LAGI-LAGI TENTANG ‘HAATZAAI ARTIKELEN’
Oleh SHIDARTA (Februari 2018)
‘Haatzaai artikelen’ sebenarnya adalah pasal-pasal hukum pidana warisan era Hindia Belanda terkait dengan ujaran atau ungkapan rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan yang ditujukan terhadap kepentingan Belanda dan/atau kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk komposisi penduduk Hindia Belanda ketika itu.
Dalam buku yang ditulis oleh Kees van Dijk, berjudul “The Netherlands Indies and the Great War 1914-1918” terbitan KITLV Press, Leiden (2007), ditegaskan bahwa haatzaai artikelen sejak semula merupakan aturan yang kontroversial. Kees van Dijk mengambil contoh pada masa-masa perang berkecamuk di Eropa di awal abad ke-20, perasaan anti-Jerman sangat kuat melanda kalangan orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda, sehingga surat-surat kabar di kota-kota seperti Batavia dan Surabaya terpengaruh dan terseret memuat percikan perasaan-perasaan ini.
Tatkala pasal-pasal haatzaai ini hendak diujicobakan untuk dipakai guna menghentikan penyebarluasan ungkapan perasaan-perasaan seperti ini, pengadilan tidak sepenuhnya dapat menyetujui. Pada bulan Januari 1915, Pengadilan Tinggi Hindia Belanda pernah membatalkan putusan Pengadilan Batavia satu tahun sebelumnya yang menghukum editor koran “Het Niews van den Dag” bernama G. van Loon, selama delapan hari penjara karena tulisannya dianggap dapat menimbulkan kebencian di kalangan sesama penduduk Eropa di Hindia Belanda, khususnya orang-orang Belgia, Jerman, Austria, dan Inggris. Hakim Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa sasaran norma dalam pasal-pasal tadi lebih dibatasi pada ungkapan untuk kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda, yang terdiri dari golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera demi menjaga stabilitas sosial di antara penduduk. Jadi, tidak berlaku bagi sesama golongan penduduk Eropa.
Tentu saja, belakangan disadari bahwa upaya untuk memprovokasi masyarakat di Hindia Belanda juga punya kaitan erat dengan gerakan yang lebih besar guna mengoyahkan pemerintahan kolonial Belanda, sehingga polemik untuk menggunakan pasal-pasal ini guna membungkam gerakan anti-pemerintah selalu menjadi bahan pertimbangan. Soekarno, misalnya, pada Agustus 1930, diadili di Pengadilan Bandung dengan menggunakan pasal-pasal terkait haatzaai ini. Dakwaaan utamanya adalah Pasal 169 KUHP (turut serta dalam perkumpulan jahat), tetapi dakwaan ini terhubung dengan pasal-pasal lain, seperti Pasal 161, Pasal 171, dan 153 bis. Soekarno diputus bersalah dengan sanksi penjara selama empat tahun.
Pasal-pasal haatzaai sendiri tersebar cukup luas di dalam KUHP, seperti dalam Pasal 134, 136, 137, 154, 155, 156, 157, 160, 161, 207, dan 208. Salah satu pasal yang akhir-akhir ini banyak disorot adalah Pasal 155 KUHP yang memiliki kemiripan dengan Pasal 260 dalam Rancangan KUHP yang konon akan segera diketokpalukan (disetujui) oleh DPR dan Presiden. Dengan hadirnya Pasal 260 dalam RKUHP ini diperkirakan pasal haatzaai masih tetap eksis sebagai bagian dari hukum pidana positif di Indonesia.
Jadi, pasal-pasal haatzaai ini menimbulkan kontroversi sesungguhnya karena ketentuan tersebut telah mengalami penyempitan makna. Pasal-pasal ini dimaknai sekarang lebih sebagai ketentuan tentang ujaran permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap pemerintah yang sah. Jika dicermati, semangat untuk mempersempit makna pasal-pasal haatzaai di dalam hukum positif sejatinya berangkat dari keyakinan bahwa pemerintah sebagai representasi terdekat dari negara, berfungsi untuk menjalankan tertib sosial (social order). Agar pemerintah dapat menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya, maka pertama-tama diperlukan stabilitas pemerintahan yang kuat. Ujaran atau ungkapan rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap pemerintah selalu dipandang sebagai upaya menghalangi pemerintah dalam menjalankan fungsi tertib sosial tadi.
Sangat benar jika dikatakan bahwa pemerintahan yang kuat memang membutuhkan stabilitas di dalam pemerintahan. Namun, stabilitas ini tidak dapat dibentuk (dan kalaupun bisa dihadirkan secara semu, ia tidak mungkin sanggup bertahan lama) dengan hanya mengandalkan pada validitas formal hukum positif. Tegasnya, fungsi hukum tidak boleh semata-mata dijadikan sebagai alat kekuasaan penguasa, terlebih-lebih bagi negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis.
