SERTIFIKASI ISO BAGI PEKEBUN: MANDATORY ATAU VOLUNTARY?
Oleh ERMANTO FAHAMSYAH (Desember 2017)
Pelaku usaha perkebunan di Indonesia terdiri dari pekebun dan/atau perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan. Pekebun adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu. Sementara perusahaan perkebunan adalah badan usaha yang berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu.
Terkait penerapan Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau dikenal Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO) diberlakukan kepada kedua pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. Namun, sampai saat ini bagi perusahaan tertentu sudah dilakukan secara mandatory (wajib) sejak tahun 2011 dan bagi perusahaan tertentu serta pekebun masih dilakukan secara voluntary (sukarela). Untuk yang wajib diberlakukan kepada perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan terintegrasi dengan usaha pengolahan; perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan; dan perusahaan perkebunan yang melakukan usaha pengolahan hasil perkebunan. Sementara untuk yang sukarela diberlakukan kepada usaha kebun plasma yang lahannya berasal dari pencadangan lahan Pemerintah, perusahaan perkebunan, kebun masyarakat atau lahan milik pekebun yang memperoleh fasilitas melalui perusahaan perkebunan untuk pembangunan kebunnya; usaha kebun swadaya yang kebunnya dibangun dan/atau dikelola sendiri oleh Pekebun; dan perusahaan perkebunan yang memproduksi minyak kelapa sawit untuk energi terbarukan.
Seiring dengan berjalannya proses penguatan Sistem Sertifikasi ISPO yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian RI, terdapat wacana untuk penerapan Sistem Sertifikasi ISPO bagi pekebun, baik swadaya atau plasma, diberlakukan secara mandatory (wajib) dengan berbagai pendapat dan pertimbangan. Wacana tersebut menarik untuk dicermati dari perspektif hukum, khususnya, dari aspek filosofis, yuridis dan sosiologis.
Pertama, dari aspek filosofis, penerapan Sertifikasi ISPO bagi pekebun secara wajib seyogyanya ditujukan sebagai instrumen hukum dalam mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan secara lahir dan batin bagi para pemangku kepentingan kelapa sawit dan bangsa Indonesia pada umumnya serta bagi pekebun kelapa sawit khususnya, jangan justru sebaliknya.
Kedua, dari aspek yuridis, penerapan Sertifikasi ISPO bagi pekebun secara wajib seyogyanya harus memperhatikan beberapa hal secara yuridis, antara lain, harus merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), pada perubahan keempatnya, khususnya Pasal 33 ayat (4) menentukan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Selanjutnya perubahan kedua UUDNRI 1945, Pasal 28H ayat (1) menentukan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selain itu, juga harus merujuk kepada peraturang perundang-undangan lainnya, antara lain, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bagian Menimbang huruf a menyebutkan bahwa “untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUDNRI 1945 perlu dilaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuan bernegara”. Pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan beberapa asas, antara lain asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Selanjutnya, Pasal 3 ayat (2) memuat bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal salah satunya untuk meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Berikutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, bagian menimbang huruf b menentukan bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUDNRI 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Pasal 3 huruf i mengatur bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pasal 15 ayat (1) menentukan Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Penjelasan Umum angka 1 mengatur bahwa UUDNRI 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Penjelasan Umum angka 3 berikutnya menyebutkan penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa Industri Hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan Industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Pasal 30 ayat (1) memuat ketentuan bahwa Sumber daya alam diolah dan dimanfaatkan secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Pasal 110 (1) jo. Pasal 110 ayat (2) huruf h dan huruf i menentukan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk mempercepat pembangunan Industri. Antara lain, Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan serta yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau. Terkahir, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 62 menentukan bahwa Pengembangan Perkebunan diselenggarakan secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekonomi; sosial budaya; dan ekologi. Pengembangan perkebunan berkelanjutan sebagaimana dimaksud harus memenuhi prinsip dan kriteria pembangunan perkebunan berkelanjutan.
Ketiga, dari aspek sosiologis, penerapan Sertifikasi ISPO bagi pekebun secara wajib harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan matang keadaan dan kondisi nyata dari pekebun yang ada. Kesiapan dan kemampuan dari pekebun baik dalam pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO, biaya yang yang harus ditanggung dan lainnya perlu untuk diperhatikan dan dipertimbangan. Berdasarkan data yang ada, memang ada beberapa pekebun yang sudah mendapat Sertifikasi ISPO, namun masih banyak pekebun yang masih belum siap untuk mengikuti proses Sertifikasi ISPO. Ketidaksiapan tersebut antara lain karena belum terpenuhinya aspek legalitas yang belum dimiliki, biaya persiapan dan/atau biaya untuk sertifikasi.
Dengan demikian, berdasarkan aspek filosofis, aspek yuridis dan aspek sosiologis di atas, penerapan Sertifikasi ISPO bagi pekebun secara mandatory (wajib) harus menjadi instrumen hukum dalam mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan secara lahir dan batin bagi para pemangku kepentingan kelapa sawit dan bangsa Indonesia pada umumnya serta bagi pekebun kelapa sawit khususnya, jangan justru sebaliknya. Selanjutnya, harus memperhatikan dan merujuk kepada peraturan perundang-undangan terkait ISPO yang telah ada. Berikutnya, harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan matang keadaan dan kondisi nyata dari pekebun yang ada. Terkahir, dari konteks pragmatis, apabila penerapan Sertifikasi ISPO bagi pekebun jadi diberlakukan secara mandatory (wajib) maka Negara mau tidak mau harus hadir untuk membantu pekebun dalam proses pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO serta pembiayaannya. (***)
——————————————————
Published at :