PENGATURAN PELECEHAN SEKSUAL DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM DAN IUS CONTITUENDUM
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Maret 2018)
BAGIAN KEDUA
Ius Constituendum
Kejahatan seksual terus mengancam masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang ada belum memberikan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual. Saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sedang dibahas di DPR dan DPR telah melaksanakan dengar pendapat sebanyak tiga kali pada tanggal 23, 28 dan 31 Januari 2018 untuk meminta masukan dari pakar hukum pidana, pengamat ketahanan keluarga, perwakilan organisasi perempuan dan organisasi lainterkait RUU tersebut. Para pakar atau perwakilan organisasi tersebut memberikan masukan kepada Panja DPR dengan pendapat yang berbeda-beda. RUU PKS dilanjutkan dengan alasan untuk melindungi korban dan mencegah korban kekerasan seksual serta peraturan mengenai kekerasan seksual masih tersebar di berbagai aturan. Namun ada juga yang tidak setuju dengan alasan RUU PKS masih diskriminatif karena menggunakan paradigma feminis yang tidak sesuai dengan norma atau nilai keluarga dan masyarakat Indonesia. Hal yang sama juga terjadi, sikap DPR masih terpecah. Ada yang sepakat tetapi ada juga yang masih ragu-ragu. Ada aspirasi RUU itu nanti jadi aturan hukum yang khusus mengeyampingkan aturan hukum yang umum (lex specialis derogat legi generalis). Namun ada juga yang khawatir jika RUU itu diteruskan menjadi UU akan tumpang tindih dengan RKUHP yang sedang dibahas saat ini. [i]
RUU PKS Pelecehan Sexual merupakan RUU inisiatif dari DPR. Di dalam penjelsan RUU PKS versi Baleg tertanggal 31 Januari 2017 menyatakan bahwa telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur beberapa bentuk kekerasan seksual namun sangat terbatas bentuk dan lingkupnya. Namun payung hukum yang tersedia belum sepenuhnya merespon fakta kekerasan seksual yang berkembang di masyarakat. Pada umumnya sistem hukum lebih fokus pada penanganan dan penindakan pelaku. UU PKS bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Di dalam RUU PKS versi Baleg ini yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan/atau politik. RUU PKS telah merumuskan 9 (sembilan) jenis tindak pidana kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbuatan seksual dan penyiksaan seksual.
Agar penanganan kasus kekerasan seksual dapat memenuhi akses keadilan bagi korban maka dalam proses beracaranya mempermudah pembuktian tindak pidana pelecehan seksual. Dalam KUHAP seseorang dapat dijatuhi tindak pidana apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah namun dalam RUU PKS sistem pembuktian yang akan diatur adalah keterangan seorang korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya. Keterangan saksi dari keluarga, korban dan anak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. RUU PKS tidak hanya mengatur tentang tindak pidana bagi pelaku tetapi menjangkau kebutuhan korban dalam mencapai keadilan. Dalam proses peradilan pidana korban membutuhkan pendampingan dari pengacara (dari sisi hukum), pekerja sosial, ahli agama, keluarga, psikolog dan lain-lain sehingga korban terhindar dari reviktimisasi yang selama ini terjadi. Selain itu, perlu juga diatur kompetensi dan kwalifikasi aparat penegak hukum yang berperspektif HAM dan gender sehingga memiliki empati bagi korban. Ketentuan-ketentuan pokok tersebut diatas menjadi alasan urgensi disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Semoga DPR dapat satu suara untuk mendukung RUU PKS menjadi UU yang dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban pelecehan seksual.
REFERENSI
[i] Harian Kompas, Selasa, 6 Februari 2018, Perlindungan Perempuan: Kekerasan Seksual Pun Jadi Perbincangan di DPR.
Published at :