TAFSIR ATAS SUBJEK DELIK PERUSAKAN HUTAN DALAM UU P3H
Oleh AHMAD SOFIAN (Maret 2018)
Sebuah kasus menarik tentang perbuatan petani yang berlangsung Desa Umpungeng di Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Para petani telah mendiami kawasan hutan turun temurun, bahkan sebuah sumber mengatakan telah ratusan tahun. Namun pada tahun 2014, oleh pemerintah secara sepihak ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Tentu saja, dampak dari penetapan sepihak ini mengakibatkan seluruh warga yang mendiami kawasan hutan tersebut dianggap sebagai pelaku kriminal, karena mendiami kawasan hutan lindung tanpa hak, padahal ada sekitar ± 3.950 KK atau ± 23.428 jiwa yang tinggal di kawasan hutan. Upaya penyelesaian pun dilakukan dengan mekanisme perundingan namun belum menemukan titik temun. Perundingan bahkan melibatkan pemerintah Kabupaten Soppeng, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Namun, sebelum proses perundingan ini selesai pada tanggal 22 Oktober 2017 polisi kehutanan menangkap 3 orang petani yang sedang bergotong royong membersihkan lahan mereka. Ketiga orang ini selanjutnya ditetapkan sebagai tersangka. Kasus pun bergulir ke Pengadilan Negeri Soppeng dan ketiga petani tersebut didakwa melanggar Pasal 83 Ayat (1) dan atau Pasal 12 huruf b atau huruf c Jo. Pasal 82 Ayat (1) huruf a dan/atau huruf b dan/atau huruf c dan Pasal 17 Ayat (2) huruf n Jo. Pasal 92 huruf a Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Tafsir Subjek Delik
UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan atau sering disebut dengan UU P3H merupakan undang-undang pidana khusus, yang dimaksudkan untuk memberantas kejahatan hutan terorganisir dan kejahatan hutan yang dilakukan oleh korporasi, undang-undang ini tidak dimaksudkan untuk mengkriminalkan petani kecil yang tinggal dan bermukim di dalam atau disekitar hutan untuk berkebun. Argumentasi ini dapat dilihat dari Penjelasan Umum UU ini :
“akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkahwatirkn bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan dilakukan secara luar biasa.”
Dalam penjelasan umum jelas dan nyata, bahwa tindak pidana kehutanan yang dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan oleh sindikasi kehutanan, dimana undang-undang sebelumnya dinilai masih belum mampu mengatasi kejahatan kehutanan yang berlangsung luar biasa dan sistemik. Dengan demikian, undang-undang ini akan menemukan dan mempidana pelaku-pelaku kejahatan yang terorganisasi (organized crime). Jadi subjek hukum undang-undang ini adalah pembalak liar yang memiiki koneksi dengan sindikat kejahatan, pelaku kejahatan yang terorganisir, yang bahkan lintas negara, dan bukan ditujukan kepada pelaku-pelaku yang tidak terorganisir, tidak terlibat dalam sindikasi. Tindak pidana kehutanan dalam skala yang lebih kecil dapat merujuk pada undang-undang kehutanan (UU No. 41/1999) . Bukti otentik lainnya terkait dengan argumentasi ini dapat dilihat dari konsideran UU P3H :
“d. bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanansan global yang telah menjadi isu nasional, regional dan internasional;
-
bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahann dan pemberanansa perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin efektivitas penegakan hukum;
-
bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi;”
Kutipan di atas memperkuat argumentasi, bahwa hanya subjek hukum yang terorganisasi saja yang menggunakan undang-undang ini, sehingga sejak awal penyidik harus bisa memastikan bahwa ketika akan menggunakan undang-undang ini, telah ada bukti permulaan yang cukup tentang pelaku kejahatan yang terorganisasi ini yang diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan. Jika bukan subjek hukum yang terorganisasi maka sebaiknya gunakan undang-undang kehutanan. Terkait dengan subjek hukum yang terorganisasi ini dapat diliat dari Pasal 1 angka 21 yang berbunyi :
“Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukuim Indonesia dan/atau berakibat hukm di wilayah hukum Indonesia”
Undang-Undang P3H, juga memberikan tafsir yang otentik terhadap kata-kata terorganisasi yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut :
“Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”
Dengan demikian jelas bahwa tindak pidana kehutanan yang tidak terorganisir tidak bisa menggunakan undang-undang ini, termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar hutan/perladangan tradisional yang mengambil manfaat hutan untuk keperluan hidup. Para petani tradisional yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan di dalam hutan yang memanfaatkan hutan untuk hidup memiliki kekebalan (imunitas) atas undang-undang ini, dan tidak dapat dijadikan subjek delik.
