PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH MELALUI MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA
Oleh ABDUL RASYID (Februari 2018)
Mediasi merupakan salah bentuk peyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigation process). Penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi cukup populer dilakukan saat ini karena dianggap: lebih cepat, sederhana, rahasia dan berbiaya murah dibandingkan dengan proses litigasi di pengadilan. Mediasi secara sederhana dapat dipahami sebagai bentuk penyelesaian sengketa secara damai dengan melibatkan bantuan pihak ketiga (mediator) guna memberikan solusi yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Selanjutnya, penyelesaian sengketa melalui mediasi dengan melibatkan pihak ketiga (mediator) diatur secara eksplisit dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan pengaturan sebagai berikut:
“Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator.”
Selain digunakan di luar pengadilan, mediasi bisa juga digunakan sebagai bagian proses penyelesaian sengketa di dalam pengadilan. Dengan kata lain, mediasi di pengadilan menjadi bagian hukum acara perdata guna memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa. Di Indonesia, penggunaan mediasi di pengadilan mulai berlaku secara formal dengan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. PERMA tersebut mengalami beberapa kali revisi, revisi pertama adalah dengan dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2008 dan terkahir dengan PERMA No. 1 Tahun 2016.
Dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 disebutkan beberapa pertimbangan pentingnya pengintegrasian mediasi di dalam pengadilan. Pertimbangan tersebut antara lain:
- Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pegadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan;
- Mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi;
- Institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif);
Beberapa pertimbangan di atas menekankan akan pentingnya peran mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata secara damai di Pengadilan. Proses mediasi dalam perkara perdata, baik dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan agama, wajib dilakukan, jika tidak maka hakim dianggap melanggar ketentuan pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg dan putusannya dianggap batal demi hukum (Lihat Pasal 2 ayat (2 & 3) PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan).
Terkait dengan pembahasan di atas, seiring dengan berkembang pesatnya aktivitas ekonomi syariah di Indonesia, berdampak pula pada munculnya berbagai macam sengketa ekonomi syariah yang tidak dapat dihindarkan. Pengadilan Agama, sebagai lembaga peradilan yang diberikan kewenangan absolut dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah (lihat: Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 UU No. 21 tentang Perbankan Syariah), berperan aktif dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Proses mediasi juga dilakukan oleh hakim di pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Fakta di lapangan menunjukan bahwa pengunaan mediasi dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama membuahkan hasil yang cukup signifikan.
Salah satu Pengadilan Agama yang berhasil melaksanakan mediasi dalam perkara ekonomi syariah adalah Pengadilan Agama Wonosari, Yogyakarta. Dari 40 kasus ekonomi syariah yang diterima oleh Pengadilan Agama Wonosari semenjak tahun 2015 sampai dengan Juni 2017, hanya empat perkara yang diselesaikan melalui proses litigasi, selebihnya dapat diselesaikan melalui mediasi yang berakhir dengan perdamaian dan pencabutan perkara (lihat: Majalah Peradilan Agama/Agustus 2017).
Menurut Dra. Endang Sri Hartatik, Hakim Pengadilan Agama Wonosari, setidak-tidaknya terdapat tiga faktor keberhasilan Pengadilan Wonosari dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui mediasi, antara lain: 1) Hakim-hakim di Pengadilan Agama Wonosari memiliki pengalaman dalam menyelesaikan sengketa melalui mediasi dan memiliki kemampuan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan baik; 2) Perkara-perkara ekonomi syariah yang ditangani pada umumnya sederhana dengan nilai gugatan tak lebih dari Rp 100.000.000,- (serratus juta rupiah) dengan angunan berupa sertifikat yang nilainya sepadan; 3) Adanya budaya malu masyarakat setempat berurusan soal hutang-piutang di pengadilan, sehinga mereka berusaha untuk menyelesaikannya dengan cepat melalui perdamaian (Majalah Peradilan Agama/Agustus 2017).
Berdasarkan penjelasan di atas, tergambar secara jelas betapa pentingnya peran mediasi dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di pengadilan agama. Mediasi sejalan dengan prinsip syariah dan sangat dianjurkan dalam Islam untuk digunakan dalam menyelesaikan sengketa. Ke depan diharapkan penggunaan mediasi dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah semakin dimaksimalkan sehingga kepercayaan lembaga keuangan syariah dalam menyelesaikan sengketanya ke Pengadilan Agama semakin meningkat pula. ***