COGITATIONIS POENAM NEMO PATITUR: MAKNA DAN PENGGUNAANNYA
Oleh SHIDARTA & PETRUS LAKONAWA (Maret 2018)
Asas ‘cogitationis poenam nemo patitur’ (baca: kojitatsionis pènam némo patitur) secara bebas diartikan bahwa tidak ada seorang pun dapat dihukum atas apa yang ia pikirkan. Asas ini merupakan prinsip hukum yang sangat umum, yang biasanya diajarkan pada para pelajar hukum tingkat awal.
Jika distrukturkan di dalam tata bahasa Latin, maka kata kerja yang terdapat dalam asas ini adalah patitur. Kata kerja ini berasal dari kata dasar (infinitivus) pati (passus sum) yang berarti ‘menderita’. Dari kata inilah kemudian kita juga mengenal ada kata-kata lain, khususnya dalam bahasa Inggris, seperti passion (penderitaan), empathy (masuk ke dalam penderitaan; empati), patient (orang yang menderita; orang sakit; atau dalam bentuk kata sifat berarti sabar menanggung penderitaan), compassion (ikut menderita; berbelas kasih), pathos (ikut berduka atas penderitaan orang lain), dan passive (keadaan mampu menderita; lawan dari aktif). Dalam sejarah Kekristenan, kata passion dipakai untuk menggambarkan penderitaan dan wafatnya Yesus (Isa Almasih). Dari kata ini pun kemudian muncul kata sifat passionate yang menunjukkan hasrat dan keyakinan yang kuat untuk mencapai suatu tujuan, dan konsekuensinya tentu ada kesiapan untuk menerima segala bentuk penderitaan, rintangan, atau cobaan.
Coniugatio III kata kerja “Pati“ |
||
SUBJEK | BERBENTUK PASIF TAPI BERMAKNA AKTIF | |
Tunggal 1 (Saya) | Patior | Saya menderita |
Tunggal 2 (Engkau) | Pateris | Engkau menderita |
Tunggal 3 (Dia) | Patitur | Dia menderita |
Jamak 1 (Kami) | Patimur | Kami menderita |
Jamak 2 (Kalian) | Patimini | Kalian menderita |
Jamak 3 (Mereka) | Patiuntur | Mereka menderita |
Kata patitur tertulis dalam bentuk pasif (akhiran ~itur biasanya dipakai untuk membentuk kata kerja pasif untuk orang ketiga tunggal) namun karena kata pati termasuk dalam kelompok kata kerja deponen (deponent verbs), yakni kata kerja berbentuk pasif namun memiliki makna aktif, maka kata patitur berarti: ia menderita. Dalam kalimat lengkap: cogitationis poenam nemo patitur, subjek dari kata kerja patitur adalah nemo yang berarti: tak seorangpun, atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai no one, none, atau nobody. Kata nemo sendiri sesungguhnya berasal dari kata ne’(tidak/tidak ada)+homo (orang) sehingga dapat diterjemahkan sebagai tak seorangpun. Jabatan kata nemo dalam kalimat ini adalah sebagai subjek (nominativus). Jadi nemo patitur berarti: tak seorangpun menderita.
Deklinasi kata nemo menurut berbagai jabatannya dalam kalimat bahasa Latin dapat dirinci dalam tabel berikut ini:
Nemo — Declinatio III, Femininum, Singularis[1] |
||
KASUS | TUNGGAL | JAMAK |
Nominativus (subjek) | nemo | – |
Genetivus (kepemilikan) | neminis | – |
Dativus (pelengkap) | nemini | – |
Accusativus (objek) | neminem | – |
Ablativus (keterangan) | nemine | – |
Vocativus (panggilan) | nemo | – |
Objek dari kalimat ini adalah poenam (dibaca: pènam’[2] yang berarti hukuman). ‘Tak seorang pun menderita hukuman’. Apabila distrukturkan ke dalam posisi subjek-predikat-objek (S-P-O) pada suatu kalimat, maka kata ‘tidak seorang pun’ merupakan subjek dari kalimat tersebut, sedangkan ‘menderita’ merupakan predikat, dan ‘hukuman’ adalah objeknya.
Kata poenam adalah bentuk accusativus[3] dari kata poena. Kata ini melatari kata penalty (hukuman), punishment (hukuman), penalize (menghukum), impunity (impunitas; kekebalan hukum; kebebasan dari hukuman), penitential (terkait rasa sesal), penitence (penyesalan), penance (penebusan dosa), penitent (sangat menyesal), penitentiary (penjara), repentance (penyesalan; pertobatan), repentant (penuh penyesalan) dan sebagainya dalam bahasa Inggris. Dalam dunia hukum kita menemukan kaitan kata ini dengan berbagai terminologi dan ungkapan, seperti: nullum poena sine lege (tiada hukuman tanpa aturan hukum).
