People Innovation Excellence

KETERLAMBATAN DAN PEMBATALAN PENERBANGAN

Oleh SHIDARTA (Januari 2018)

Salah satu keluhan terbanyak yang disampaikan oleh konsumen selama ini adalah tentang kualitas layanan jasa transportasi penerbangan. Maskapai penerbangan (resminya disebut: badan usaha angkuan udara niaga berjadwal) sudah sangat lazim menunda atau membatalkan secara sepihak penerbangan hanya dengan alasan yang hanya Tuhan dan mereka sendiri yang tahu makna di balik kata-kata bersayap ini, yakni karena faktor “teknis operasional”.

Ketika tulisan ini dibuat, kebetulan baru saja terjadi peristiwa pembatalan sepihak penerbangan salah satu maskapai yang melayani rute internasional dari Medan (Kualanamu) ke Kuala Lumpur (Malaysia) pada tanggal 19 Januari 2018. Menurut jadwal, pesawat seharusnya terbang pada pukul 12:30 WIB, tetapi penerbangan ini ditiadakan dan penumpang diberi pilihan apakah bersedia menerima pergantian tiket 100% atau harus menunggu penerbangan berikutnya dari maskapai yang sama pukul 17:40 WIB. Peristiwa ini diliput oleh Radio Elshinta, Jakarta dengan memperdengarkan langsung tanggapan dari salah satu penumpang dan petugas maskapai tersebut.

Tentu saja contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari kisah-kisah serupa yang jamak terjadi. Bahkan, sangat mungkin kisah-kisah yang lebih dramatis pernah dialami sendiri oleh pembaca tulisan ini. Namun, khusus untuk keperluan tulisan ini, saya akan fokus pada dua persoalan seputar permasalahan ini. Pertama, mempersoalkan cara maskapai penerbangan bersikap dan berperilaku terkait peristiwa seperti ini. Kedua, harapan terhadap pemerintah atau otoritas terkait untuk bersikap dan berperilaku sebagai bagian dari upaya perlindungan terhadap konsumen.

Dalam kasus yang disebutkan di atas, reaksi pihak maskapai terbilang sungguh memprihatinkan. Pada saat wakil dari pihak maskapai diwawancarai oleh radio Elshinta, tidak terdengar sekalipun kata “maaf” dan “penyesalan”. Terkesan kuat bahwa bagi pihak maskapai, terbengkalainya para penumpang atas pembatalan sepihak itu merupakan kejadian biasa-biasa saja. Tidak ada simpati ditunjukkan kepada penumpang yang harus kalang-kabut menyusun ulang rencana mereka, seperti harus menghubungi pihak penjemput di bandara kedatangan, atau mungkin harus menjadwal lagi penerbangan berikutnya (connecting flight) bagi yang sekadar transit di bandara tujuan pertama. “Inilah risiko penumpang yang harus ikhlas diterima,” begitu kira-kira pikiran mereka.

Memang alasan “teknis operasional” adalah ujaran klasik yang sudah cukup untuk mengatasi hal ini. Tidak perlu ada penjelasan lanjutan. Padahal, menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia, istilah “teknis operasional” mengandung arti faktor yang disebabkan oleh kondisi bandar udara pada saat keberangkatan atau kedatangan, meliputi: (a) bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara; (b) lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran; (c) terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara; atau (d) keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling). Apabila terjadi alasan “teknis operasional” maka pihak maskapai wajib menginformasikan dengan bukti surat keterangan resmi dari instansi terkait (lihat Pasal 5 ayat (6) Permenhub tersebut).

Di luar alasan “teknis operasional” yang sudah sangat sering digunakan, ada dalih lain, yakni faktor manajemen airline, faktor cuaca, dan faktor lain-lain. Faktor manajemen airline terjadi apabila ada: (a) keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin; (b) keterlambatan jasa boga (catering); (c) keterlambatan penanganan di darat; (d) menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer), atau penerbangan lanjutan (connecting flight); dan (e) ketidaksiapan pesawat udara. Sementara itu ada faktor lain-lain, yang meliputi antara lain adanya kerusuhan dan/atau demonstrasi di wilayah bandar udara.

