LARANGAN PERNIKAHAN ANTAR KARYAWAN SEKANTOR DI MATA MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh ERNA RATNANINGSING (Maret 2018)
Bagian Pertama
Ada ungkapan menyatakan bahwa tumbuhnya benih-benih cinta diawali seringnya bertemu. Dengan terbatasnya waktu dan jarak bagi karyawan yang bekerja untuk dapat bersosialisasi dengan lawan jenisnya di luar jam kerja, maka akan mempersempit ruang menemukan jodohnya. Sehingga relasi hubungan yang intens dengan rekan sekantor akan menimbulkan ketertarikan satu sama lain yang berakhir pada jenjang pernikahan. Namun, pada saat memutuskan akan melaksanakan pernikahan mereka terganjal pada ketentuan yang melarang pernikahan antar karyawan satu kantor. Salah satu pasangan harus mengalah untuk keluar dari perusahaan yang telah mempertemukan mereka. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”. Frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama inilah yang mendasari perusahaan untuk melarang karyawannya menikah sesama karyawan jika ingin tetap menikah maka salah satu karyawan tersebut harus mengundurkan diri.
Ketentuan ini sangat merugikan karyawan yang telah bekerja dan mengabdi di perusahaan dan berpotensi kehilangan sumber mata pencahariannya. Sementara dalam konstitusi diatur hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Ketentuan di dalam UU Ketenagakerjaan dirasakan menghambat pemenuhan hak berkeluarga yang dijamin dalam konstitusi. Tulisan ini akan memaparkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 13/PUU-XV/2017 dalam perkara pengujian Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan akibat hukumnya dari putusan MK ini.
Legal Standing dan Hak Konstitusional Yang Dilanggar
Hak Konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Legal standing pemohon berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa pemohon adalah pihak yang mengganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu :
- Perseorangan WNI;
- Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur oleh UU;
- Badan hukum publik atau privat; atau
- Lembaga negara.
Permohonan uji materil terhadap ketentuan yang melarang menikah antar karyawan dalam UU Ketenagakerjaan diajukan oleh 8 (delapan) orang pemohon adalah Jhony Boetja dkk yaitu perseorangan WNI. Mereka merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat diberlakukannya UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 153 ayat (1) yang menyebabkan hilangnya hak konstitusi Pemohon dengan hilangnya jaminan kerja dan penghidupan yang layak. Ketentuan ini juga melanggar hak konstitusional pemohon yang sudah dijamin dalam konstitusi sebagai berikut :
- Hak membentuk keluarga yang dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 yaitu “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
- Hak atas pekerjaan yang layak dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imblan dan perlakuan yag adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Pemohon berpendapat jika ketentuan di dalam pasal a quo tidak dihapus/dibatalkan oleh Mahkamah maka akan berpotensi besar pengusaha akan melakukan pelarangan perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan yang sama dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terus terjadi. PHK tersebut dikarenakan pekerja melaksanakan perintah agamanya dan pemenuhan hak konstitusionalnya dengan melakukan ikatan perkawinan. Hakekatnya, jodoh dalam perkawinan tidak bisa ditentang disebabkan ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki rasa saling mencintai sulit untuk ditolak, tentunya apabila sudah ada kecocokan dan sepakat maka hubungan tersebut akan melangkah pada jenjang perkawinan.
Menurut pemohon dalam permohonan uji materilnya, masalah lain timbul jika pasangan tersebut memutuskan tidak jadi menikah tetapi memilih tinggal bersama tanpa suatu ikatan perkawinan untuk menghindari peraturan perusahaan. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia yang masih menjunjung tinggi lembaga perkawinan. Pembatasan hak untuk berkeluarga dan hak atas pekerjaan tidak perlu dilakukan apabila setiap individu yang bekerja dalam satu perusahaan memiliki moral dan etika yang baik. Perkawinan sesama pegawai dalam suatu perusahaan sebenarnya menghemat pengeluaran perusahaan dalam hal menanggung biaya kesehatan keluarga. Jika perusahaan beralasan untuk mencegah terjadinya unsur korupsi, kolusi dan nepotisme dalam satu perusahaan, menurut Pemohon hal ini sangatlah tidak beralasan karena KKN tergantung dari mentalitas seseorang.
Legal standing (kedudukan hukum) Pemohon harus memenuhi dua kriteria yaitu :
- Pemohon adalah perorangan WNI Berdasarkan ketentuan pasal 51 ayat (1) UU MK;
- Ada atau tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangannya konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan berlakunya UU yang dimohonkan pengujian sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Dalam hal ini MK berpendapat, berdasarkan penalaran yang wajar para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan uji materil karena telah memenuhi dua kriteria diatas.
Published at :