RUANG PUBLIK DAN PRIVAT DALAM TINDAK PIDANA PENGHINAAN UU ITE
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Desember 2017)
Perkembangan teknologi sosial media membuat sekat antara ruang privat dan ruang publik menjadi hilang. Karekteristik sosial media yang partisipasi (participation), keterbukaan (openness), komunikasi (conversation), komunitas (community) dan keterhubungnan (connectedness), membuat penggunanya akan lebih mudah menyampaikan pendapatnya dan membuat pendapat lebih mudah untuk disebarluaskan dan diterima bagi masyarakat luas. Apa yang disampaikan dalam akun sosial media dapat dengan mudah diketahui orang lain.
Di sisi lain hal ini hal ini menjadi permasalahan tersendiri terutama dalam tindak pidana penghinaan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 diatur mengenai perbuatan yang menyerang nama baik orang lain di muka umum melalui sarana online. Definisi apa yang menjadi di muka umum tersebut di era sosial media masih menjadi perdebatan, setidaknya hal tersebut terlihat dari beberapa putusan pengadilan berikut:
No. Putusan | Pertimbangan Hukum |
116/PID/2011/PT.DPS | Unsur dimuka umum tidak terpenuhi karena apa yang disampaikan oleh dalam akun Facebook miliki Terdakawa hanya ditujukan untuk pengurus dan umat gereja tempat Terdakwa dan saksi pelapor saja. |
382/Pid.Sus/2014/Pn.Yky | Unsur di muka umum terpenuhi karena apa yang dituliskan dalam Path atau sosial media sudah masuk sudah beralih sifat privatnya menjadi publik ketika melakukan enter mengenai kontent yang akan disampaikan untuk dibaca oleh orang lain |
33/PID.B/2014/PN.DPU | Unsur di muka umum terpenuhi dengan perbuatan Terdakwa merekam video dan mengunggahnya di sosial media youtube |
324/Pid.B/2014/PN.SGM | Percapakan yang dilakukan dalam group Line tersebut bukan merupakan percakapan yang bersifat privat karena dalam satu group tersebut terdiri dari banyak anggota. |
Idealnya unsur di muka umum ini harus dikaitkan dengan unsur kesengajaan. Dalam hal ini harus memperhatikan dua elemet dari unsur kesengajaan kehendak (willens) dan pengetahuan (wetens). Sejauh mana pelaku mengetahui perbuatannya yang menyerang nama baik orang lain dalam sosial media tersebut dapat tersebar di muka umum dan apakah memang ia menghendakinya. Akan tetapi hal ini akan berbenturan dengan ajaran animus injuriandi, yang cukup mensyaratkan adanya kesadaran atau pengetahuan pelaku bahwa pernyataannya yang objektif akan berakibat atau dapat menyerang kehormatan atau nama baik orang lain.
Dalam pandangan penulis, maka hal ini harus dilihat dari keadaan atau situasi sosial media itu sendiri ketika ucapan, atau tulisan atau gambar yang memuat penghinaan itu dilakukan. Apakah pada saat atau beberapa saat setalah perbuatan tersebut dilakukan sosial media tersebut di lock atau di privat sehingga sesungguhnya apa yang pelaku sampaikan masih masuk ruang privat karena hanya ditujuan untuk diri sendiri dan orang-orang tertentu. Sebaliknya jika pada saat atau beberapa saat setalah perbuatan tersebut dilakukan sosial media tersebut tidak di lock atau terbuka untuk umum, maka sesungguhnya pelaku memang sudah mengetahui dan memiliki maksud agar apa yang ia sampaikan baik dalam ucapan, tulisan atau gambar tersebut diketahui oleh umum. (***)
Published at :