Istilah yang cukup akrab di telinga masyarakat seputar penerbangan ini adalah penundaan (delay) dan pembatalan (cancelation). Dalam peraturan, yang dipakai adalah  istilah “keterlambatan” dan  “pembatalan”. Keterlambatan penerbangan (flight delay) adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan. Sementara pembatalan penerbangan (cancelation of flight) adalah tidak beroperasinya suatu penerbangan sesuai rencana penerbangan yang telah ditentukan.

Sekilas terlihat jelas perbedaan ini, namun dalam kenyataannya tidak demikian. Mari kita cermati dengan lebih teliti. Permenhub Nomor PM 89 Tahun 2015 membagai ada enam kategori mengenai urusan keterlambatan dan pembatalan, serta kemudian kompensasi yang wajib diberikan atau fakultatif ditawarkan kepada penumpang. Jika ditabelkan akan terlihat sebagai berikut:


Jika diperhatikan pada tabel di atas, kategori empat, yang berarti terlambat sampai dengan maksimal 4 (empat) jam, kompensasi yang disediakan bagi konsumen hanya berupa minuman, makanan ringan, dan makanan berat. Jika dinilai dengan uang, besaran uang untuk menyediakan minuman/makanan seperti itu seputar Rp30.000,- sampai Rp50.000,-. Apabila jumlah penumpang dalam satu kali penerbangan yang terlambat itu ada 200 orang, berarti anggaran yang disiapkan hanya sekitar Rp6.000.000,- sampai Rp10.000.000,-.

Ada saja kemungkinan satu maskapai penerbangan yang memiliki jadwal penerbangan berbeda pada rute yang sama, akan sengaja menggunakan siasat keterlambatan ini demi efisiensi. Misalnya jadwal penerbangan pertama ada 100 penumpang. Selang waktu dua jam berikutnya akan ada penerbangan kedua dengan keterisian penumpang juga hanya 100 orang. Maskapai akan berpikir untuk menyatukan saja kedua jadwal ini, dengan mengorbankan penerbangan pertama. Maskapai akan menelpon penumpang tentang penundaan ini dan atas dasar itu, ia tak wajib membayar kompensasi apa-apa. Seolah-oleh mereka yang belum sempat datang ke bandara ini (karena sudah dikirimi pesan tentang keterlambatan itu) bukanlah penumpang. Padahal, definisi penumpang menurut Permenhub Nomor 89 Tahun 2015 adalah orang yang menggunakan jasa angkutan udara dan namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah dan memiliki pas masuk pesawat (boarding pass). Dewasa ini, hampir semua penumpang sudah melakukan check-in secara online mulai satu hari sebelum waktu keberangkatan, sehingga dipastikan mereka sudah memiliki pas masuk. Artinya, kompensasi atas keterlambatan bagi mereka juga sebenarnya wajib untuk diberikan, terlebih kalau keterlambatannya lebih dari empat jam.

Lalu, bagaimana kalau yang dideklarasikan oleh maskapai adalah “pembatalan”? Di sini perlu diperhatikan tentang jeda waktu antara waktu keberangkatan dan waktu pemberitahuan tentang pembatalan. Seperti yang terjadi pada kasus di Medan tanggal 19 Januari 2018 itu, sebagian penumpang sudah tiba di bandara pukul 10:30 (untuk penerbangan dua jam berikutnya). Setelah waktu boarding lewat, penumpang tetap tidak diberi tahu. Menurut salah satu penumpang yang melapor ke radio Elshinta, ia justru tahu kabar tentang pembatalan itu dari rekan yang menjemput di bandara Kuala Lumpur. Di papan pengumuman bandara Kualanamu, masih terpampang keterangan “on-schedule”. Di sini terlihat keanehan, bandara keberangkatan masih belum mengumumkan adanya pembatalan, sementara bandara kedatangan sudah tahu lebih dulu.