Apabila sebuah negara sudah memilih jalan untuk menempuh proses demokrasi, termasuk di dalam menjalankan pemerintahannya, maka pemerintah senantiasa membutuhkan kontrol dari masyarakat. Kontrol ini pertama-tama datang dari pers yang independen dan dipercaya. Di luar itu, tentu ada mekanisme kontrol yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tinggi negara, kemudian oleh lembaga-lembaga non-struktural, sampai dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Aspirasi masyarakat tertampung dan disuarakan melalui mekanisme demokrasi.
Persoalannya terletak pada substansi dari pasal-pasal haatzaai itu sendiri. Pasal-pasal yang ada di dalam KUHP maupun di dalam RKUHP ternyata tidak cukup jeli memformulasikan apa yang disebut dengan kata-kata kunci, seperti: memusuhi, membenci, menghina, menghujat, menista pemerintah. Orang awam akan bertanya: lalu, di mana batas pembedanya dengan: mengritik, mengecam, mempertanyakan, menuntut, dan menggugat pemerintah?
Posisi negara (baca: pemerintah) yang memiliki kekuasaan publik, pasti berada di atas segala macam eksponen yang ada. Negara diberi legalitas untuk menjalankan kekuasaan tersebut atas nama pemberi mandat, yaitu rakyat, baik secara pribadi maupun kelompok. Dengan demikian, negara tidak boleh atas nama kekuasaan yang sudah dimandatkan, kemudian berbalik membungkam si pemberi mandat. Jadi, pada dasarnya, pemerintah tidak dapat menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menindak rakyat yang bereaksi terhadap kebijakan institusional. Pemerintah atas nama negara dapat melakukan penindakan apabila reaksi itu ditujukan terhadap individu atau kelompok individu. Di sini hukum, misalnya, perlu membedakan antara reaksi yang ditujukan terhadap Jokowi sebagai kepala negara/pemerintahan dan terhadap Jokowi sebagai individu atau kepala keluarga dalam ranah privat.
Dengan demikian, kata-kata: memusuhi, membenci, menghina, menghujat, menista, tidak seharusnya dilekatkan pada subjek sasaran pemerintah. Namun, batas-batas ini sangat mudah terlewati apabila pemilihan kosa kata dalam pengungkapannya tidak dilakukan dengan hati-hati, sampai-sampai berbuah ketersinggungan bagi anggota masyarakat lainnya. Artinya, reaksi semula terhadap pemerintah (hal itu bukan pelanggaran hukum) bisa berbelok menjadi serangan bagi sesama anggota masyarakat (dan itu merupakan pelanggaran hukum). Dalam konteks ini, kata-kata: memusuhi, membenci, menghina, menghujat, menista (apapun nanti pilihan terminologi resmi yang digunakan di dalam hukum positif), menjadi relevan untuk digunakan dalam penuntutan pidana.
Harus diakui bahwa rakyat Indonesia dewasa ini tidaklah sekohesif seperti digembar-gemborkan dalam pidato para pejabat kita. Kohesi bangsa ini membutuhkan jalan yang terjal untuk terus direkatkan, di tengah ketidakpercayaan diri yang meluas akibat gempuran globalisasi berkepanjangan. Fenomena ironis bahwa globalisasi di satu sisi menciptakan tribalisasi di sisi lainnya. Tribalisasi ini menghidupkan kembali ikatan-ikatan primordial sempit yang merusak kohesi berbangsa. Itulah sebabnya, provokasi-provokasi yang menganjurkan sikap dan perilaku intoleran, diskriminatif, bahkan rasis, melalui ceramah, khotbah, pamflet, dan pesan-pesan singkat berhamburan di mana-mana, dari mulai spanduk-spanduk dan percakapan di media sosial. Apakah negara bisa dan perlu bertindak mengatasi ini? Jawabannya tentu bisa dan perlu. Namun, lagi-lagi instrumen yang digunakan selayaknya bukan melalui pasal-pasal haatzaai, dan pihak yang dijadikan sasaran di sini harus dipastikan terlebih dulu adalah subjek-subjek non-negara atau non-pemerintahan. Hanya dengan cara demikian, marwah Indonesia sebagai negara demokratis, bisa dipelihara dan tidak dirusak melalui instrumen pasal-pasal haatzaai.
Hukum pidana sekali lagi perlu diposisikan sebagai ultimum remedium dalam konteks ini, sehingga edukasi yang pre-emptif dan preventif, dan/atau pengenaan hukum-hukum non-pidana dapat dipertimbangkan untuk ditempuh lebih dulu. Apabila pada satu titik, provokasi yang diutarakan pihak-pihak tertentu sudah sampai pada batas yang tak dapat ditoleransi, maka tanpa perlu direkayasa, pasti akan ada eksponen masyarakat yang menyuarakan keberatan mereka. Suara-suara seperti ini sudah sangat nyaring terdengar di masyarakat kita saat ini. Di sinilah negara kemudian dapat berperan untuk menegakkan hukum, tetapi sekali lagi, mohon tidak dengan menghidupkan instrumen arkhaik seperti ‘haatzaai artikelen’ . (***)
Published at :