TAFSIR PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK
Oleh AHMAD SOFIAN (Desember 2017)
Perkembangan delik-delik dalam hukum pidana telah mengalami pergeseran yang cukup pesat. Secara konvensional delik atau tindak pidana digolongkan menjadi tindak pidana yang ditujukan kepada keamanan negara, kejahatan terhadap jabatan, tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa, tindak pidana terhadap kesusilaan dan tindak pidana terhadap harta benda. Dalam Rancangan KUHP, penggolongan delik tersebut pun masih diikuti. Meski demikian beberapa delik baru (delik khusus) yang selama ini berada di luar KUHP diintegrasikan dalam R-KUHP misalnya tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia, tindak pidana narkotika, perdagangan orang, korupsi, pencucian uang, penerbangan.
Dalam artikel ini, fokus pembahasan adalah tindak pidana penghinaan, baik yang diatur dalam KUHP maupun R-KUHP. Dalam KUHP penghinaan diatur dalam dalam Bab XVI mulai Pasal 310 sampai dengan Pasal 321. Sementara itu dalam R-KUHP delik penghinaan diatur dalam Bab XIX, mulai Pasal 540 sampai dengan Pasal 550. Jika dibaca sekilas, maka delik-delik yang diatur dalam R-KUHP tidak terlalu berbeda jauh dengan delik-delik yang diatur dalam KUHP. Kemiripan yang dimiliki adalah mengandung perbuatan yang dilarang yang hampir sama yaitu : delik pencemaran nama baik, delik fitnah dan persangkaan palsu serta penghinaan bagi orang yang sudah mati. Delik-delik tersebut dapat dilakukan secara lisan dan delik yang dilakukan secara tertulis.
Dalam tulisan singkat ini, maka pembahasan hanya ditujukan kepada pendalaman pada delik pencemaran nama baik. Sementara delik-delik lainnya seperti fitnah dan persangkaan palsu, akan diulas dalam artikel berikutnya.
Delik Verbal
Dalam doktrin-doktrin yang dikembangkan dalam hukum pidana, sedikit sekali ulasan tentang delik verbal, atau delik yang diucapkan dengan kata-kata atau perkataan. Dalam beberapa literatur, landasan teori tentang masalah ini juga tidak banyak dibahas. Secara umum, delik verbal merupakan perbuatan dengan lisan yang mengandung unsur ketercelaan. Perbuatan dengan lisan ini dapat ditujukan kepada seseorang, sekelompok orang, sekelompok etnis, agama, suku bahkan dapat juga ditujukan kepada korporasi dan sebuah negara. Perkataan tersebut bisa mengandung umpatan, caci maki, merendahkan, meremehkan atau bahkan mengungkap sesuatu yang dinilai sebagai aib. Oleh karena terlalu abstraknya objek yang menjadi perbuatan yang terlarang tersebut, maka di banyak negara delik-delik verbal ini dirumuskan dengan cara materiil dan tidak dirumuskan secara formil. Namun demikian, di beberapa negara lain, delik verbal ini pun dikelompokkan dalam dua bentuk, pertama: delik yang ditujukan pada orang per orang/korporasi dan kedua: delik yang ditujukan pada sekelompok kaum tertentu. Untuk delik yang ditujukan kepada orang per orang/korporasi maka dirumuskan dengan cara materiil namun jika ditujukan kepada kaum tertentu maka dirumuskan secara formil. Alasan yang menjadi pertimbangan kenapa ada dua model perumusan delik verbal ini disebabkan karena korban yang menjadi target delik tersebut jumlahya besar dalam kaum tertentu, atau kelompok etnis atau kelompok agama tertentu yang dapat menimbulkan kegaduhan atau gangguan ketertiban jika delik tersebut dirumuskan secara materiil.
Dalam hukum pidana di Indonesia, perumusan delik verbal ini mengikuti teori yang kedua, sehingga delik verbal tidak hanya dijumpai dalam Bab XVI tetapi juga menyebar pada pasal-pasal lain di KUHP. Beberapa perbuatan yang masuk dalam delik verbal namun dirumuskan secara formil misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 154 KUHP tentang pernyataan permusuhan kepada pemerintah (pasal ini akhirnya dicabut oleh MK dalam putusan No. No. 6/ PUU-V/2007, yang bersamaan pencabutannya dengan Pasal 155 KUHP). Selain itu delik verbal lain yang diatur dalam KUHP adalah Pasal 156 (delik pernyataan permusuhan pada satu golongan tertentu) dan Pasal 156a (delik penodaan agama). Delik-delik ini dimasukkan dalam sub judul “kejahatan terhadap ketertiban umum”.