Dari jawaban petugas maskapai saat diwawancarai, terlihat jelas keyakinannya bahwa maskapai hanya punya kewajiban untuk mengembalikan uang (jika diminta) atau menawarkan ke penerbangan berikutnya. Ironisnya, penerbangan berikutnya berjarak lebih dari lima jam, yang berarti masuk kategori ke-5 apabila diperhitungkan sebagai keterlambatan. Jadi, boleh jadi dipakainya dalih “pembatalan” merupakan alasan yang paling efisien untuk menggantikan kata “keterlambatan” yang akan berlangsung lebih dari 240 menit. Jika dipakai kata “keterlambatan” maka maskapai akan terkena kewajiban membayar kompensasi sebesar Rp300.000,- per penumpang. Jika digunakan terminologi “pembatalan” kewajiban kompensasi ini menjadi hilang.

Industri penerbangan kita merupakan pemain peran yang luar biasa penting bagi pembangunan negeri ini. Oleh sebab itu, pelaku bisnis di sektor ini harus makin profesional dan makin peduli pada hak-hak konsumen mereka. Sayangnya, perlakuan yang tidak manusiawi seperti contoh di atas masih terus saja diperagakan oleh maskapai-maskapai penerbangan kita, terlepas ada berbagai peraturan, bahkan setingkat undang-undang yang sudah diberlakukan. Celah terhadap peraturan-peraturan itu tentu bisa saja disiasati, namun pemerintah dan otoritas bandar udara seharusnya segera bersikap dan bertindak tegas mengatasi kekurangan-kekurangan itu, dan bukan justru membiarkan konsumen jasa penerbangan ‘kelimpungan’ setiap kali menghadapi perlakuan demikian. Seperti kisah di Medan itu, para penumpang tadi secara vis-a-vis berjuang sendiri untuk mencari tahu ke maskapai penerbangan, yang notabene akhirnya hanya bertemu dengan orang-orang lapangan yang tidak dapat menjelaskan apa-apa. Padahal, otoritas bandara adalah institusi yang juga wajib diberi tahu oleh maskapai terkait faktor keterlambatan ini (Pasal 5 ayat (6) Permenhub tersebut), yang artinya mereka sebenarnya memiliki informasi tersebut.

Sebagai contoh, otoritas penguasa bandara selama ini tidak sigap memberikan klarifikasi tambahan tentang apa yang dimaksud dengan kendala “teknis operasional” agar penumpang tahu benar bahwa alasan itu tidak dibuat-buat sekadar untuk menghindar dari tanggung jawab. Jika konsumen meragukan alasan ini, seyogianya otoritas bandara bisa ikut menenangkan penumpang dengan memberikan bukti yang bisa dipertanggungjawabankan.  Dengan demikian, konsumen dapat menilai sendiri seberapa logis alasan itu. Misalnya, jka dikatakan ada alasan keterlambatan pengisian bahan bakar, maka akan ada justifikasi apakah perlu sampai keberangkatan harus tertunda lebih dari dua jam?

Alasan teknis operasional yang populer digunakan oleh maskapai itu sebagian besar berkaitan dengan performa otoritas bandara. Jadi, apabila alasan itu terlalu sering diobral, maka sesungguhnya maskapai sudah melemparkan persoalan ini dan melabelkan ketidakberesan itu pada pihak pengelola bandara. Dan, seharusnya indikator ini digunakan untuk menilai kinerja pengelola bandara-bandara kita dari waktu ke waktu. Pilihannya tentu pada ketegasan saja: apakah pemerintah bersama dengan otoritas bandara kita akan lebih berpihak kepada konsumen atau tidak. (***)


 

 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close