MINIMALIS PERAN ORGANISASI ADVOKAT
Oleh SHIDARTA (Januari 2018)
Apakah aksi bungkam Setya Novanto untuk menunda permbacaan dakwaan penuntut umum di persidangan perkara korupsi e-KTP tanggal 13 Desember 2017 sepenuhnya skenario personal terdakwa? Apakah para penasihat hukum Setya Novanto sama sekali tidak tahu tentang skenario ini atau tidak ikut terlibat untuk mendesain ulah terdakwa? Jika penasihat hukum ikut terlibat menyusun skenario demikian, maka apakah model beracara seperti ini dapat dibenarkan secara etis (untuk tidak sampai dulu ke pertanyaan “secara hukum positif”)?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dibiarkan tidak terjawab. Dan, ironisnya, organisasi advokat di Indonesia seperti bungkam seribu bahasa menyaksikan pemeragaan model beracara demikian. Maka, jangan disalahkan bila masyarakat luas mencibir peran minimalis organisasi advokat kita dalam “menertibkan” perilaku anggota-anggotanya.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa salah satu profesi hukum yang paling sulit “ditertibkan” atau “diajak tertib” di Indonesia ini adalah advokat. Ketika Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diberlakukan, sebenarnya ada optimisme bahwa persoalan keorganisasian advokat akhirnya bisa diselesaikan. Untuk itu, jangan heran jika Pasal 1 butir 4 menyuarakan optimisme itu, dengan menyatakan bahwa organisasi advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang tersebut. Jika digunakan tafsir a-contrario, pernyataan itu mengandung arti bahwa di luar organisasi yang tidak didirikan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, bukanlah organisasi advokat.
Namun, harapan untuk membuahkan organisasi advokat yang tunggal, ketika itu digantungkan lebih dulu, dengan memberi waktu selama dua tahun untuk pembentukannya. Sementara belum ada organisasi itu, maka tugas dan wewenang organisasi advokat dijalankan oleh: (1) Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), (2) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), (3) Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), (4) Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), (5) Serikat Pengacara Indonesia (SPI), (6) Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), (7) Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Delapan organisasi ini lalu mewadahi diri di dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) untuk menyiapkan organisasi advokat tunggal itu. Kata “sementara” dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Advokat menunjukkan bahwa ikatan, asosiasi, himpunan, dan serikat seharusnya tidak boleh lagi menjalankan lagi tugas dan wewenang tersebut begitu organisasi advokat yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 resmi didirikan. Upaya KKAI paling tidak berhasil untuk membidani lahirnya Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) yang dideklarasikan tanggal 21 Desember 2004.
Optimisme yang coba dibangun oleh Undang-Undang Advokat, ternyata tidak berhasil diwujudkan di dalam kenyataan. Ikatan, asosiasi, himpunan, dan serikat yang dinyatakan untuk sementara watku menjalankan tugas dan wewenang sebelum organisasi resmi para advokat selesai didirikan, ternyata tidak serta-merta membubarkan diri. Jangankan membubarkan diri, beberapa di antaranya bahkan “beranak-pinak” membelah diri menjadi makin banyak. Organisasi advokat yang disebut Peradi juga demikian halnya, sehingga muncul Peradi versi kepengurusan A dan versi kepengurusan B.
Menurut Undang-Undang Advokat, organisasi advokat (baca: Peradi) yang dibentuk menurut ketentuan Undang-Undang Advokat bertugas melakukan pengawasan terhadap advokat agar semua anggotanya di dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Peradi. Keanggotaan Komisi Pengawas ini terdiri atas unsur advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.
Tidak bereaksinya organisasi advokat dalam kejadian di persidangan tanggal 13 Desember 2017 di atas menunjukkan organisasi advokat kita, apapun namanya, dan versi kepengurusan manapun, tidak menjalankan perannya secara maksimal. Memang dapat saja para penasihat hukum Setya Novanto berkelit dengan menyatakan mereka tidak tahu menahu dengan skenario ini, namun asumsi yang sudah berkembang di masyarakat haruslah dijawab, dengan paling tidak memanggil dan memeriksa para advokat tersebut. Hasil dari pemeriksaan ini patut pula diketahui oleh publik, mengingat advokat kerap mengklaim diri mereka sebagai penegak hukum pula. Jika organisasi advokat tidak bereaksi dan terus berdiam diri, maka derajat keluhuran profesi ini menjadi dipertaruhkan.
Undang-Undang Advokat menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Andaikan tindakan Setya Novanto di persidangan itu sengaja direkayasa, maka iktikadnya sudah dapat ditebak, yakni mengulur-ulur waktu dengan harapan agar sidang praperadilan yang berjalan simultan, dapat diperoleh vonisnya terlebih dulu. Motivasi demikian sulit untuk dipandang sebagai iktikad baik.
Para penasihat hukum mungkin boleh-boleh saja menyatakan bahwa langkah yang ditempuh untuk mengulur waktu adalah sah; sama sahnya dengan upaya penuntut umum mempercepat pembacaan tuntutan di persidangan pokok perkara guna membatalkan persidangan praperadilan. Dalam logika, cara berpikir demikian disebut sebagai “tu quoque”. Namun, sebenarnya tindakan penuntut umum untuk mempercepat persidangan dan tindakan terdakwa untuk bungkam, tidak dapat diperbandingkan secara “apple-to-apple”.
Penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi meregistrasi perkara yang kemudian ditetapkan persidangannya pada tanggal 13 Desember 2017 itu tanpa membuat rekayasa yang merugikan pihak lain dan menghambat jalannya persidangan. Sebaliknya, tindakan berpura-pura sakit dan menolak untuk merespons hakim (padahal para dokter secara independen telah berpendapat sebaliknya), merupakan suatu tindakan yang merugikan dan menghambat jalannya persidangan. Dengan mengikuti opini para dokter ini, maka berarti tindakan tidak dapat berbicara dan tidak dapat mendengar pertanyaan hakim, merupakan kepura-puraan belaka. Advokat yang menjunjung tinggi keluhuran profesinya, tentu tidak boleh membiarkan kepura-puraan seperti apapun berlangsung di persidangan yang dirinya ikut terlibat di dalam proses beracara di situ. Bilamana advokat ikut terlibat membiarkan klien mempraktikkan kepura-puraan, dengan membiarkan sidang tertunda selama berjam-jam, hal ini sungguh contoh perilaku yang tidak dapat dibenarkan secara etis. Sekali lagi sayangnya, organisasi advokat seperti kehilangan kata-kata untuk mengambil sikap. (***)