Putusan Pengadilan
Terkait dengan dakwaan Jaksa Penuntu Umum, yang menggunakan Pasal 83 Ayat (1) dan atau Pasal 12 huruf b atau huruf c Jo. Pasal 82 Ayat (1) huruf a dan/atau huruf b dan/atau huruf c dan Pasal 17 Ayat (2) huruf n Jo. Pasal 92 huruf a Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, ternyata Majelis Hakim menjatuhkan vonis bebas (vrijspraak) terhadap 3 (tiga) petani dalam kasus perusakan Kawasan Hutan Laposo Niniconang, Kab. Soppeng. Mereka bernama Jamadi (41 tahun), Sukardi (39 tahun) dan Sahidin (45 tahun). Putusan ini dibacakan pada 21 Maret 2018 di Pengadilan Negeri Soppeng dipimpin langsung oleh Hakim Ketua Irianto Prijatna Utama, S.H., M.Hum. Hakim Anggota I Ahmad Ismail, S.H., M.H. dan Hakim Anggota II bernama Fitrianah, S.H. M.H.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum keliru menerapkan UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Harusnya JPU menerapkan undang – undang yang lebih relevan tehadap perbuatan ketiga Terdakwa. Sebab secara filosofis UU P3H ditujukan khusus pada kejahatan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisir sebagaimana tercantum dalam konsiderans UU P3H. Sementara itu, fakta yang terungkap pada persidangan membuktikan bahwa ketiga Terdakwa hanyalah petani tradisional yang menebang pohon dan berkebun hanya semata-mata untuk keperluan sandang, pangan dan papan.
Adapun makna “setiap orang” yang dimaksud UU P3H sebagaimana yang didakwa kepada ketiga Terdakwa adalah orang perseorangan secara terorganisir. Sedangkan perbuatan dari ketiga Terdakwa tidak dilakukan secara terorganisir. Untuk itu, unsur “setiap orang” yang didakwa kepada ketiga Terdakwa tidak terpenuhi, karena perbuatannya termasuk kualifikasi dalam ketentuan umum Pasal 1 UU P3H, yaitu Pasal 1 angka 6 yang mengandung impunitas bagi petani yang hidup secara turun – temurun di dalam atau di sekitar Kawasan hutan yang menebang pohon atau berkebun secara tradisional, tidak untuk kepentingan komersial.
Penutup
Pandangan Mejelis Hakim ini tentu sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh UU P3H. Dalam memaknai delik yang diatur dalam sebuah undang-undang penegak hukum (polisi dan jaksa) tidak bisa melihatnya secara sepotong-sepotong saja, tetapi harus utuh. Delik-delik (perbuatan yang dilarang) dalam suatu undang-undang harus juga memperhatikan landasan filosopis dan landasan sejarah dibentuknya undang-undang tersebut yang dapat dilihat dari konsiderans dan penjelasan umum undang-undang tersebut. Selain itu, harus juga mempertimbangkan asas-asas hukum, yang termaktup dalam undang-undang tersebut yang bisasanya diatur dalam Pasal 1. (***)
Published at :