PENJAMINAN PENGEMBALIAN MODAL DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH
Oleh ABDUL RASYID (Desember 2017)
Mudharabah merupakan salah satu produk pembiayaan yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah seperti bank syariah. Mudharabah populer dikenal dengan istilah bagi hasil. Secara sederhana akad mudharabah dapat dipahami sebagai akad kerjasama suatu usaha antara para pihak pertama (shahibul mal) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (mudharib) yang bertindak selaku pengelola dana dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak dan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pihak pertama kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya kedua belah pihak saling berkontribusi. Pihak pertama berkontribusi dalam bentuk modal, sedangkan pihak kedua berkontribusi dalam bentuk usaha, tenaga, pikiran dan keahlian dalam menjalankan usaha. Dikarenakan mudharabah merupakan perjanjian kerjasama, lalu muncul pertanyaan apakah pihak pertama (shohibul mal) dibolehkan untuk meminta jaminan (angunan) ketika memberikan modal kepada pihak kedua (mudharib). Menurut ulama klasik, dalam akad mudharabah pihak pertama (shohibul mal) tidak boleh meminta jaminan (angunan) kepada pihak kedua (mudharib), karena akad mudharabah merupakan akad kerjasama di mana pada dasarnya kedua belah pihak berkontribusi modal, saling membutuhkan dan saling percaya dalam menjalankan suatu usaha. Oleh karena itu, tidak etis jika pihak kedua dibebankan untuk menyediakan jaminan atas modal yang berikan kepada pihak pertama.
Namun, seiring dengan perkembangan ekonomi syariah yang dikuti dengan berdirinya berbagai lembaga keuangan syariah seperti bank syariah, muncul pemahaman baru (ijtihad) terhadap berbagai model akad /transaksi yang ada dalam Islam selama ini terutama ketika akad tersebut diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dalam kontek jaminan (angunan) pada akad mudharabah, para ulama di Indonesia, yaitu Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) membolehkannya. Hal ini berdasarkan pada fatwa DSN-MUI No: 07/DSN-MUI/IV/ tentang Pembiayaan Mudharabah yang pada prinsipnya menyatakan bahwa dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun untuk mengantisipasi agar tidak terjadinya penyimpangan, maka Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemberi modal (shohibul mal) dapat meminta jaminan kepada nasabah (mudharib, pihak kedua). Hal ini juga diatur secara jelas dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Pasal 6 huruf (o) yang menyatakan bahwa “Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.
Terkait dengan pembahasan di atas muncul pertanyaan kembali, apakah pihak pertama (shohibul mal, bank syariah), diperbolehkan meminta kepada pihak kedua (mudharib, nasabah) untuk menjamin pengembalian modal yang diberikan, terutama ketika mengalami kerugian? Menurut fatwa DSN-MUI No. 105/DSN-MUI/X/2016 tentang Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Wakalah Bil Istitsmar, pemilik modal (shohibul mal, bank syariah) tidak boleh meminta pengelola untuk menjamin pengembalian modal, kecuali atas kehendaknya sendiri. Apabila mengalami kerugian, pihak pengelola juga tidak wajib mengembalikan modal usaha secara penuh pada saat kerugian, kecuali kerugian tersebut diakibatkan karena ta’addi (melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan), tafrith (tidak melakukan sesuatu yang mestinya dilakukan), atau mukhalafat al-syuruth (melanggar ketentuan-ketentuan yang disepakati pihak-pihak yang berakad). Apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengelola atas kerugian yang terjadi, maka pengelola wajib membuktikan bahwa kerugian yang dialami tersebut bukan karena ta’addi, tafrith atau mukhalafat al-syuruth.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pihak pemilik modal (shohibul mal, bank syariah) tidak boleh meminta penjaminan pengembalian modal kepada pihak ke dua (mudharib, nasabah), karena pada prinsipnya akad mudharabah adalah akad kerjasama berdasarkan kepercayaan di mana masing-masing pihak saling berkontribusi modal, dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Jaminan yang diminta oleh bank syariah kepada nasabah diperbolehkan untuk mengantisipasi agar tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh pihak nasabah. Jaminan tersebut bisa diambil oleh bank syariah apabila nasabah terbukti melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. (***)