People Innovation Excellence

KEGILAAN DALAM HUKUM PIDANA

 Oleh AHMAD SOFIAN (Februari 2018)

Belakangan ramai diberitakan tentang pembunuhan, penganiayaan yang berakibat kematian dan penganiayaan yang berakibat luka ringan maupun berat yang ditujukan pada ulama, ustadz, kyai, dan para tokoh agama lainnya. Lebih mengejutkan lagi, para pelaku dinyatakan gila, tidak waras, atau memiliki gangguan kejiwaan, sehingga menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Bahkan tidak hanya polemik tetapi juga keresahan yang akut di kalangan para umat beragama. Sayangnya pernyataan gila, setengah gila, atau gangguan jiwa dinyatakan oleh polisi, bukan oleh ahli jiwa yang telah memeriksa pelaku, dan celakanya pernyataan yang disampaikan tidak dinyatakan di dalam proses peradilan. Bertolak dari polemic di atas, artikel singkat ini ingin mengulas kegilaan dalam konteks hukum pidana nasional dan disajikan dalam bahasa yang ringan.

Pertanggungjawaban versus kegilaan

Ketika peristiwa pidana terjadi, hukum pidana tidak mencari faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa pidana. Berbagai spekulasi yang muncul menjadi latar belakang peristiwa pidana tidak akan ditelisik dalam perspektif hukum pidana. Alasannya karena bukan urusan hukum pidana, tetapi itu urusan ilmu lain yang membantu hukum pidana atau lebih dikenal dengan ilmu kriminologi. Salah satu tugas dari ilmu kriminologi adalah mencari sebab munculnya delik pidana. Kriminologi kaya akan berbagai teori yang dapat menjelaskan peristiwa pembunuhan, penganiayaan berat atau penganiayaan ringan. Dalam konteks ini, bisa saja mengunakan teori konspirasi, teori perilaku kriminal menyimpang, teori pelabelan, teori konflik dan teori-teori lainnya untuk menjawab faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya peristwa tersebut. Meskipun output analisisnya bisa berbeda-beda, namun jawaban ilmu kriminologi jauh lebih memuaskan dibandingkan dengan spekulasi yang terjadi akhir-akhir ini. Ilmu kriminologi sangat kaya akan berbagai metodologi atas peristiwa pidana yang pelik sekalipun. Sekali lagi, tulisan ini tidak masuk dalam ranah krimologi, tetapi memfokuskan diri pada hukum pidana, yang lebih menekankan jenis delik yang dilakukan dan  unsur-unsur deliknya serta bukti-bukti apa saja yang diperlukan untuk masing-masing unsur tersebut.

Dalam hukum pidana klasik, untuk dapat diminta pertangjawaban pidana, maka sepanjang perbuatan tersebut mengganggu tata tertib masyarakat dan perbuatan tersebut dicela maka, si pelaku dapat dipidana. Tidak penting apakah pelaku tersebut gila atau tidak. Namun dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada massa modern, perlu juga mempertimbangkan kondisi mental dan kejiwaan pelaku, dilakukan dengan insyaf dan penuh kesadaran, dan apakah dilakukan dengan tanpa tekanan atau tanpa kesadaran.  Oleh karena itu, kondisi mental dan kejiwaan pelaku juga dinilai. Dalam perkembangan terkini atau disebut juga jaman kontemporer, untuk dapat dipidananya seseorang maka harus melihat tiga aspek, yaitu perbuatan pelaku, akibat yang ditimbulkannya dan keadaan diri pelaku. Ketiga aspek tersebut di atas harus dinilai oleh pengadilan untuk bisa menjatuhkan pidana pada diri pelaku.

Dalam kondisi seperti demikian, maka tidak selamanya perbuatan yang dicela dan bertentangan dengan norma yang ada di dalam undang-undang atau norma yang hidup di dalam masyarakat otomatis bisa dipidana. Dengan kata lain ada limitasi perbuatan-perbuatan apa saja yang bisa dipidana dan perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak bisa dipidana. Dalam hal ini sudah masuk ke area pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan indikator untuk mengukur apakah seseorang dapat dipidana atau tidak atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana diukur dari ada tidaknya kesalahan yang dilakukan seseorang dan dapat atau tidaknya seseorang diminta tanggung jawab pidananya.  Dalam teori hukum pidana yang dikemukakan oleh para ahli, setidak-tidaknya ada 3 indikator yaitu: (1) seseorang yang melakukan tindak pidana pidana mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya; (2) yang bersangkutan mampu menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat; dan (3) mampu untuk menentukan kehendak berbuat. Ketiga unsur tersebut akan dinilai pada diri seseorang yang melakukan tindak pidana sehingga bisa atau tidak dipidana. Namun tentu saja penilaian tersebut dilakukan bukan oleh penyidik atau jaksa tetapi oleh hakim di pengadilan.

