KEMULIAAN JABATAN HAKIM
Oleh SHIDARTA (Februari 2018)
Awal bulan ini, seorang kenalan wartawan dari harian Kompas menghubungi saya untuk bertanya tentang satu hal sederhana, yakni apa makna sebutan “Yang Mulia” bagi profesi hakim. Wawancara berlangsung sekitar 10 menit, namun tatkala isi pernyataan saya muncul di harian tersebut pada tanggal 3 Februari 2018 dengan judul “Saat Yang Mulia Kena Sanksi”, hanya satu kalimat saja yang dimunculkan. Atas dasar itu, saya bermaksud untuk memberi latar belakang tentang penegasan saya mengenai kemuliaan jabatan hakim itu.
Perlu dicatat bahwa profesi hakim di banyak negara merupakan karir puncak bagi seluruh profesi hukum. Untuk menjadi hakim di Amerika Serikat, misalnya, seseorang yang ingin menjadi hakim umumnya telah berpraktik sebagai advokat. Latar belakang pendidikan sarjana (bachelor) mereka sangat beragam, seperti sarjana dari ilmu politik, sejarah, dan/atau ekonomi. Setelah lulus sarjana, mereka melanjutkan pendidikan untuk mendapatkan gelar JD. Proses pendidikan JD ini berlangsung tiga sampai empat tahun di bawah kurikulum yang diverifikasi oleh asosiasi advokat di negara tersebut (the American Bar Association). Asosiasi ini mengadakan ujian yang berlangsung sangat komprehensif, dengan tingkat kelulusan yang selektif. Setelah lulus, para advokat ini lalu berpraktik dalam kurun waktu cukup lama, untuk kemudian dikenal sebagai praktisi hukum yang bereputasi. Atas dasar itulah, para advokat senior ini dapat diusulkan oleh komisi hukum, senator, atau politisi tertentu guna mengisi jabatan hakim pada berbagai level pengadilan yang sesuai. Meningat sulitnya mencapai profesi hakim ini, maka di beberapat negara bagian, hakim adalah jabatan seumur hidup.
Di Indonesia, profesi hakim adalah profesi yang bisa dibangun sejak awal. Artinya, seseorang yang lulus dari sarjana hukum dapat langsung mengambil jalur pelatihan/pendidikan khusus kedinasan sebagai calon hakim tanpa harus berpraktik terlebih dulu sebagai advokat atau jaksa. Mereka ini dapat dipromosikan dari waktu ke waktu, sehingga pada ujung karirnya mereka mungkin saja mengemban jabatan sebagai hakim agung. Di luar itu memang tersedia jalur dari non-karir hakim untuk mengisi jabatan hakim di area dan/atau level tertentu. Hakim agung dan hakim konsitutusi, misalnya, menyediakan tempat bagi penyandang non-karir hakim, sepanjang mereka memiliki pengalaman bekerja di bidang hukum, seperti sebagai dosen di bidang hukum, jaksa, advokat, atau notaris.
Apapun pola rekrutmen profesi hakim tersebut, baik yang memposisikan profesi hakim sebagai puncak karir atau bukan, tetap saja profesi ini layak untuk dimuliakan. Sebutan “Yang Mulia” adalah sebutan yang universal. Di ruang-ruang persidangan berbahasa Inggris, label yang dilekatkan pada hakim adalah “Your Honour”. Berbagai sebutan serupa antara lain: “Monsieur le Président” atau “Madame la Présidente” (Prancis), “Your Lordship” (India), “Fat Goon Dai Yan” (China), atau “Yang Arif” (Malaysia).
Kemuliaan jabatan hakim itu diharapkan sejalan dengan label “Yang Mulia” yang melekat pada personalia profesi ini. Kemuliaan itu berkaitan dengan beberapa hal:
Pertama, hakim itu mulia karena mereka adalah penjaga benteng hukum dan keadilan. Kata “hakim” dan “hukum” berangkat dari akar kata yang sama. Sebutan kata “judge” dan “justice” kerap diidentikkan, menunjukkan bahwa pada figur hakim itu melekat nilai terideal dari hukum, yakni keadilan. Dengan demikian, pada figur hakimlah terbangun kepercayaan dan kepasrahan masyarakat untuk mendapatkan putusan mengenai perkara yang dihadapi oleh masyarakat.
Kedua, hakim itu mulia karena mereka tak selayaknya keliru dalam mengambil putusan dalam suatu perkara. Hakim adalah orang yang mumpuni dalam bidangya (ius curia novit). Bahkan, seandainya pun ada cacat atau kekeliruan di dalam putusannya, putusan itu tetap saja harus dijunjung tinggi dan dianggap benar (res judicata pro veritate habetur). Tanpa asumsi ini, maka lembaga peradlan akan kehilangan daya pikatnya bagi para pencari keadilan.
Keiga, hakim itu mulia karena mereka adalah figur-figur manusiawi yang menjalankan tugas profesinya dengan sangat hati-hati. Sebagai manusia yang memiliki kelemahan, hakim-hakim itu sadar bahwa mereka dapat saja secara tanpa disengaja melakukan kekeliruan. Untuk itu, mereka baru akan menjauhkani sanksi sepanjang mereka yakin atas kesalahan terdakwa. Jika ada keraguan, maka hakim akan memberikan sanksi yang paling meringankan (in dubio pro reo).
Profesi hakim, sama seperti profesi hukum pada umumnya, senantiasa mensyaratkan pengembanan moralitas yang sangat mendalam. Hal ini diperlukan karena siapapun yang bermasalah dengan hukum, berpotensi untuk berada dalam posisi yang dulu diungkapkan oleh H.L.A. Hart sebagai “gun-man situation”. Situasi ini membuat para pesakitan hukum tidak punya pilihan saat berhadapan dengan aturan-aturan hukum yang memaksa, termasuk di dalamnya terkait aparatur hukum yang berurusan dengan masyarakat. Sangat menyedihkan apabila ada masyarakat yang nasibnya kurang beruntung karena harus bersentuhan dengan polisi, jaksa, dan hakim yang berwatak buruk. Mereka tak punya pilihan untuk mencari polisi, jaksa, dan hakim yang lain selain daripada yang disodorkan kepada mereka.
Oleh karena persoalan-persoalan hukum yang dibawa ke jalur pengadilan akan sampai di tangan para hakim, maka ekspektasi terhadap profesi ini, dengan sendirinya, menjadi sangat tinggi. Tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap profesi hakim menjadi indikator tentang kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. (***)