PERLINDUNGAN HUKUM ANAK DI RANAH DARING: TREND GLOBAL
Oleh AHMAD SOFIAN (Maret 2018)
Perkembangan tehnologi informasi menghasilkan sejumlah konsekuensi yang tidak terduga dan tidak disengaja. Teknologi berkembang dengan cepat sehingga menciptakan perubahan dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak daring. Di seluruh dunia, ruang Internet yang berkembang pesat membuat lebih banyak anak-anak rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan seksual. Kekerasan dan eksploitasi seksual anak di ranah daring (dalam jaringan) merupakan salah satu bentuk kejahatan siber moderen yang sangat berbahaya.Tehnologi telah dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan dan atau komunitas pelaku kejahatan dalam mengakses dan bahkan meningkatkan kapasitas kejahatan mereka atau kepercayaan mereka dalam melakukan kekerasan dan eksploitasi dalam skala yang lebih besar.
Dalam tiga tahun terakhir, pelaku kejahatan seksual anak dengan difasilitasi oleh “tehnologi” telah memunculkan trend baru kejahatan : Mereka saling share, saling diskusi berbagai hal tentang kejahatan ini. Dan platforms yang digunakan dalam mewujudkan kejahatan seksual daring ini adalah social networks website, file/photo sharing, gaming devices dan mobile apps. Data dari The US National Centre for Missing and Exploited Children (NCMEC) yang di-release tahun 2014 menyatakan bahwa ada 78.964 laporan kejahatan seksual anak daring yang dilaporkan masyarakat dan sebanyak 1.027.126 kasus eksploitasi seksual anak dari yang berasal dari laporan penyedia layanan elektronik. Selain itu, NCMEC memproses 150 juta gambar korban anak. NCMEC juga menyatakan bahwa “darknet” dan teknik perangkat lunak terenkripsi lainnya memungkinkan pengguna untuk mengakses dan menyebarkan eksploitasi seksual anak online secara anonim. Di Inggris diperkirakan 100.000 orang menyaksikan kejahatan seksual online material. Namun demikian karena sifatnya yang tersembunyi, tidak mungkin untuk mengukur secara akurat tingkat aktivitas ilegal ini.
Secara global ditemukan 5 bentuk kejahatan seksual anak online yaitu child sexual abuse/exploitation material, online grooming for sexual purposes, sexting, sexual extortion,
live online child sexual abuse. Bentuk-bentuk kejahatan seksual online tersebut hampir ditemukan di seluruh dunia, sehingga ada kekhawatiran yang luar biasa untuk segera mengatasi masalah ini, dan salah satu cara yang paling efektif adalah dengan mengembangkan instrument hukum dan melakukan langkah-langkah penegakan hukum di tingkat global.
Regulasi di Tingkat Global
Paling tidak ada 4 sumber hukum di tingkat global/regional yang bisa dipergunakan untuk merespon kejahatan ini yaitu : (1) The Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (OPSC), 2000; (2) The Council of Europe Convention on the Protection of Children against Sexual Exploitation and Sexual Abuse, 2007; (3) ILO Convention, 182 : Converning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour; (4) African Union (AU) Convention on the Cyber Security and Personal Data Protection, 2014.
Namun dalam prakteknya keempat sumber hukum tersebut tidak mudah diterapkan dalam konteks hukum nasional masing-masing negara.
Beberapa tantangan yang berhasil diidentifikasi ketika ketentuan hukum global tersebut akan diintegrasikan dalam hukum nasional adalah (1) sistem hukum di masing-masing negara memiliki keragaman, (2) konten dan substansi hukum yang belum bisa menerima bentuk-bentuk kejahatan tersebut, (3) hukum formal atau hukum acara yang bersifat umum serta (4) penegakan hukum. Terkait dengan sistem hukum (legal system), ditemukan paling tidak ada 6 sistem hukum yang berbeda di negara-nagara Asia, yaitu civil law, common law, socialist law, communist law, Islamic law, hybrid legal system. Ini menunjukkan keragaman dalam banyak hal mulai dari substansi hukumnya, sumber hukumnya dan hukum acaranya, sehingga tidak mudah memasukan kejahtan baru dalam sistem sistemu hukum ini termasuk kajahatan seksual anak di ranah daring.
Terkait dengan substansi hukum, beragamnya pengaturan masalah online child sexual abuse/exploitation, atau masalah ini tidak diatur, atau ketika masalah ini diatur dalam hukum nasionalnya namun menggunakan terminilogi dan unsur-unsur yang berbeda. Sementara itu, hukum formilnya memiliki beberapa aspek yang perlu diperpejelas : mekanisme investigasi memerlukan cara-cara khusus, namun hukum acara belum memberikan panduan yang clear tentang hal ini. Aspek lain adalah hukum pembuktian : kejahatan online child sexual abuse/exploitation memerlukan beban pembuktian yang tidak mudah, karena itu banyak kasus gagal dibawa ke pengadilan karena minimnya alat bukti. Sistem peradilan yang berbeda-beda termasuk persfektif hakim dalam menilai atau menghukum pelaku kejahatan ini. Potret tentang lembaga penegak hukum terutama kepolisian yang belum semuanya memiliki cyber unit. Beberapa negara telah memilikinya, namun belum memfokuskan pada kejahatan online child sexual abuse/exploitation tetapi pada kejahatan-kejahatan tertentu (terorism, people smuggling/traficking in persons). Aspek lainnya adalah keahlian yang tidak merata antara penegak hukum dan tingginya rotasi/mutasi (turn over) yang menyebabkan penegak hukum tidak focus dalam menangani masalah ini.
Penutup
Paparan singkat tentang tantangan yang dihadapi dari pesfektif hukum dan perundang-undangan dalam menanggulangi masalah ini merupakan satu hal yang penting. Jalan keluar yang ditawarkan untuk menghadapai tantangan ini diantaranya adalah: Pertama, melakukan harmonisasi hukum nasional di negara masing-masing, termasuk penggunaan terminologi. Termilogi lima bentuk kejahatan seksual anak online yang dipaparkan tersebut harus bisa diintegrasikan dalam hukum nasional. Di banyak negara, terminologi yang sering digunakan dalam konteks hukum pidana adalah pornografi anak, meskipun tidak semua bentuk kejahatan tersebut memenuhi unsur-unsur pornografi anak, sehingga perlu ada reformulasi bentuk kejahatan tersebut dalam hukum pidana nasional. Kedua, Membuat panduan investigasi yang dapat dilaksanakan oleh penegak hukum termasuk panduan dalam mendapatkan alat bukti yang kuat. Keahlian penegak hukum masih perlu ditingkatkan dan memastikan ada struktur kelembagaan di penegak hukum yang mampu merespon online child sexual abuse/exploitation. (***)
Published at :