Unsur-Unsur dan Tafsir
Pencemaran nama baik merupakan ujaran atau ucapan atau perkataan yang tidak benar yang menimbulkan kerugian kepada korban. Bunyi lengkap Pasal 310 :
-
Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudunya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
-
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
-
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi keuntungan umum atau karena terpaksa untuk bela diri.
Rumusan Pasal 310 ayat (1) tersebut mengandung beberapa unsur penting yaitu :
- Dengan sengaja
- Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
- Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dan
- Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.
Jika kita mengacu pada unsur Pasal 310 di atas, maka pencemaran nama baik dapat ditafsirkan sebagai delik materiil. Delik materiil merupakan delik yang dapat dipidana jika akibat yang dilarang telah muncul. Pencemaran sendiri berasal dari kata “cemar” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai ternoda, kotor atau tercela. Pencemaran diartikan sebagai perbuatan mencemari atau mengotori. Sementara itu, kehormatan diartikan sebagai nama baik atau harga diri. Dari pemaknaan yang diberikan oleh KBBI jelas bahwa perbuatan pencemaran nama baik, berarti rangkaiaan perbuatan yang menimbulkan rusaknya harga diri, kotornya harga diri atau nama baik seseorang, dan perbuatan itu dilakukan dengan melawan hukum atau bertentangan dengan etika.
Oleh karena itu, delik-delik pencemaran nama baik ini tidak serta merta dapat dipidana jika akibat yang dilarang tersebut tidak dapat dibuktikan di pengadilan. Akibat yang dilarang tersebut dapat berupa kerugian materiil atau kerugiaan non-materiil, dan kedua jenis kerugian ini harus bisa dinilai atau diukur.
Di samping kerugian yang harus bisa dibuktikan sebagai akibat dari perbuatan pencemaran, aspek lain yang juga perlu dibuktikan adalah “menyerang” dan “kehormatan”. Kedua unsur ini menjadi sulit dibuktikan karena menyerang yang dimaksudkan bukanlah menyerang dengan senjata, tetapi dengan perkataan. Perkataan ini yang digunakan pun sulit diukur, karena bisa saja perkataan tersebut merupakan kritik atau keluhan atau sebuah ucapan yang mengandung kebenaran. Sulit membedakan antara menyerang, mengkritik dan mengeluh.
Untuk mempermudah dalam memberikan tafsir terhadap delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur alam Pasal 310, beberapa ilmuwan hukum pidana memberikan tafsir yang beragama (E. Utrecht, van Bemmelen, Moeljatno, Roeslan Saleh, Adami Chazawi), namun dapat disimpulkan dalam matrik sebagai berikut :
No. | Unsur Pasal | Tafsir |
1. | Dengan sengaja | “dengan sengaja” adalah unsur kesalahan yang pertama dan unsur kesalahan kedua ada pada kata-kata “dengan maksud”. Sikap batin “sengaja” ditujukan pada perbuatan menyerang kehormatan atau nama ba ik orang (perbuatan dan objek perbuatan)
|
2. | Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain | Perbuatan menyerang (aanranden), tidaklah bersifat fisik, karena terhadap apa yang diserang (objeknya) memang bukan fisik tapi perasaan mengenai kehormatan dan perasaan mengenai nama baik orang. Objek yang diserang adalah rasa/perasaan harga diri mengenai kehormatan (eer), dan rasa/perasaan harga diri mengenai nama baik (goedennaam) orang.
|
3. | Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu | Dengan menggunakan kata/kalimat melalui ucapan, dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu. Jadi yang dituduhkan si pembuat haruslah merupakan perbuatan tertentu, dan bukan hal lain misalnya menyebut seseorang dengan kata-kata yang tidak sopan, seperti bodoh, malas, anjing kurapan dan lain sebagainya.
|
4. | Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum | sikap batin “maksud” ditujukan pada unsur “diketahui oleh umum” mengenai perbuatan apa yang dituduhkan pada orang itu.
|
Dalam Pasal 310 ayat (2) ada tambahan unsur tulisan atau gambar yang disiarkan di muka umum. Unsur ini dapat ditafsirkan sebagai berikut:
No. | Unsur | Tafsir |
1. | Tulisan atau gambar | Tulisan adalah hasil dari pekerjaan menulis baik dengan tangan maupun alat apapun yang wujudnya berupa rangkaian kata-kata/kalimat dalam bahasa apapun yang isinya mengandung arti tertentu, atau menyerang kehormatan dan nama baik orang di atas sebuah kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat ditulisi misalnya: kertas, papan, kain dan lain-lain.
