URGENSI KEBIJAKANÂ HUKUMÂ TERHADAPÂ OJEK ONLINE DI INDONESIAÂ
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Maret 2018)Â
Pada tanggal 27 Maret 2018 lalu, para pengemudi ojek online (dalam jaringan=daring) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Presiden. Ada beberapa hal yang diminta, namun yang paling disuarakan oleh para pengemudi ojek online tersebut tidak jauh seputar perut mereka. Permasalahan perang tarif operator/aplikasi ojek online serta hitungan tarif per kilometer merupakan isu utama.  Para pengemudi tersebut menyampaikan keluhan tersebut kepada Presiden Joko Widodo dan meminta Presiden untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut. Presiden pun telah meminta Menteri Perhubungan dan Menteri Komunikasi dan Informasi untuk mengumpulkan para operator dan pengemudi untuk mencari jalan tengah.
Akar permasalahan ini bermula dari ketiadaan dasar hukum bagi ojek untuk menjadi transportasi umum. Bisa dikatakan pemerintah melakukan pembiaran mengenai keberadaan transportasi umum plat hitam ini. Ojek telah menjadi transportasi umum ilegal sejak tahun 1990-an, namun keberadaan ojek baru membumi sejak tahun 2013 an ketika Nadim Makarim mendirikan perusahaan Gojek. Melalui penggunaan aplikasi di telepon pintar masyarakat dapat dengan mudah menggunakan layanan transportasi ini. Seiring dengan membuminya ojek, kompetitor lain pun masuk, seperti Grab, Uber LadyJak, BlueJek dan lainnya. Akan tetapi karena persaingan yang ketat hanya tersisa dua operator ojek online yang ada yaitu Gojek dan Grab.  Ketika keberadaan ojek telah membumi dan menjadi andalan masyarakat, benang kusut permasalahannya menjadi makin sulit dibenahi.Â
Ketiadaan pengakuan ojek sebagai transportasi plat kuning membuat tidak adanya kontrol terhadap beberapa hal. Salah satunya adalah persaingan bisnis. Kementerian Perhubungan tentu tidak bisa menentukan tariff minum dari ojek karena hal tersebut bukan wewnangnya. Demikian pula dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi yang hanya berwenang untuk melakukan pengawasan di bidang aplikasi. Akibatnya besarnya penentuan tarif yang dihitung secara sepihak oleh operator dan promosi secara terus menenur oleh operator lainnya tanpa bisa tersentuh oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ini pulalah yang menyebabkan pelaku usaha ojek online selain Gojek dan Grab mati karena kurangnya modal untuk melakukan penguasaan pasar melalui promosi harga.
Mau tidak mau pemerintah harus mengatur keberadaan ojek terutama ojek online ini. Kebijakan Presiden Joko Widodo dulu ketika awal keberadan ojek online, adalah hanya sebagai solusi sementara bagi transportasi umum di Indonesia karena kendaraan roda dua tidak dimaksudkan sebagai transportasi umum. Akan tetapi tampaknya hal tersebut tidak dapat diberlakukan lagi. Lihat saja saat ini Gojek sebagai prionir ojek online di Indonesia telah berubah dari start-up menjadi unicorn terbesar di Indonesia dengan total nilai investasi (baik dari dalam negeri dan luar negeri) sebesar USD 1,75 Triliun. Kemudian berdasarkan hasil penelitian dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Univeristas Indonesia kehadiran GoJek telah memberikan kontribusi tidak saja bagi perekonomian nasional dan masyarakat, tetapi bagi mitra pengemudi (pengemudi Gojek), mitra usaha mikro kecil dan mengenah (UMKM), dan Konsumen.
Kebijakan yang menganggap ojek sebagai solusi sementara tersebut sebenarnya tidak berjalan mulus. Keberadaan ojek ini justru telah mengubah kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Segera setelah Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 57 P/HUM/2017 pada 21 November 2017, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan langsung mengubah kebijakan larangan motor masuk jalan Sudirman–Thamrin dan rencana pembangunan trotoar di sepanjang jalan Sudirman–Thamrin. Awalnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat melarang Motor untuk masuk jalan Sudirman–Thamrin dengan tujuan mengalihkan pengguna transportasi pribadi termasuk ojek ke transportasi publik. Kebijakan ini dituangkan di dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor juncto Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 141 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor.
Demikian pula dengan rencana pembangunan trotoar yang di sepanjang jalur Sudirman Thamrin yang akan diperlebar menjadi sembilan sampai sepuluh meter untuk mengakomodir pejalan kaki, namun rencana ini diubah dengan memberikan jalur khusus bagi kendaraan bermotor.  Perubahan ini tidak terlepas dari fakta bahwa banyak pesanan menggunakan ojek online di wilayah tersebut. Sebelum melakukan perubahan ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan pertemuan dengan manajemen operator ojek online yang di dalam pertemuan tersebut terungkap fakta bahwa terdapat empat ratus delapan puluh ribu pesanan per hari untuk para pengemudi ojek online di jalur Sudirman Thamrin. Dapat dikatakan bahwa perubahan ini semakin mengukuhkan keberadaan ojek sebagai transportasi publik.
Pada tahap sekarang ini, negara sudah tidak bisa hanya menjadi penjaga malam saja tetapi harus ikut campur. Sebagai negera hukum, tentu perlu ketegasan negara untuk mengatur keberadaan ojek ini. Apakah melegalkan atau tetap melarang. Apabila dilegalkan, maka diperlukan perubahan undang-undang dan peraturan perundang-undangan turunannya. Kemudian apa yang menjadi keluhan para pengemudi ojek online pada aksi unjuk rasa tanggal 27 Maret 2018 tersebut dapat teratasi secara hukum, namun legalisasi tersebut juga membawa persoalan lainnya seperti bagaimana aspek keselamatan transportasi ini. Apabila sebaliknya tidak dilegalkan, maka harus dicarikan solusi agar dampak positif keberadaan ojek online dan operatornya dapat tetap berlanjut.  Kebijakan haruslah kebijakan nasional yang diikuti oleh pemerintah daerah, termasuk dalam pembangunan insfrastruktur di provinsi atau daerah yang mencerminkan dukungan atas kebijakan melegalkan atau tidak melegalkan ojek ini. Apabila hal ini tidak diatur, maka permasalahan ini akan berlarut-larut dan semakin rumit. (***)
Published at :