KEWENANGAN KPK DALAM MENYIDIK DAN MENUNTUT PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyidik dan menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana asal dipertanyakan. Berdasarkan Undang-Undang No 30 Tahun 2002, KPK hanya diberi wewenang untuk melakukan penyidikan dan penuntutan atas perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar rupiah. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian UU sendiri menyatakan bahwa kewenangan melakukan penuntutan adalah Jaksa Penuntut Umum, yang dalam hal ini diasosiasikan dengan Jaksa yang berada di bawah inistitsusi Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Dalam beberapa putusan pengadilan konflik mengenai kewenangan KPK tersebut mengemuka. Putusan tersebut antara lain Putusan Nomor 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Luthfie Hasan Ishaaq dan Putusan Nomor 55/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Anas Urbaningrum, dimana meskipun majelis hakim memutus dan menyatakan para terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, namun perdebatan mengenai wewenang KPK ini tercermin dalam pertimbangan hukum dan putusan majelis hakim yang tidak bulat karena terdapat dissenting opinion.
Memang tindak pidana pencucian uang merupakan suatu tindak pidana yang berdiri sendiri namun harus diikuti dengan tindak pidana asalnya. Perdebatan juga timbul apakah untuk membuktikan tindak pidana pencucian uang harus terlebih dahulu dengan membuktikan tindak pidana asal atau kah dapat langsung membuktikan tindak pidana pencucian uang tanpa harus membuktikan tindak pidana asal. Sebagian ahli hukum setuju dengan pendapat yang kedua namun sebagian lagi tidak terutama jika dihubungan dengan pembuktian yang dipandang sulit. Dalam praktiknya memang perkara tindak pidana pencucian uang selalu dijadikan satu berkas perkara bersama dengan tindak pidana asal. Jaksa menggunakan dakwaan kumulatif untuk mendakwa tindak pidana asal kemudian tindak pidana pencucian uang.
Secara teknis penggabungan ini dilakukan dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dalam pembuktian perkara-perkara tindak pidana pencucian uang saat ini dilakukan dengan konsep follow the money. Dalam hal ini aparat penegak hukum dapat lebih mudah untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang berupaya menghilangkan jejak kejahatan dengan membuat seolah-olah uang yang diperoleh dari tindak pidan korupsi sebagai uang bersih. Melalui follow the money ini pula akan terlihat tindak pidana asal yang dilakukan. Kedua asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah. Asas ini bukan hanya ditujuan untuk membuat efesiensi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia tetapi juga untuk kepentingan terdakwa dimana terdakwa tidak perlu menjalani jadwal persidangan yang lama untuk dua perkara yang sebenarnya bisa dijadikan satu. Apabila seorang terdakwa harus menjalani proses persidangan di Pengadilan Tindak pidana korupsi kemudian pada saat yang bersamaan atau setelahnya baru menjalankan proses persidangan di Pengadilan Negeri untuk perkara tindak pidana pencucian uang, tentu akan memberatkan terdakwa.
Dengan demikian pengabungan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang dalam satu berkas perkara oleh KPK hendaknya jangan dilihat hanya pelampauan wewenang yang dimiliki KPK. Akan tetapi harus juga dilihat dari sisi kepentingan terdakwa. (***)