Gambar atau gambaran atau lukisan adalah tiruan dari benda yang dibuat dengan coretan tangan melalui alat tulisan misalnya pensil, kuas dan cat, dengan alat apapun di atas kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat digambari/ditulisi. Gambar ini harus mengandung suatu makna yang sifatnya mencemarkan nama baik atau kehormatan orang tertentu (yang dituju). |
2. | Disiarkan, dipertunjukan atau ditempel dimuka umum | Disiarkan (verspreiden), maksudnya ialah bahwa tulisan atau gambar tersebut dibuat dalam jumlah yang cukup banyak, dapat dicetak atau diperbanyak, lalu disebarkan dengan cara apapun. Misalnya diperjualbelikan, dikirim ke berbagai pihak, atau dibagi-bagikan kepada siapapun (umum). Oleh sebab itu verspreiden dapat pula diterjemahkan dengan kata menyebarkan. Dalam cara menyebarkan sekian banyak tulisan atau gambar kepada khalayak ramai, telah nampak maksud si penyebar agar isi tulisan atau makna dalam gambar yang disiarkan, yang sifatnya penghinaan diketahui umum.
Dipertunjukkan (ten toon gesteld) adalah memperlihatkan tulisan atau gambar yang isi atau maknanya menghina kepada umum, sehingga orang banyak mengetahuinya. Menunjukkan bisa terjadi secara langsung. Pada saat menunjukkan pada umum ketika itu banyak orang, tetapi bisa juga secara tidak langsung. Misalnya memasang spanduk yang isinya bersifat menghina di atas sebuah jalan raya, dilakukan pada saat malam hari yang ketika itu tidak ada seorangpun yang melihatnya.
Sedangkan ditempelkan (aanslaan), maksudnya ialah tulisan atau gambar tersebut ditempelkan pada benda lain yang sifatnya dapat ditempeli, misalnya papan, dinding gedung, pohon dan sebagainya.
|
Oleh karena begitu kompleksnya masalah pencemaran nama baik yang ditujukan kepada perseorangan maka dalam rumusan R-KUHP maka meskipun para sebagian ilmuwan menafsirkan delik pencemaran nama baik sebagai delik materiil namun sebagian ilmuwan hukum pidana lainnya menyatakan bahwa delik pencemaran nama baik sebagai delik formil. Perbedaan pendapat ini muncul karena rumusan delik ini tidak menggunakan kata-kata “menimbulkan”, “mengakibatkan” yang merupakan ciri dari rumusan delik materiil. Namun tentunya, pemaknaan delik formil atau delik materiil jangan hanya difahami dari rumusan kata-kata tersebut, tetapi harus dengan melihat lebih dalam lagi, yaitu makna yang ditimbulkan dari delik tersebut.
Penutup
Aspek lain yang juga mengalami perkembangan adalah bahwa pencemaran nama baik juga dapat menggunakan sarana-sarana yang memanfaatkan teknologi informasi sehingga proses pembuktiannya tidak saja pada alat bukti kovensional yang ada di dalam KUHAP tetapi ditambah dengan alat bukti elektronik. Dengan diperluasnya delik pencemaran menjadi delik yang diatur dalam Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) maka kebebasan orang dalam memberikan kritik menjadi teramputasi. Oleh karena itu, undang-undang ini sebenarnya sangat membahayakan dan cenderung dapat mengkriminalkan siapa saja yang menyampaikan haknya untuk mengkritik seseorang dan/atau korporasi. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan agar delik pencemaran nama baik tidak dimasukkan ke dalam ranah pidana tetapi dimasukkan saja ke dalam ranah hukum perdata. (***)
Published at :
Leave Your Footprint
-
Saparuddin Mohon petunjuk bang!
Apakah ada konsekuensi hukumnya bagi polisi yang tidak menanggapi laporan yang diajukan dalam hal ini laporan balik?-
business-law Kepolisian wajib memproses setiap laporan yang masuk (termasuk laporan balik). Ini bagian dari pelayanan kepada masyarakat. Soal kemudian setelah diproses, tidak ditemukan cukup bukti, itu hal lain. Artinya, “due process of law” harus tetap dijalankan. Jika tidak ada “due process of law”, maka pihak pelapor berhak untuk menanyakan mengapa laporan itu tidak ada perkembangannya. Dalam konteks tertentu, tindakan apatis dari Kepolisian itu membuka peluang untuk dipraperadilankan.
-