SUBJEK NORMA ITU APAKAH SAMA DENGAN SUBJEK KALIMAT?
Oleh SHIDARTA (Maret 2018)
Dalam paparan seorang narasumber workshop yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tanggal 20 Februari 2018, saya mendapati adanya pernyataan bahwa subjek norma di dalam sistem hukum Indonesia tidak harus subjek hukum. Menurut narasumber tersebut, subjek norma bisa saja bukan subjek hukum karena boleh jadi subjek itu adalah [sekadar] subjek kalimat. Hal ini, menurutnya, berbeda dengan di negara-negara lain, yang mengidentikkan subjek norma dengan subjek hukum.
Tatkala berkesempatan duduk satu meja dengan narasumber tadi, saya meminta klarifikasi bahwa penangkapan saya atas keterangan yang bersangkutan tidak keliru. Ia menegaskan bahwa memang demikian, karena dalam setiap ayat ada kalimat dan pada kalimat itu bisa dilacak subjek normanya. Ada kemungkinan subjek norma tadi memang bukan subjek hukum (bukan orang natural atau lembaga/korporasi).
Saya dapat memahami latar belakang penjelasan tersebut, namun saya tidak setuju dengan kesimpulan yang diutarakannya. Pertama-tama, tentu kita harus menyepakati bahwa jenis norma yang kita bicarakan di sini adalah norma perilaku, bukan jenis norma lain yang termasuk kategori meta-kaidah. Untuk menggali pemahamannya, dapat ditunjukkan contoh beberapa ayat dari suatu Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 18:ayat (1): “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha” (diikuti huruf b sampai dengan huruf h).
Siapakah yang menjadi sasaran (target) dari norma dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut? Jawabannya adalah PELAKU USAHA. Subjek norma dari norma ini adalah pelaku usaha karena dialah yang menjadi sasaran norma (normadressaat). Oleh karena norma adalah suatu pola yang mengatur perilaku, maka perilaku dari norma menurut Pasal 18 ayat (1) itu adalah MEMBUAT ATAU MENCANTUMKAN KLAUSULA BAKU. Inilah objek norma (norm gedrag) karena mengacu pada suatu perilaku dari si subjek. Perilaku ini memiliki modus (modus van behoren) yang menjadi operator dari norma tersebut. Operator dari norma itu adalah LARANGAN. Jadi lengkapnya adalah “Pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku.”
“Setiap norma pasti berlaku secara kondisional. Dengan demikian, ada kondisi-kondisi tertentu yang melingkupi perilaku pelaku usaha yang dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku. Kondisi yang pertama-tama adalah jika perilaku itu dilakukan dalam rangka “menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan.” Artinya, apabila perilaku yang dimaksud tidak dalam rangka penawaran barang/jasa untuk diperdagangkan, tidak berlaku larangan tersebut. Kondisi kedua tercantum dalam huruf a (dan seterusnya). Kondisi ini mengacu pada isi dari klausula baku tersebut. Isi dari klausula baku yang dilarang itu antara lain harus berupa pernyataan tentang pengalihan tanggung jawab pelaku usaha [dari semula suatu tanggung jawab itu dibebankan pada pelaku usaha tersebut, secara sepihak dipindahkannya ke pihak lain di luar dirinya]. Inilah kondisi norma (normconditie) menurut Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Sekarang mari kita lanjutkan dengan melakukan analisis norma ayat berikutnya. Ayat (2) dari pasal ini menyatakan, “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.” Subjek normanya tetap PELAKU USAHA. Modus perilaku atau operator normanya adalah LARANGAN. Objek norma adalah MENCANTUMKAN KLAUSULA BAKU. Kondisi norma mengacu pada posisi dari klausula baku itu, yaitu letak atau bentuknya menjadi sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti.
Mari kita beralih ke Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ayat ini menyatakan: “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” Jika dicermati, maka subjek dari kalimat ini adalah KLAUSULA BAKU. Sekilas tidak ada masalah. Namun, tatkala harus dihubungkan dengan objek norma dan operator norma, segera dapat dirasakan persoalannya. Apa perilaku yang dibebankan kepada subjek norma ini? Apa operator normanya? Rumusan pasal ini berarti tidak berdiri sendiri. Ia bukan norma perilaku yang dapat kita kategorikan sebagai norma primer. Karena bukan norma perilaku dan hanya menjadi meta-kaidah, maka analisis kita tidak boleh selesai sampai di situ.
