REGULATORY SANDBOX SEBAGAI KOMITMEN BANK INDONESIA MEMAJUKAN TEKNOLOGI FINANSIAL
Oleh BAMBANG PRATAMA (Januari 2018)
Maraknya perusahaan baru (start-up) yang membentuk bisnis Teknologi Finansial (TekFin) atau Financial Tehnology (FinTech) sejak beberapa tahun terakhir tidak bisa dihindari lagi. Selain itu, dengan banyaknya varian jenis teknologi finansial yang ada seperti penyedia jasa pembayaran, uang elektronik, dompet digital, asuransi, peer-to-peer lending, crowd funding, asisten keuangan, aggregator keuangan dan berbagai layanan lainnya merupakan tantangan hukum yang harus dijawab oleh Bank Indonesia. Berkembangnya berbagai bisnis model teknologi finansial jika dilihat dengan perspektif hukum konvensional merupakan tindakan pelanggaran hukum. Alasannya, banyak ditemukan layanan teknologi finansial bisnis modelnya mirip seperti bank yaitu menghimpun dan menyalurkan dana.
Di sisi lain, para pendiri perusahaan (entrepreneurs) start-up yang membentuk bisnis baru yang inovatif merupakan agen perubahan ekonomi yang harus diapresiasi, karena keberadaannya mampu menggerakkan dan menggairahkan sektor ekonomi. Pada kondisi demikian, tantangan hukum yang harus dijawab adalah menjaga keseimbangan tujuan hukum antara kepastian hukum dengan iklim inovasi yang kondusif dari para entrepreneurs di bidang teknologi finansial. Menyadari pentingnya keseimbangan antara kepastian hukum dan iklim inovasi yang kondusif teknologi finansial, Bank Indonesia mengambil sikap dengan membuat Peraturan Anggota Dewan Gubernur No. 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox).
Regulatory sandbox adalah ruang uji coba terbatas bagi pelaku teknologi finansial untuk melakukan uji coba sistem elektronik yang dibuatnya. Dengan adanya regulatory sandbox, para entrepreneurs tidak perlu khawatir bisnisnya melanggar aturan hukum karena sistem pada bisnis modelnya didaftarkan, diujicobakan dan diawasi oleh pemerintah (Bank Indonesia). Keuntungan lain dari program regulatory sandbox adalah pendampingan dari Bank Indonesia kepada perusahaan FinTech dalam menjalankan bisnisnya, sehingga aspek perlindungan konsumen, prinsip kehati-hatian, dan manajemen risiko dari bisnis model yang dijalankan bisa dipantau langsung oleh Bank Indonesia.
Perusahaan start-up teknologi finansial yang mengikuti regulatory sandbox adalah perusahaan yang diijinkan untuk melakukan uji coba bisnisnya secara terbatas, bukan diberikan ijin untuk beroperasi secara penuh. Oleh sebab itu, apabila perusahaan yang mengikuti program sandbox dari Bank Indonesia bukanlah perusahaan yang telah mendapatkan ijin untuk beroperasi, tetapi perusahaan yang mendapatkan ijin untuk melakukan uji coba. Hal ini perlu digarisbawahi, karena mendapatkan ijin operasional dengan ijin uji coba sandbox adalah dua hal yang berbeda. Jika perusahaan FinTech pengusul telah dinyatakan lulus uji coba atau berhasil pada sandbox, maka perusahaan tersebut bisa mengajukan ijin penuh untuk bisa beroperasi secara normal. Tata cara dan persyaratan pengajuan ijinnya tentunya akan bisa dilakukan dengan mudah, mengingat interaksi antara regulator (Bank Indonesia) dengan perusahaan FinTech telah terjalin erat selama masa uji coba di program regulatory sandbox. Oleh sebab itu, program regulatory sandbox harus dipandang sebagai upaya aktif dari Bank Indonesia dalam melakukan pendampingan bagi para perusahaan FinTech, bukan sebagai upaya pengawasan saja. Adapun beberapa peraturan terkait regulatory sandbox adalah sebagai berikut:
- Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial; dan
- Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial.
Dengan adanya program inkubasi bisnis pada sandbox, maka dampak ekonomi dari perusahaan FinTech dapat dikendalikan oleh pemerintah, selain itu, tren pergerakan bisnis teknologi finansial dapat terus diikuti oleh pemerintah secara langsung dan intensif. Dengan membuat regulatory sandbox, Bank Indonesia menunjukkan sikap yang positif dan pro terhadap inovasi teknologi informasi di bidang bisnis keuangan, tidak resistan terhadap inovasi teknologi finansial. Oleh sebab itu, langkah Bank Indonesia dengan mengeluarkan regulatory sandbox perlu diapresiasi sebagai terobosan hukum. Dalam kaitannya pengaturan industri finansial, pakar ekonomi London School of Business and Economic, Julia Black mengatakan ada dua pendekatan untuk mengatur industri finansial, yaitu: principle-based dan rule-based, yang mana keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada model principle based dirasakan agak kurang berpihak secara kepastian hukum, sedangkan rule-based dirasa sangat kaku dan menghambat dinamika bisnis.