Kata poena tersebut termasuk dalam golongan kata kelompok pertama (Declinatio I). Pada berbagai jabatan dalam kalimat, kata poena dapat ditasrifkan sebagai berikut:
Tasrif kata ‘poena’; Declinatio I |
||
KASUS | TUNGGAL | JAMAK |
Nominativus (subjek) | poena | poenae |
Genetivus (kepemilikan) | poenae | poenarum |
Dativus (pelengkap) | poenae | Poenis |
Accusativus (objek) | poenam | poenas |
Ablativus (keterangan) | poena | poenis |
Vocativus (panggilan) | poena | Poenae |
Kata cogitationis (dibaca ‘kojitatsionis’) berasal dari kata cogitatio (dibaca ‘kojitatsio’) yang berarti pikiran, penalaran, permenungan, rencana, niat, dan sebagainya. Deklinasi lengkap dari kata cogitatio dapat dilihat secara lengkap dalam tabel berikut ini:
Tasrif kata ‘cogitatio’; Declinatio III |
||
KASUS | TUNGGAL | JAMAK |
Nominativus (subjek) | cogitatio | cogitationes |
Genetivus (kepemilikan) | cogitationis | cogitationum |
Dativus (pelengkap) | cogitationi | cogitationibus |
Accusativus (objek) | cogitationem | cogitationes |
Ablativus (keterangan) | cogitatione | ccogitationibus |
Vocativus (panggilan) | cogitatio | cogitationes |
Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas, kata cogitationis berbentuk genetivus (menduduki jabatan dan makna kepemilikan) sehingga harus diartikan sebagai ‘milik pemikiran’ atau ‘dari pemikiran’. Dalam Bahasa Inggris kata cogitationis diterjemahkan sebagai belong to the thinking atau of the thinking, dan sebagainya. Dalam kalimat cogitationis poenam nemo patitur kata cogitationis disandingkan dengan kata poenam dengan maksud untuk menjelaskannya sehingga cogitationis poenam diterjemahkan menjadi ‘hukuman dari pikiran’ atau secara bebas berarti ‘hukuman yang diakibatkan dari pikiran’. Dengan demikian, kalimat ‘cogitationis poenam nemo patitur dapat diterjemahkan secara lebih persis menjadi: tidak seorang pun dapat dihukum atas apa yang ia pikirkan.
Kalimat ini mengandung arti bahwa sebenarnya sudah hadir suatu pelanggaran, tetapi pelanggaran itu baru ada di dalam pikiran saja. Pelanggaran itu belum sempat diwujudkan melalui tindakan nyata (perilaku). Hukum positif tidak menjatuhkan pidana terhadap pikiran orang, tetapi terhadap perilaku orang. Asas cogitationis poenam nemo patitur memberi penegasan tentang normativitas hukum. Ia berkenaan dengan aturan berperilaku. Pada umumnya setiap orang berperilaku atas dasar latar belakang kognisi dan afeksi yang ia miliki. Kita bisa menyebut dimensi kognisi dan afeksi ini sebagai pra-perilaku, karena mereka mendahului suatu perilaku. Sebagai contoh, seseorang melakukan teror karena ia mendapat indoktrinasi secara kognitif atas paham-paham yang menyesatkan, sehingga terbentuk pula afeksi yang membenarkan terorisme ini. Namun, jika orang ini hanya menyimpan pengetahuan dan sikap berpihak pada paham terorisme itu untuk dirinya sendiri, tanpa upaya apapun untuk disebarluaskan kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan, maka hukum tidak dapat menjangkaunya.
Objek dari hukum selalu perilaku. Namun, bukan perilakunya yang menjadi sasaran penerima hukuman, melainkan tetaplah subjek pemilik perilaku itu (disebut pelaku). Jika subjek ini tidak merupakan pemilik perilaku, tetapi pemilik pra-perilaku, maka subjek ini belum layak untuk dihukum. Apa yang disebut pra-perilaku adalah pikiran atau sikap. Tindakan menghukum seseorang karena pikiran atau sikapnya, kendati pikiran atau sikap itu salah menurut hukum (dengan syarat belum diejawantahkan secara konkret), bukanlah objek di dalam norma hukum.
Dalam kenyataannya, mungkin saja ada orang yang melanggar hukum tanpa sengaja, misalnya karena kelalaian atau kecerobohan. Hukum tetap dapat menghukum orang ini karena, sekali lagi, yang dijadikan indikator adalah perilakunya. Dimensi-dimensi pra-perilaku dapat menjadi bagian dari pertimbangan hakim untuk meringankan atau memberatkan hukuman, tetapi tidak berarti harus membebaskan pelaku dari hukuman.
Perlu dicatat di sini, bahwa di dalam terminologi hukum, kata “membebaskan” berbeda dengan kata “melepaskan dari [segala] tuntutan hukum”. Dalam terminologi hukum berbahasa Belanda, dikenal istilah putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas (onslag van recht vervolging). Pasal 191 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan keduanya dengan uraian sebagai berikut: “(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas; (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”
Jika, misalnya, ada seorang gila yang secara tidak sadar telah membunuh orang lain, sangat mungkin orang gila ini tidak akan diproses sebagaimana layaknya orang normal yang melakukan pembunuhan serupa. Sekalipun demikian, karena orang ini telah berperilaku melanggar hukum (actus reus-nya terbukti), maka hukum tetap berlaku baginya. Hanya saja, ada pertimbangan keadilan dan kemanfaatan untuk menghukum orang yang tidak waras (mens rea-nya tidak terbukti) seperti itu. Daripada sia-sia, maka orang ini dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Di sini terlihat bahwa asas cogitationis poenam nemo patitur mengandung pengertian yang sangat manusiawi. Bahwa kesadaran merupakan komponen penting dalam berperilaku hukum. Indikator ketaatan di dalam hukum memang cukup ditunjukkan melalui perilaku konkret yang teramati (observable action), tetapi aspek kesadaran atau pikiran yang memotivasi suatu perilaku, adalah esensi dari hukum juga. Tanpa itu, hukum akan kehilangan normativitasnya. (***)
[1] Kata ‘nemo’ itu selalu bersifat singularis (tunggal) maka tidak ada tasrif (declinatio) jamak untuk kata ini.
[2] Diftong ‘oe’ dalam bahasa Latin dibaca ‘e’ (e taling).
[3] Bentuk accusativus dipakai untuk menandai kata benda yang menjabat selaku obyek kalimat. Untuk kata poena, yang termasuk dalam kata-kata benda declinatio pertama, bentuk accusativus ditunjukkan dengan akhiran am (poenam).