RUPS KETIGA: SIAPAKAH YG BERHAK MEMUTUSKAN KUORUM?
Oleh AGUS RIYANTO (Desember 2017)
Di dalam bangunan besar Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ dengan kekuatan hak veto dari pemegang saham yang tidak dimiliki dan diberikan kepada organ Direksi atau Komisaris (Pasal 1 angka 4 UUPT). Dengan ketentuan ini, maka RUPS adalah organ tertinggi, meskipun tidak sepenuhnya demikian, karena ketiga organ RUPS tersebut sejajar dan berdampingan sesuai dengan pemisahan kewenangan yang diatur UUPT dan Anggaran Dasar. Kewenangan RUPS tersebut barulah dapat dijalankan setelah mendapatkan persetujuan RUPS. RUPS itu sendiri dapat dilaksanakan dengan ketentuan pertama, memenuhi syarat formal diselenggarakannya RUPS dan kedua memenuhi ketentuan kourum yang ditentukan UUPT dan Anggaran Dasar. Di antara kedua syarat itu, dalam Pasar Modal, maka kourum adalah syarat yang tidak mudah dipenuhi. Untuk menghadapi kesulitan memenuhi kourum itu, maka UUPT untuk Perseroan Tertutup melalui Pasal 86 – 89 dimungkinkan dilakukan RUPS kedua dan RUPS ketiga. Untuk Perseroan Terbuka dalam Pasal 87 ayat (5) dan Pasal 89 ayat (5) UUPT dapat menentukan jumlah korumnya sendiri (tidak sama dengan UUPT) dengan tidak persetujuan dari Pengadilan Negeri (tetapi Otoritas Jasa Keuangan atau OJK) sepanjang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan lain di bidang Pasar Modal. Mengapa terdapat perbedaan lembaga yang dapat dan berwenang memutuskan kourum dalam RUPS ketiga tersebut?
Kedudukan kuorum di dalam RUPS sangat penting. Hal ini, karena untuk dapat menentukan bisa tidaknya RUPS itu berjalan dan berlanjut dengan pembahasan agenda RUPS, bergantung pada jumlah kourum (terpenuhi atau tidak). Kuorum RUPS dapat diterjemahkan sebagai jumlah minimum pemegang saham yang harus hadir dan dapat memberikan keputusan (suaranya) dalam RUPS. Di Indonesia, induk ketentuan kourum RUPS diatur dalam Pasal 86, 87, 88 dan 89 UUPT. Dalam garis besarnya keempat ketentuan kourum dalam UUPT tersebut menentukan bahwa jumlah korum sangatlah tergantung kepada jenis-jenis kourum RUPS apakah yang dilakukan Perusahaan Tertutup. Dalam hal RUPS kesatu korum tidak tercapai, maka dapat diadakan RUPS kedua dengan menginformasikan dalam iklan pemanggilan bahwa RUPS kesatu telah dilangsungkan dan tidak mencapai kourum. Untuk masalah korum dalam RUPS yang kedua ini tergantung kepada agenda RUPS yang hendak diputuskan. Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, maka Perseroan Tertutup dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan Tertutup itu berada agar dapat ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. Pengadilan Negeri dalam hal ini akan mengeluarkan penetapan (bukan putusan, karena bukan sengketa) jumlah kourum RUPS yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta harus dijalankan Perusahaan Tertutup dalam RUPS ketiga tersebut.
Kondisi menjadi berbeda kourum untuk Perusahaan Terbuka. OJK adalah yang berwenang menetapkan kuorum RUPS ketiga Perusahaan Terbuka. Hal ini dapat dilakukan OJK dengan merujuk kepada Pasal 87 ayat 5 dan 88 ayat 5 UUPT (berwenang mengatur dengan ketentuan tersendiri) juncto Pasal 26 ayat 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka ditentukan bahwa dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua tidak tercapai, RUPS ketiga dapat diadakan dengan ketentuan RUPS ketiga sah dan berhak untuk mengambil keputusan apabila dihadiri oleh pemegang saham dari saham dengan hak suara yang sah dalam kuorum kehadiran dan kuorum keputusan yang ditetapkan oleh OJK berdasarkan atas permohonan Perusahaan Terbuka. Dengan demikian, maka lembaga yang berhak memutuskan kourum RUPS ketiga Perseroan Terbuka tidak sama dengan Perseroan Tertutup. Tidak ada yang salah apabila berpegang kepada ketentuan yang mengatur kourum RUPS ketiga, namun mengapa menjadi berbeda untuk Perseoan Terbuka. Keberbedaan kourum di RUPS ketiga Perusahaan Terbuka ini berpotensi akan terjadi dugaan terbuka bahwa ada kemungkinan “kerjasama” (dengan harus dapat dibuktikkan dahulu) antara Perseroan Publik dengan OJK untuk dengan mengaturnya jumlah kourum sesuai yang dikehendakinya Perseroan Publik. Hal ini dapat dimungkinkan terjadi, karena tidak terdapat transparansi dan kriteria yang jelas (ukurannya apa sebenarnya) untuk dapat diberikan jumlah kourum RUPS ketiga itu. Artinya, kesemua keputusan itu menjadi sepenuhnya kewenangan OJK dan akhirnya menjadi subyektif dari OJK untuk dapat atau tidaknya memberikan keputusan kourum RUPS ketiga tersebut.
Berbedanya kelembagaan dalam memutuskan kuorum RUPS ketiga tidak seharusnya terjadi. Hal itu dapat dilakukan dengan kesemuanya tetap berpegang kepada UUPT sebagai induk dan payung hukum yang berlakunya kourum RUPS ketiga untuk semua. Khusus untuk Perseroan Terbuka, karena memang Pasal 87 ayat (5) dan 88 ayat (5) UUPT membolehkannya, maka tetap Perseroan Publik dapat mengajukan permohonan jumlah kuorum RUPS ketiga kepada OJK (sebagai lembaga yang menaungi industri Pasar Modal), namun yang memutuskan bukanlah OJK, tetapi OJK yang akan melakukan penelitian dan penilaian awal terhadap kehendak dari Perseroan Publik dan hasil dari keseluruhan investasi OJK akan dimajukan kepada Pengadilan Negeri untuk mendapatkan penetapannya. Hal demikian ini berarti tidaklah akan mengurangi kewenangan OJK, tetapi dalam rangka mendapatkan obyektivitas penilaian terhadap jumlah kourum yang diajukan oleh Perseroan Publik dan juga berpegang kepada Pasal 86, 87, 88 dan 89 UUPT yang mengaturnya, maka lebih tepat adalah Pengadilan Negeri yang memutuskan secara final, mengikat dan terakhir untuk kourum Perseroan Terbuka. Melalui Pengadilan Negeri keragu-raguan dan juga dugaan tidak objektif terhadap OJK dapat diminimalisasi. Dengan jalan demikian, pada akhirya akan terjadi proses sinkronisasi regulasi tentang penentuan berapa jumlah kourum di dalam RUPS ketiga Perseroan Tertutup dan Perseroan Terbuka ditentukan. Diharapkan terjadi sebuah sinergi regulasi antara keduanya dan tidak sebaliknya sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Semoga. (***)