ANTARA PELANGGARAN PIDANA DENGAN PELANGGARAN KODE ETIK ADVOKAT
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Januari 2018)
Fredirch Yunadi, penasihat Hukum Terdakwa tindak pidana korupsi Elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) Setya Novanto, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu dr. Bimanesh Sutarjo, S.pd juga ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pelanggaran pasal yang sama bersama dengan Fredirch Yunardi.
Selain dugaan melakukan tindak pidana, Fredrich Yunadi juga diduga melakukan pelangaran Kode Etik Profesi Advokat. Menurut Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Hermansyah Dalimi, Fredrich Yunadi terindikasi melanggar kode etik terkait pernyataannya bahwa Setya Novanto tidak dapat dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa seizin Presiden. Masih menurut Wakil Ketua Peradi, pelanggaran tersebut digolongkan sebagai pelanggaran tata krama. Atas dugaan pelanggaran tersebut, Komisi Pengawas Peradi akan mengumpulkan berkas dan akan melakukan pemeriksaan termasuk dengan mendengarkan keterangan Fredirch Yunadi.
Dalam kasus ini terdapat dua pelanggaran berbeda yang dilakukan oleh Fredich Yunadi. Pertama adalah dugaan pelanggaran tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, di mana hal ini merupakan kompetensi pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus. Kedua adalah dugaan pelanggaran kode etik profesi advokat dan hal ini merupakan kompetensi Dewan Kehormatan Peradi yang akan memeriksa dan memutus.
Pelanggaran kode etik merupakan pelanggaran atas kewajiban seorang advokat dalam menjalankan tugasnya untuk membela hak-hak kliennya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Seorang advokat dalam menjalankan profesinya terikat dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Advokat (UU Advokat) dan Kode Etik Advokat yang dibuat oleh Peradi. Tujuan utama adanya kode etik tersebut adalah agar seorang advokat dapat menjalankan profesi “officium nobile” nya dengan baik dan bertanggung jawab, serta untuk menjaga dan meningkatkan profesionalitas seorang advokat. Sanksi yang diberikan pun bukan berupa sanksi badan atau pun denda tetapi lebih pada sanksi administratif seperti pemberhentian sementara atau pun pemberhentian tetap seseorang sebagai advokat.
Pertanyaan utamanya adalah apakah seorang advokat yang telah dijatuhkan sanksi administratif oleh Dewan Kehormatan Peradi masih bisa dijatuhkan sanksi pidana oleh Majelis Hakim dalam suatu pengadilan pidana? Jawabannya tentu masih, terbuktinya pelanggaran UU Advokat dan kode etik tidak menggugurkan hak bagi jaksa penunutut umum dalam mendakwa dan menuntut serta hak hakim dalam mengadili perkara tindak pidana. Oleh karena itu pemeriksaan atas kedua pelanggaran tersebut dapat dilaksanaan secara bersamaan. (***)