MEMPERTIMBANGKAN MASA BERLAKU HUNIAN RUMAH SUSUN
Oleh ERNI HERAWATI (Februari 2018)
Jumlah penduduk Indonesia setiap tahun semakin bertambah. Pada tahun 2020 penduduk Indonesia diproyeksikan akan berjumlah 271,1 juta jiwa dimana hampir 60 persen diantaranya tinggal di perkotaan.[1] Dengan data yang demikian, maka pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dengan jumlah sebesar itu harus harus betul-betul dipikirkan oleh Pemerintah. Dalam hal kebutuhan tempat tinggal, pada tahun 2016 tercatat bahwa terdapat 11,4 juta rumah tangga yang tidak memiliki rumah. [2] Artinya angka kebutuhan rumah bagi masyarakat masih sangat tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka akan sangat sulit diwujudkan jika pembangunan perumahan bagi rakyat (khususnya masyarakat berpenghasilan rendah/MBR) masih berorientasi pada rumah tapak. Tentu saja harga rumah akan menjadi sangat tidak terjangkau oleh MBR mengingat komponen harga tanah yang begitu mahal. Oleh karena itu, masyarakat mau tidak mau harus mengubah orientasi pemilikan hunian dengan memilih rumah susun, khususnya di perkotaan yang dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Perubahan orientasi ini harus dibantu oleh Pemerintah untuk menciptakan cara pandang pada masyarakat agar mereka mau beralih untuk mau memilih rumah susun sebagai hunian yang mereka miliki. Terlepas dari adanya perbedaan situasi sosial yang akan dihadapi oleh masyarakat yang terbiasa hidup dalam rumah tapak, maka Pemerintah harus dapat memberikan rasa aman pada masyarakat bahwa ketika mereka telah memilih untuk memiliki rumah susun, maka kehidupan dan kepemilikan mereka akan terlindungi. Disadari bahwa prioritas masyarakat untuk lebih memilih rumah tapak dikarenakan status hak atas tanah yang diberikan oleh undang-undang pada Warga Negara Indonesia, yaitu hak milik. Sifat hak milik yang dapat dimiliki tanpa batas waktu dan dapat diwariskan secara turun temurun inilah yang membuat setiap individu di Indonesia tetap berambisi memiliki rumah dengan status tanah adalah hak milik. Rumah susun hanya menjadi alternatif tambahan.
Dalam Undang-Undang tentang Rumah Susun, Hak milik atas satuan rumah susun (HM Sarusun) yang dimiliki oleh pemilik tidak berarti menunjukkan bahwa status tanah dimana rumah susun berdiri adalah hak milik. Hak milik hanya untuk satuan atau unit rumah susun. Tanah dimana rumah susun berdiri statusnya adalah benda yang dimiliki bersama oleh semua penghuni rumah susun yang ada. Secara hukum, status yang bisa diberikan atas tanah tersebut hanya ada dua kemungkinan yaitu Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP). Jika dilihat dari masa berlaku hak tersebut adalah HGB berlaku untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, HP berlaku selama 25 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun atau untuk masa yang tidak ditentukan.
HGB dan HP dapat diberikan di atas Tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah Hak Milik. Di atas Tanah Negara dapat diberikan melalui Surat Keputusan Pemberian Hak, di atas tanah Hak Pengelolaan juga melalui Surat Keputusan Pemberian Hak namun lebih dahulu diusulkan oleh pemegang Hak Pengelolaan. Setelah masa berlaku 30 tahun berakhir, HGB dapat diperpanjang selama dua puluh tahun. Artinya pemegang HGB dapat menikmati hak selama 50 tahun. Ketentuan ini berlaku baik untuk HGB di atas Tanah Negara, Hak Pengelolaan maupun Hak Milik. Untuk kepentingan penanaman modal, maka menurut Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 permintaan perpanjangan dan pembaharuan HGB dapat dilakukan sekaligus. Artinya pada saat setelah dimanfaatkan selama masa maksimal 30 tahun, HGB dapat dimintakan perpanjangan dan sekaligus pembaharuan. Demikian juga HP, untuk HGB dapat sekaligus diberikan untuk delapan puluh tahun dan HP sekaligus tujuh puluh tahun. Ketentuan ini kemudian “dikukuhkan” kembali melalui UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Ketentuan mana yang kemudian dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi).
Penjelasan Pasal 26 ayat (1) PP 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa syarat perpanjangan dan pembaharuan hak dimungkinkan untuk menjamin kelangsungan penguasaan tanah dengan Hak Guna Bangunan yang pada umumnya dipergunakan untuk tempat tinggal yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Penjelasan ini perlu diperluas khususnya untuk ketentuan mengenai jangka waktu Hak atas tanah yang diperuntukan bagi kepentingan rumah susun. Mengingat bahwa HGB atan HP di atas tanah Hak Pengelolaan memerlukan persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan dan jika di atas tanah HM maka perlu dilakukan kesepakatan kembali dengan pemegang HM. Hal ini perlu untuk dipertimbangkan, jika saja kita asumsikan bahwa seseorang membeli unit rumah susun pada usia 30 tahun, maka ia hanya akan bisa menikmati unit tersebut hanya sampai usia 60 tahun (jika tanahnya HGB). Itupun jika ia membeli unit langsung pada saat bangunan rusun didirikan (faktanya, proses perizinan dan pembangunan rusun juga memakan waktu, sehingga mengurangi masa berlaku HGB). Juga apabila hak atas tanah diberikan di atas Hak Pengelolaan dan HM, maka belum tentu pemegang hak memberikan persetujuan untuk perpanjangan, apalagi pembaharuan hak. Dengan demikian, seseorang yang nantinya ingin menikmati masa tua dengan sejahtera tidak mungkin terwujud jika pada masa tua nanti ia masih harus memikirkan untuk mencari hunian lain sebagai pengganti unit rusun ia miliki yang telah habis masa berlakunya. Akhirnya, Ia harus menyediakan uang lagi, jika ia tidak memiliki uang, tidak akan ada bank yang mau memberikan kredit atau pembiayaan untuk membeli rumah untuk seseorang yang berada pada usia yang tidak produktif lagi. Pada akhirnya, sulit untuk mengubah persepsi masyarakat untuk tetap mengejar rumah tapak sebagai tujuan utama mereka, karena tidak ada jaminan rasa aman bagi mereka di masa tua nanti. (***)
REFERENSI:
[1] Data proyeksi jumlah penduduk Indonesia periode tahun 2010 – 2035 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019, hlm. 3-14.
[2] Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. (2015). Peranan APBN dalam mengatasi Backlog Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), hlm. 1.
Published at :