E-COMMERCE DAN MEDIA SOSIAL
Oleh: Siti Yuniarti (Desember 2017)
Silakan Anda cek berapa jumlah media sosial yang ada pada telepon gengam anda. Path, Line, Facebook, Instagram hanyalah beberapa contoh media sosial yang sering digunakan pada saat ini. Media sosial menurut Kaplan dan Haenlein (2010) merupakan sekelompok aplikasi berbasis internet yang menggunakan teknologi Web 2.0 yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran konten buatan pengguna. Media sosial menghubungkan orang dalam dunia maya, baik untuk keperluan pribadi maupun pekerjaan.
Seiring dengan pertumbuhan e-commerce, media sosial dilirik sebagai kanal komunikasi antara pelaku usaha dan konsumen. Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan teknologi informasi telah membuka jalan bagi peluang-peluang baru dalam bisnis, melalui e-commerce. E-commerce tidak saja memperluas arus barang dan jasa, namun juga menciptakan kesempatan bagi individu untuk terlibat sebagai sebagai pelaku usaha.
Media yang digunakan oleh pelaku usaha dalam e-commerce beragam seiring dengan perkembangan teknologi informasi itu sendiri. Website merupakan media yang banyak dipilih oleh pelaku usaha untuk menawarkan barang/jasanya. Namun seiring perkembangan teknologi informasi dan perubahan perilaku pengguna internet, media sosial mengambil peranan penting dalam pemasaran barang/jasa. Menurut Survey Internet 2016 oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pengguunaan media sosial sebagai sarana berdagang menduduki peringkat ke-2 tertinggi setelah penggunaan media sosial sebagai alat berbagi informasi.
Dari sudut hukum perlindungan konsumen, penggunaan media sosial sebagai tempat mempertemukan pelaku usaha dan konsumen memiliki catatan sendiri. Eksistensi pelaku usaha merupakan catatan utama terkait penggunaan media sosial dalam e-commerce. Tidak termasuk dalam lingkup isu ini adalah sosial media sebagai kepanjangan tangan dari suatu website. Eksistensi tersebut sangat penting bagi konsumen ketika konsumen memiliki keluhan terhadap transaksi atau barang yang dibeli. Terlebih apabila metode pembayaran yang digunakan adalah bayar dimuka. Pembayaran telah dilakukan, namun barang tidak juga dikirimkan. Atau barang yang dikirimkan tidak sesuai dengan pemesanan. Eksistensi pelaku usaha terasa menjadi semakin penting ketika konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi barang yang diperdagangkan oleh pelaku usaha tersebut. Ketika konsumen bermaksud untuk meminta pertanggungjawaban pelaku usaha, account media sosial pelaku usaha tersebut sudah tidak aktif dan pelaku usaha sudah tidak dapat lagi dihubungi. UU ITE memang telah meletakkan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi kepada konsumen, tidak saja mengenai barang yang dijual, namun juga mengenai identitas pelaku usaha. Namun, dengan kemudahan untuk membuka atau menutup account sebuah sosial media, hal tersebut rasanya tidak memberikan perlindungan yang cukup. Sehingga untuk mengetahui kredibilitas dari pelaku usaha, konsumen hanya dapat mengandalkan informasi-informasi yang disampaikan oleh konsumen lain dalam kolom comment/testimony terkait kualitas barang dan performa pelaku usaha. Selanjutnya, dengan melihat pada potensi penggunaan sosial media sebagai media transaksi dalam e-commerce, maka perlu untuk dikaji kembali upaya-upaya yang dapat dilakukan terutama dari sisi regulasi dan peningkatan awareness konsumen agar dampak positif dari e-commerce tidak menjadi berkurang dengan adanya kelemahan-kelemahan tersebut. (***)