PENGATURAN PELECEHAN SEKSUAL DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM DAN IUS CONTITUENDUM
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Maret 2018)
BAGIAN PERTAMA
Di awal tahun 2018, banyak kejadian kasus pelecehan seksual yang terungkap di media masa. Sebuah video seorang perempuan mengaku telah mengalami pelecehan seksual oleh perawat laki-laki, berinisial J di RS Nasional Hospital Surabaya. Sambil menangis pasien itu meminta perawat untuk mengakui perbuatannya. Pelaku pelecehan seksual itupun mengaku dan meminta maaf atas apa yang dilakukannya. [i] Saat ini pelakunya telah menjadi tersangka. Kasus pelecehan seksual ini bukan yang pertama terjadi di rumah sakit yang sama, Polda Jatim pernah memproses laporan dugaan pencabulan oleh seorang dokter kepada calon perawat. [ii] Tidak hanya di rumah sakit, pelecehan seksual juga terjadi di jalan. Pelecehan seksual terjadi pada seorang perempuan di Jatinegara, korban pada saat itu hendak keluar untuk membeli makan di warung. Namun, ketika sedang berjalan, tiba-tiba dari belakang ia disekap oleh pelaku dan dipegang bagian tubuhnya.[iii] Peristiwa pelecehan seksual ini menimbulkan luka, trauma pada korban dan masih banyak korban-korban pelecehan seksual lainnya yang bungkam karena tidak tahu harus berbicara dengan siapa, merasa tidak berdaya, menyalahkan diri sendiri, binggung, malu untuk menceritakan pelecehan seksual yang dialami. Sebagian besar berusaha untuk melupakan kejadian tersebut, namun dalam situasi tertentu kenangan buruk tersebut tiba-tiba akan muncul kembali dan akan menghantui korban sepanjang hidupnya.
Mengingat kompleksitas pembuktian dalam kasus pelecehan seksual yang tercermin dengan belum ditetapkan sebagai tersangka dokter yang melakukan pelecehan seksual terhadap calon perawat yang sudah dilaporkan tahun lalu dan juga implikasi psikologis korban dalam menuntut keadilan dan mengembalikan kepercayaan dirinya kembali dengan bantuan konsuling, psikolog, pemuka agama, pendamping (pekerja sosial dan pengacara), maka, tulisan ini akan memaparkan apakah ketentuan hukum yang ada saat ini (Ius Constitutum) telah menjangkau pelaku pelecehan seksual dijerat hukum sesuai dengan perbuatannya dan memberikan keadilan bagi korban. Selain itu, akan dijelaskan hukum yang ideal yang akan diterapkan (Ius Constituendum) untuk menjamin hak-hak korban pelecehan seksual.
Ius Constitutum
Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, sehingga hak asasi perempuan harus dilindungi, dihormati, dipenuhi, tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Sebagai bagian dari komunitas Internasional, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Pasal 1 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan Perempuan menyatakan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan yang terjadi di ranah publik dan ranah domestik. Jenis atau bentuk kekerasan seksual dijabarkan dalam Pasal 2 Deklarasi PBB yang mengatur: kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, hal-hal sebagai berikut:
- Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan anak-anak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami-isteri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi;
- Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan dan pelacuran paksa;
- Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara dimanapun terjadinya.
Bentuk-bentuk kekerasan sebagaimana di atas telah diakomodir dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) diharapkan dapat menghapus semua tindak kekerasan dalam rumah tangga meski terbatas dalam lingkup rumah tangga saja. Pasal 5 UU PKDRT menentukan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerrasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Sedangkan dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang masuk kategori kekerasan/pelecehan seksual yang diatur dalam Bab XVI Buku II dengan titel Kejahatan terhadap kesusilaan sebagai berikut :
- Merusak kesusilaan di depan umum (Pasal 281,283, 283 Bis);
- Perzinahan (Pasal 284);
- Perkosaan (Pasal 285);
- Pembunuhan (Pasal 338);
- Pencabulan (Pasal 289, 290,292, 293 (1), 294, 295 (1).
Di dalam KUHP, kejahatan seksual berada di dalam kategori kejahatan terhadap kesusilaan. Penempatan ini membawa kerancuan tersendiri dan memiliki tendensi mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual yakni melanggar terhadap eksistensi diri manusia karena kesusilaan sering dikonotasikan dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai moralitas atau norma yang berlaku. Ini berarti kejahatan seksual hanya dipandang sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan. Nilai-nilai yang dipakai pada dasarnya lebih mencerminkan nilai atau norma kelompok dominan (kepentingan laki-laki) yang seringkali mendiskriminasikan perempuan sebagai kelompok yang tersubordinasi. Penegakan hukum kasus pelecehan seksual sulit untuk dibuktikan jika menggunakan ketentuan di dalam KUHP dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam proses pembuktiannya. Apabila perbuatan pelecehan seksual diatur sebagai tindak pidana umum dalam KUHP maka kebutuhan perempuan korban atas penanganan khusus tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu, penyusunan RUU KUHP dapat dilakukan sepanjang memenuhi ketentuan bahwa RUU KUHP hanya memuat ketentuan yang mengatur tindak pidana yang bersifat umum. Adapun yang bersifat khusus agar diatur di luar KUHP demi efektifitas pelaksanaan aturan pidana itu sendiri.
Referensi
[i] Fakta-Fakta Pencabulan di RS National Hospital, pada https://news.detik.com/berita/d-3835975/fakta-fakta-pencabulan-di-rs-national-hospital/4, diakses pada tanggal 10 Februari 2018
[ii] Dokter Nasional Hospital Surabaya Juga dilaporkan atas dugaan Pelecehan, pada https://regional.kompas.com/read/2018/01/27/13194531/dokter-national-hospital-surabaya-juga-dilaporkan-atas-dugaan-pelecehan, diakses pada tanggal 15 Februari 2018.
[iii]Pelaku Pelecehan Seksual di Jatinegara Tak Mampu Menahan Diri Saat Lihat, pada https://megapolitan.kompas.com/read/2018/02/13/20071591/pelaku-pelecehan-seksual-di-jatinegara-tak-mampu-menahan-diri-saat-lihat, diakses pada tanggal 20 Februari 2018
Published at :