Pendapat Julia Black mungkin saja berbeda dengan kondisi di Indonesia, mengingat perspektif peraturan yang dilihat oleh Julia Black adalah di negara Inggris dan Amerika Serikat. Meski demikian, tujuan dan filosofi dari regulatory sandbox yang dilakukan oleh Bank Indonesia mirip dengan di Inggris, yaitu berusaha menjembatani kebutuhan pasar dengan kekakuan aturan hukum. Salah satu kelebihan dari sistem principle based yang dilakukan di Inggris adalah tidak harus membuat suatu peraturan untuk mengantisipasi dinamika inovasi teknologi finansial. Tetapi aturan yang dibuat di Inggris dengan membuat kebijakan atau membuat guidelines oleh Financial Services Authority (FCA). Meski secara struktur aturan, peraturan yang dikeluarkan adalah peraturan kebijakan (beleidsregel), tetapi tingkat kepatuhan para pelaku FinTech di Inggris begitu tinggi, sehingga hanya dengan mengeluarkan guidelines saja otoritas keuangan Inggris bisa mengatur FinTech dengan baik.
Langkah strategis dengan membuat kebijakan hukum seperti di Inggris ini pula yang mungkin ditiru oleh Bank Indonesia dengan membuat aturan tentang regulatory sandbox di level Peraturan Anggota Dewan Gubernur, bukan membuat aturan setingkat Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang sifatnya (wetgeving regel). Oleh sebab itu, langkah Bank Indonesia dalam mengatur FinTech di atas kertas atau secara yuridis normatif perlu diapresiasi.
Program regulatory sandbox bisa dikatakan mirip dengan program inkubasi bisnis di bidang kewirausahaan (entrepreneurship), yang didalamnya mengembangkan dan menggodok bisnis model suatu start-up. Hanya perbedaannya pada regulatory sandbox fokus bisnis yang diinkubasi adalah jasa finansial, sedangkan inkubasi bisnis pada umumnya tidak hanya menggodok satu bidang bisnis saja. Oleh sebab itu, atmosfer pengaturan yang ada pada regulatory sandbox akan memiliki kemiripan dengan inkubasi bisnis seperti pada bidang kewirausahaan. Hal ini bisa dibuktikan pada lampiran Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tentang regulatory sandbox, yang didalamnya mengatur tentang formulir isian tentang bisnis. Beberapa diantara kemiripan dengan inkubasi bisnis diantaranya tentang: nama perusahaan, permodalan, novelti, bisnis model, manfaat produk, utilitas sistem, dan kelengkapan administrasi lainnya.
Keberadaan regulatory sandbox di berbagai negara biasanya didukung juga dengan membuat FinTech Office, yaitu tempat dimana para peserta sandbox berkumpul dengan para ahli (expert) di bidang: hukum, teknologi, bisnis, akademisi, regulator, dan pakar lainnya. Secara sederhana FinTech office bisa dikatakan sebagai wahana research and development (R&D) kolaboratif. Tanpa adanya FinTech Office yang terdiri dari para stakeholder ABG (akademisi, Bisnis, dan Government) maka regulatory sandbox hanya akan menjadi menara gading bagi para start-up untuk memasuki pasar (new entrance). Hal ini juga membawa konsekwensi bahwa industry finansial yang selama ini sifat pasarnya oligopoli mulai membuka diri terhadap pemain baru (new comers).
Untuk mendukung suksesnya program regulatory sandbox, ada dua prasyarat tambahan yang perlu dilengkapi oleh Bank Indonesia dalam mengatur FinTech. Tanpa adanya FinTech office dan perubahan paradigm pasar industri finansial, maka FinTech dari Indonesia niscaya tidak akan berkembang dengan baik. Selain itu, konsekwensi logis yang perlu disadari oleh Bank Indonesia adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki BI yang harus mampu berpikir antisipatif dan responsif dalam menjalankan regulatory sandbox pada FinTech Office. Dari sisi SDM, tentunya tidak hanya kesiapan, tetapi secara kuantitas jumlah pakar (expert) juga harus disiapkan. Oleh sebab itu, langkah kolaboratif menjadi penting untuk dilakukan. Misalnya dengan menggandeng, unit-unit kewirausahaan dengan perguruan tinggi, menggandeng NGO yang memiliki banyak ahli terkait teknologi finansial. Langkah-langkah tersebut di atas yang tentunya harus disiapkan oleh Bank Indonesia untuk mensukseskan program regulatory sandbox dalam rangka membangun iklim inovasi teknologi finansial yang kondusif. Terakhir, dari sisi peran dan fungsi Bank Indonesia, edukasi terhadap teknologi finansial ke masyarakat juga perlu dilakukan sehingga masyarakat tidak menggunakan produk teknologi finansial palsu atau FinTech penipuan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dan melihat ruang lingkup pengaturan regulatory sandbox terlihat secara jelas bahwa sikap Bank Indonesia secara yuridis normatif tidak resisten terhadap inovasi teknologi finansial. Dengan adanya program uji coba regulatory sandbox dan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia, maka pelaku start-up teknologi finansial akan lebih baik dalam menjalankan bisnisnya karena ada pendampingan dari pihak regulator. Di sisi lain, dengan tata kelola yang baik, maka konsumen akan lebih terjamin jika menggunakan sistem dan layanan teknologi finansial, sehingga diharapkan industri dan pasar dari teknologi finansial akan sangat kondusif terhadap inovasi. Semoga keberpihakan Bank Indonesia terhadap pelaku usaha teknologi finansial tidak hanya sebatas norma saja. Harapannya bisa dibuktikan secara empiris dengan banyaknya jumlah pelaku teknologi finansial yang berhasil menjadi start-up unicorn (perusahaan dengan market value lebih dari 1 milar dolar), sehingga ekonomi di industri finansial bisa ikut digerakkan oleh para pelaku usaha teknologi finansial. (***)
Published at :