Teori tentang pertanggungjawaban pidana ini lalu dinormakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dengan rincian sebagai berikut:

  1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabankan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit tidak pidana.
  2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan
  3. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Jelas terlihat, untuk dapat menentukan kadar kegilaan, atau dalam Bahasa KUHP disebut dengan kecacatan pada jiwanya, atau terganggu ingatannya tidak didasarkan pada asumsi belaka tetapi harus dibuktikan secara scientific di pengadilan yang dilakukan oleh dokter ahli jiwa (psikiater) yang disumpah. Tentu saja dokter harus melakukan uji medis, diagnose dan lalu disampaikan di pengadilan. Keterangan yang disampaikan oleh dokter di pengadilan akan menjadi bahan pertimbangan hakim apakah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa secara normatif melanggar undang-undang atau tidak. Dalam konteks ini, pengadilan tidak serta merta dapat mempercayai 100 persen keterangan ahli psikiater yang didatangkan di pengadilan, karena akan ada aspek lain yang dinilai oleh pengadilan yaitu hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan akibat yang ditimbulkannya. Di samping itu, keyakinan hakim merupakan hal lain yang tidak bisa diganggu gugat, keyakinan ini didasarkan pada faktor-faktor yang ditemukan di pengadilan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Jika suatu saat keterangannya adalah palsu maka dokter tersebut pun dapat dikenakan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 242 KUHP yang berbunyi:

  1. Barangsiapa dalam hal-hal dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam  dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  2. Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun;
  3. Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan, yang diharuskan menurut aturan-aturan umum yang menjadi pengganti sumpah

Pasal tersebut di atas dikenal dengan sebutan pasal sumpah palsu, dimana keterangan yang disampaikan secara lisan maupun tulisan di depan pengadilan mengandung unsur ketidakbenaran, baik ketidakbenaran yang disampaikan secara sengaja maupun tidak sengaja. Manipulasi sebuah kebenaran baik oleh saksi maupun oleh ahli di pengadilan merupakan pengingkaran pada kebenaran yang dapat merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, keterangan tersebut digolongkan sebagai delik atau perbuatan tercela. Ada kalanya keterangan yang disampaikan tidak diawali dengan sumpah, namun keterangan tersebut tidak memiliki kekuatan, karena kualitas keterangan tersebut diragukan kebenarannya. Oleh karena itu, sumpah adalah suatu pernyataan dihadapan Tuhan untuk menyampaikan suatu kebenaran yang diketauhinya berdasar pengetahuannya atau sesuatu yang didengar atau didilihatnya atau sesuatu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, hakim tetap memiliki hak veto untuk tidak mempertimbangkan keterangan tersebut didasarkan pada pertimbangangan yang diyakininya.

Ini memberikan makna bahwa, hakim di pengadilan saja bisa menolak sebuah keterangan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, dan sudah disumpah. Jika hal ini dikaitkan dengan pernyataan penyidik, bahwa para pelaku adalah gila atau jiwanya cacat, maka kebenaranya tersebut pun masih belum bisa dipercaya sepenuhnya.

Penutup

Dengan demikian untuk menentukan kadar kegilaan seseorang dalam hukum pidana bukan sesuatu yang mudah, ada proses scientific yang harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi dibidangnya dengan uji ilmiah. Selanjutnya, keterangan tersebut harus disampaikan di muka pengadilan dengan lisan atau tulisan tetapi diawali dengan sumpah sehingga sempurna sebagai alat bukti. Itupun, akan ada uji normatif lagi, untuk sampai pada kesimpulan apakah bukti yang scientific tersebut bisa diterima sebagai alat bukti untuk proses pengambilan keputusan oleh hakim di pengadilan atau tidak.

Ini menunjukkan bahwa untuk menemukan kebenaran materiil dalam konteks hukum pidana atas suatu kegilaan pada diri seseorang tidak semudah seperti yang dibayangkan. Hukum pidana tidak mudah percaya pada kegilaan seseorang atas delik yang dilakukannya. Hukum pidana akan mendalami apakah orang tersebut benar-benar gila melalui serangkaian tes dan hasil tes diuji lagi di pengadilan secara transparan. (***)


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close