PENGATURAN JUSTICE COLLABORATOR MASIH PERLU DIREVISI
Terdakwa kasus e-KTP Setya Novanto, mendadak mengajukan diri sebagai Justice Collaborator kepada KPK. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan permohonan ini masih dipelajari KPK. Hingga saat ini (15/2/2018), KPK masih belum memberikan keputusan apakah permohonan Setya Novanto diterima atau ditolak.
Berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2011, Justice collaborator merupakan saksi pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum, serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. Justice collaborator merupakan saksi sekaligus sebagai terdakawa yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya dari keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan diberikan baginya.
Dalam hukum positif Indonesia, keberadaan justice collaborator masih belum diberikan pengaturan yang komprehensif, sehingga keberadaan justice collaborator direspon secara berbeda-beda oleh penegak hukum. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu hanya berlaku di kalangan internal Mahkamah Agung.
Selain SEMA No. 04 Tahun 2011, ada juga norma lain yaitu Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama; Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang kemudian direvisi dengan UU No. 31 Tahun 2014. Kesemua norma tersebut di atas tidak memberikan panduan, mekanisme, dan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator. KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas. Dengan demikian norma hukum positif kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice collaborator. Oleh karena itu, diperlukan terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator.
Demikian petikan singkat pelaksanaa Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Alumni S3 Fakultas Hukum UI bekerja sama dengan Program Pasca Sarjana FH UI di Fakultas Hukum UI-Salemba tanggal 15 Februari 2018, dengan menghadirkan tiga orang pembicara yaitu Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Guru Besar Hukum Pidana Fak. Hukum UI), Prof. Gayus Lumbun (Hakim Agung), Lili Pintauli Siregar, SH, MH (Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi Korban/LPSK) dan dimoderatori oleh Dr. Ahmad Sofian, SH, MA dosen Jurusan Hukum Bisnis, BINUS University.