BUMERANG KELUHAN KONSUMEN (Bagian 2 dari 2 tulisan)
Oleh SITI YUNIARTI (Maret 2018)
Tuiisan ini adalah bagian kedua dari tulisan dengan judul yang sama. Bagi yang belum membaca tulisan bagian pertama dapat mengakses pada tautan yang dicantumkan pada akhir tulisan ini.
Melanjuti artikel “Bumerang Keluhan Konsumen (Bagian I), pembahasan selanjutnya adalah perihal pengaduan langsung oleh konsumen kepada pelaku usaha. Salah satu perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang/jasa dalam UUPK adalah tidak memasang label yang memuat informasi-informasi yang diwajibkan, termasuk didalamnya mengenai nama dan alamat pelaku usaha (Pasal 8 ayat (1) huruf (i) UUPK). Kaitannya dengan mekanisme keluhan konsumen, informasi tersebut diperlukan terkait dengan tanggung jawab pelaku usaha. Bagaimana apabila pelaku usaha tidak memberikan informasi mengenai identitas pelaku usaha tersebut?
Terkait dengan tanggung jawab pelaku usaha, menurut Ahmad Miru (2000, 31-32) pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam UUPK, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha dengan susunan sebagai berikut:
- Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan;
- Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri;
- Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.
Dengan urutan tersebut sekiranya membantu konsumen ketika dihadapkan pada situasi dimana identitas pelaku usaha tidak tercantum dan/atau tidak diketahui.
Lebih lanjut, perkembangan TIK mendorong perkembangan electronic commerce, termasuk jual beli secara online, yang memperlancar arus barang dan jasa melewati batas-batas yurisdiksi (boarderless). Selain itu, dalam transaksi online, konsumen kerap dihadapkan terhadap kondisi minimnya informasi, baik informasi mengenai pelaku usaha maupun detail barang/jasa yang ditawarkan. Tak jarang minimnya informasi tersebut menyebabkan gap antara ekspektasi konsumen dengan barang/jasa yang diterima dari pelaku usaha, selain isu terkait cacat produk maupun isu syarat dan ketentuan yang umumnya bersifat sepihak. Kondisi-kondisi tersebut rentan menimbulkan keluhan konsumen maupun sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Dalam UUPK tidak dibedakan hubungan pelaku usaha dan konsumen secara online maupun offline. Dengan kata lain, ketentuan dalam UUPK berlaku pula bagi penawaran dan penyediaan barang/jasa secara online, termasuk mekanisme keluhan konsumen sebagaimana diuraikan dalam artikel bagian pertama. Pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah bagaimana eksistensi pelaku usaha yang menawarakan dan memperdagangankan barang/jasanya secara online tersebut?
UU ITE mengatur bahwa pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan. Dimaksud sebagai memberikan informasi yang lengkap dan benar meliputi informasi mengenai:
- Pelaku usaha (memuat identitas serta status subyek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara);
- Produk (menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa); dan
- Syarat kontrak (menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian).
Ketentuan mengenai identitas pelaku usaha juga dibebankan oleh UU Perdagangang yang mengatur bahwa pelaku usaha yang menawarkan barang/jasa dengan sistem elektronik wajib memberikan informasi yang lengkap dan benar, salah satunya informasi identitas dan legalitas pelaku usaha sebagai produsen atau pelaku usaha distribusi.Permasalahan mengenai identitas ini menjadi rumit apabila pelaku usaha, terutama perorangan, menawarkan dan menjual barang /jasa melalui sosial media sebagaimana pernah dibahas dalam artikel yang lalu.
Lebih lanjut, terkait dengan penawaran dan penjualan barang/jasa secara online, pelaku usaha menyadari bahwa kepercayaan (trust) merupakan unsur penting yang akan memberikan kenyamanan kepada konsumen untuk melakukan transaksi secara online. Untuk mengakomodir keluhan konsumen atau sengketa konsumen dan pelaku usaha, dikembangkan sistem penyelesaian sengketa secara online yang dikenal dengan istilah online dispute resolution (ODR) yang dipercaya lebih efisien dan efektif, terutama menangani transaksi lintas batas negara.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, dalam hal timbulnya keluhan dari sisi konsumen atas barang/jasa yang diterima dari pelaku usaha, hendaknya konsumen menggunakan sarana yang sudah disediakan oleh regulasi. Sehingga keluhan tersebut tidak menjadi bumerang bagi konsumen sendiri seperti pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. (***)
Bagian pertama dari tulisan ini telah dimuat dalam tautan berikut:
Published at :