensi ini. (3) Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk menyediakan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya, memberikan kekebalan dari penuntutan kepada seseorang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan pelanggaran yang dicakup oleh Konvensi ini.
Dari beberapa instrumen internasional yang disebutkan di atas, maka ditemukan satu komponen penting yang perlu digarisbawahi yaitu soal “rewards”. Beberapa alternatif rewards yang disebutkan dalam instrumen internasional tersebut adalah : (1) tidak ada penuntutan (2) adanya kekebalan terhadap hukuman (3) mengurangi hukuman (4) adanya jaminan yang memberikan keuntungan kepada terdakwa ketika dihadapan pada proses peradilan pidana misalnya tahanan luar, dibebaskan lebih awal, pembebasan bersyarat. Selain itu, perlu juga mengembangkan program khusus perlindungan JC, tujuannya adalah memberikan perlindungan dari ancaman-ancaman serius dari orang-orang memiliki kepentingan khusus atas kasus tersebut. (***)
Published at :