Saya katakan sekali lagi bahwa Pasal 18 ayat (3) itu tidak dapat beridiri sendiri. Formulasi ayat itu memang mempunyai subjek kalimat, tetapi di dalam rumusannya tidak ditemukan subjek normanya secara eksplisit. Subjek normanya harus dihubungkan dengan ketentuan lain yang diformulasikan sebelumnya.
Subjek norma tetap PELAKU USAHA. Objek normanya tetap sama, yaiitu MENCANTUMKAN KLAUSULA BAKU. Hanya saja sekarang kondisinya normanya tidak hanya mengikuti ketentuan ayat (1) tetapi juga ayat (2). Kata DAN yang menjadi kata penghubung antara ayat (1) dan ayat (2) menimbulkan permasalahan tersendiri karena ia bersifat kumulatif. Artinya, tidak cukup kondisi norma itu mengacu pada ketentuan ayat (1), tetapi harus diikuti dengan tambahan kondisi yang diterapkan pada ayat (2). Padahal, jika tafsir seperti ini yang dipakai, logika hukum yang dibangun oleh ketentuan Pasal 18 ini menjadi tidak masuk akal.
Katakanlah, di dalam suatu klausula baku secara terang-terangan, tanpa tersembunyi, tercantum kata-kata bahwa pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas cacat tersembunyi pada barang yang dbeli konsumen. Apakah klausula baku seperti ini dibolehkan menurut Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen? Tentu saja tidak! Jadi, kondisi yang dipersyaratkan oleh Pasal 18 ayat (2) sesungguhnya tidak lagi perlu diposisikan sebagai kondisi tambahan. Kata sambung DAN pada ayat (3) dengan demikian harus dibaca menjadi DAN/ATAU. Konstruksi berpikirnya mengikuti ajaran argumentum ad fortiori.
Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menekankan pada norma sanksi (salah satu jenis norma sekunder) yang muncul apabla Pasal 18 ayat (1) DAN/ATAU ayat (2) dilanggar oleh pelaku usaha. Subjek kalimat pada rumusan ayat (3) ini adalah KLAUSULA BAKU, tetapi poisisi subjek kalimat ini bukanlah subjek norma. Analisis terhadap ayat (3), oleh karena itu, tidak dapat dilakukan tersendiri hanya untuk ayat itu saja. Tatkala dilakukan analisis norma (bedakan dengan analisis kalimat), pasal-pasal atau ayat-ayat lain harus dilakukan sebagai satu kesatuan, misalnya dengan menyatakan Pasal 18 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (3).
Sebagai konsekuensinya, maka subjek norma dalam analisis norma selalu harus mengacu pada analisis atas norma perilaku karena norma inilah yang merupakan norma primer. Subjek norma di dalam norma perilakuk adalah subjek hukum, yakni orang natural atau personifikasi dari orang natural (lembaga, korporasi dll., baik pada ranah publik maupun privat) yang mampu menyandang hak dan/atau kewajiban. Apabila subjek norma diidentikkan dengan subjek kalimat (dalam meta-kaidah), maka semua karakteristik normatif yang melekat pada norma itu berpotensi untuk diabaikan. Semua subjek kalimat di dalam sebuah rumusan norma yang bukan subjek hukum, pasti menunjukkan bahwa rumusan itu hanya merupakan bagian (biasanya diklasifikasikan menjadi kondisi norma) dari rumusan norma primernya, sehingga ia tidak dapat dianalisis secara tersendiri.
Bahasa hukum memang harus mengikuti hukum bahasa, tetapi ada karakeristik bahasa hukum yang unik, sehingga teknik menganalisis unsur-unsur norma di dalam bahasa hukum tidak persis sama dengan teknik menganalisis unsur-unsur kalimat, kendati sama-sama ditulis dalam bahasa Indonesia. (***)
Baca juga artikel terkait pada tautan berikut ini: