LARANGAN PERNIKAHAN ANTAR KARYAWAN SEKANTOR DI MATA MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Maret 2018)
Bagian Kedua
Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam pertimbangan hakim MK menyatakan larangan tersebut tidak sejalan dengan norma pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 maupun Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusa karena pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah dan konstitusional. Sesuai dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 pembatasan hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan semata-mata menjamin pengakuan serta perhormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Mahkamah berpendapat pembatasan sebagaimana termuat dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Nomor 13 tahun 2003 tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan yang dimaksud. Demikian pula tidak ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, kemanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa pekerja/buruh dalam satu perusahaan memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan.
Selanjutnya, MK juga mempertimbangkan keberatan dari pihak terkait APINDO yang mendasarkan prinsip ketentuan pasal a quo pada doktrin pacta sunt servanda dengan menghubungkan pada pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan UU berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Menurut MK argumentasi demikian tidak selalu relevan untuk diterapkan tanpa memperhatikan keseimbangan kedudukan para pihak yang membuat persetujuan tersebut ketika persetujuan dibuat. Posisi pekerja/buruh berada dalam posisi yang lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan. Dengan adanya posisi yang tidak seimbang tersebut maka dalam hal ini filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi.
Berdasarkan pertimbangan hukum diatas, MK mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya dan menyatakan frasa “kecuali diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama” bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Akibat Hukum Putusan MK
Dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi :
“MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus pembubaran partai politik;
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) yang terdapat dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK. Secara teoritis, final bermakna putusan MK berkekuatan hukum tetap setelah selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan tidak terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan itu. Sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai menjadi dasar bagi pengusaha untuk melarang pernikahan dengan teman sekantor, maka pasangan yang bekerja dalam satu institusi/perusahaan tidak perlu khawatir jika ingin menikah. Dengan putusan MK ini pekerja/karyawan boleh menikah dengan teman sekantor dan perusahaan atau instansi wajib patuh pada putusan MK tersebut.