PENGUJIAN PERATURAN MENTERI LHK No. P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017
Oleh ERMANTO FAHAMSYAH (Desember 2017)
Pada tanggal 21 Juli 2017 terjadi permohonan keberatan hak uji materiil atau Judicial Review atas Peraturan Menteri LHK No. P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Perubahan atas Permen LHK No. P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan HTI, selanjutnya disebut PermenLHK No. P.17 Tahun 2017, oleh Dewan Pimpinan Daerah Propinsi Riau-Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPD Riau-K SPSI).
Pasal dalam PermenLHK No. P.17 Tahun 2017 yang diuji materil, yaitu: Pasal 1 angka 15d; Pasal 7 huruf d; Pasal 8A; Pasal 8B; Pasal 8C ayat (1); Pasal 8D huruf a; Pasal 8E ayat (1); Pasal 8G; dan Pasal 23A ayat (1). Sementara ketentuan yang dijadikan batu uji, yaitu: Pasal 1 angka 7, Pasal 3 huruf e, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 19, Pasal 28, dan Pasal 33 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; Pasal 1 angka 1, Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 15 PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan; Lampiran 2 Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 127 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Pasal 75 ayat (1a) PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; dan Pasal 45 huruf a PP No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut jo. PP No. 57 Tahun 2016.
Pokok permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, in casu, Pasal 1 angka 15d, Pasal 7 huruf d, Pasal 8A, Pasal 8B, Pasal 8C ayat (1), Pasal 8D huruf a, Pasal 8E ayat (1), Pasal 8G dan Pasal 23A ayat (1) PermenLHK No. P.17 Tahun 2017. Dimana peraturan tersebut diuji terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni, Pasal 1 angka 7, Pasal 3 huruf e, Pasal 6, Pasal 8 ayat (1) dan (3), Pasal 19, Pasal 28 dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Pasal 6 ayat (2) dan pasal 15 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; Pasal 75 ayat (1a) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; Pasal 45 huruf a Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut; Lampiran 2 Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Pemohon, berlakunya Pasal 1 angka 15d, Pasal 7 huruf d, Pasal 8A, Pasal 8B, Pasal 8C ayat (1), Pasal 8D huruf a, Pasal 8E ayat (1), Pasal 8G dan Pasal 23A ayat (1) Permen P.17/MENLHK/SETJEN/-KUM.1/2/2017, mengakibatkan sebagian Kawasan Hutan Produksi yang diusahakan oleh perusahaan-perusahaan HTI tersebut yang arealnya sudah ada tanaman pokoknya berubah menjadi Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut. Dampak nyata dari kondisi yang demikian terhadap para anggota Pemohon yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di bidang industri HTI yang sebagai pemasok sumber bahan baku Pulp dan Kertas akan terancam kehilangan mata pencahariannya.
Terhadap permohonan keberatan hak uji materiil di atas, Mahkamah Agung RI memberikan putusan, yaitu: Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan DPD RIAU-K SPSI tersebut; Menyatakan Pasal 1 angka 15 d, Pasal 7 huruf d, Pasal 8A, Pasal 8B, Pasal 8C ayat (1), Pasal 8D huruf a, Pasal 8E ayat (1), Pasal 8G dan Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/-2017, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Menyatakan Pasal 1 angka 15 d, Pasal 7 huruf d, Pasal 8A, Pasal 8B, Pasal 8C ayat (1), Pasal 8D huruf a, Pasal 8E ayat (1), Pasal 8G dan Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum; Memerintahkan Termohon untuk mencabut Pasal 1 angka 15 d, Pasal 7 huruf d, Pasal 8A, Pasal 8B, Pasal 8C ayat (1), Pasal 8D huruf a, Pasal 8E ayat (1), pasal 8G dan Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/2/2017. Selanjutnya memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara; Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah.
Menindaklanjuti putusan MA di atas dapat disampaikan beberapa preskripsi sebagai berikut. Pertama, Pemerintah harus segera mencabut ketentuan Pasal 1 angka 15 d, Pasal 7 huruf d, Pasal 8A, Pasal 8B, Pasal 8C ayat (1), Pasal 8D huruf a, Pasal 8E ayat (1), pasal 8G dan Pasal 23A ayat (1) PermenLHK No. P.17 Tahun 2017. Hal ini ditujukan untuk menciptakan adanya kepastian dan kemanfaatan hukum dalam pengaturan tentang pengelolaan dan pembangunan HTI. Kedua, berdasarkan putusan MA atas JR terhadap PermenLHK No. P.17 Tahun 2017, stakeholder perkebunan kelapa sawit berikutnya harus lebih fokus untuk mengkaji kembali ketentuan-ketentuan yang ada dalam: Peraturan Menteri LHK No. P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut; Peraturan Menteri LHK No. P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut; Peraturan Menteri LHK No. P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut; mengingat beberapa ketentuan di dalamnya sangat terkait dengan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. (***)
Published at :